blank
Timnas Makedonia Utara (merah) merayakan kelolosannya ke Piala Dunia Qatar 2022, usai menyingkirkan tuan rumah Italia di babak playoff, yang digelar di Stadion Renzo Barbera, Palermo, Kamis (24/3/2022). Di laga itu, Makedonia Utara menang tipis 1-0. Foto: AP Photo/Antonio Calanni

blankOleh: Amir Machmud NS

// percayakah kau kepada ritus sepak bola?/ kosong ketika tanpa dia/ lengang dengan ketiadaannya/ muram lantaran ketidakhadirannya/ selalu harus adakah mereka?/ justru ketika yang lain menegakkan kepala/ aku hadir, untuk ritus baru/ lihatlah, aku ada…//
(Sajak “Ritus-ritus Sepak Bola”, 2022)

PIALA Dunia tanpa kehadiran Italia, adakah “sesuatunya”?

Samakah “rasanya” dengan gereget sebuah putaran final Coppa del Mundo yang — misalnya — tanpa Wales, Skotlandia, Austria, Hongaria, Eslandia, Turki, atau yang lainnya?

Apakah ajang kontestasi tertinggi sepak bola itu bakal kehilangan “aura ritus” ketika negara-negara seperti Brazil, Argentina, Prancis, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman, atau Belanda absen dari final round?

Masalahnya, bagaimana kita mempercaturkan “keanehan” dan “kekuranglengkapan” itu ketika satu-dua negara itulah yang “bikin gara-gara sendiri”?

Ya, bukankah salah Italia sendiri, ketika dua kali berturut-turut 2018 dan 2022 gagal melewati kualifikasi Pra-Piala Dunia?

Katakan pulalah, bagaimana bisa, Prancis dengan sekumpulan “penyihir” bola kelas utama, tersisih dari Piala Dunia 1994? Nasib yang setragis Inggris menuju kontestasi 1974 dan 1994.

Tentulah negara-negara “biang sepak bola” itu tidak bisa menyalahkan sistem kualifikasi, sistem zona, atau segala macam justifikasi. Kalau negara lain bisa, mengapa mereka ber-“persoalan”?

Bagaimana pula menjelaskan, Gli Azzurri yang berstatus juara Euro 2020 tersingkir lewat playoff dari Makedonia Utara, yang bahkan tidak masuk dalam peta percaturan kontestan Piala Dunia?

Inilah momen muram bagi negara yang empat kali juara dunia — 1934, 1938, 1982, dan 2006 — itu, lebih memedihkan ketimbang kegagalan di Pra-Piala Dunia 2018 ketika dua kali dikalahkan oleh Swedia. Pelatih Roberto Mancini merasakan kepedihan seperti Gianpiero Ventura mengalaminya pada 2017.

Prancis, Kisah Tragis
Italia tidak sendirian. Tercatat tim-tim kuat lain yang pernah gagal. Inggris terantuk pada 1974 dan 1994. Belanda, “spesialis runner up” (1974, 1978, dan 2010), tidak mampu meraih tiket 1958, 1962, 1966, 1970, 1982, 1986, 2002, dan 2018.

Prancis, dengan para pemain jempolan seperti Bernard Lama, Laurent Blanc, Marcel Desailly, Didier Deschamps, Emanuel Petit, Franck Sauzee, Eric Cantona, David Ginola, dan Jean-Pierre Papin gagal lolos ke AS 1994.

Ketersingkiran dari Bulgaria waktu itu menciptakan “gegar sepak bola” Prancis. Setelah kalah mengejutkan 2-3 dari Israel, Les Bleus yang diarsiteki Gerard Houllier harus menghadapi Bulgaria dalam partai penentuan.

Prancis hanya butuh hasil imbang. Houllier pun menginstruksikan pemainnya agar lebih banyak menahan bola untuk mempertahankan kedudukan. Tetapi dalam kondisi skor 1-1, menjelang injury time David Ginola bermanuver dengan mengirim umpan silang asal-asalan. Bola bisa dipotong lawan, yang segera melancarkan serangan balik. Emil Kustadinov sukses membobol gawang Lama.

Ginola, si flamboyan yang terkenal sulit diatur, pun menjadi sasaran kecaman publik. Houllier menyebutnya sebagai “Pembunuh tim yang menghunjamkan peluru tepat ke jantung sepak bola Prancis”.

Sayap Newcastle United itu pun menghilang dari daftar pemain Tim Ayam Jantan yang menjuarai Piala Dunia 1998.

Kiblat-kiblat
Mengapa ketidaklolosan Italia menjadi perhatian khusus?

Negeri Spaghetti itu diakui sebagai salah satu kiblat sepak bola. Kompetisi Liga Seri A pada 1990-an pernah menjadi yang terbaik di dunia di samping Liga Primer, La Liga, Bundesliga, Ligue 1, dan Eredivisie.

Selain historika sebagai pengoleksi Piala Dunia terbanyak di bawah Brazil, sistem pertahanan khas Italia menjadi khazanah tersendiri. Gerendel catenaccio karya Helenio Herrera menjadi karakter defensif yang melekat dalam permainan klub-klub Liga Seri A, yang pernah memuncak dalam racikan Enzo Bearzot untuk tim juara dunia 1982.

Roberto Mancini merevolusi gaya bertahan itu lewat permainan atraktif di Euro 2020, namun dalam rentang waktu menuju Qatar 2022, dia disulitkan oleh keminiman sosok penyerang yang mematikan, bahkan sempat memanggil pemain bengal Mario Balotelli yang sudah lebih dari 10 tahun terakhir tidak mengenakan jersey timnas.

Super Mario memang gagal masuk tim untuk agenda playoff, namun pemanggilan itu mengisyaratkan kebuntuan Mancini dalam menemukan striker. Dan, inilah ironi, mengingat Italia banyak melahirkan legenda penyerang seperti Gigi Riva, Paolo Rossi, Roberto Baggio, Salvatotre Schillachi, Luca Toni, Filippo Inzagi, Antonio Cassano, hingga Lorenzo Insigne.

Kiblat lainnya adalah Brazil, pusat “ritus sepak bola” dengan bintang-bintang artistik jogo bonito. Lalu Argentina yang menjadi tempat lahir “dua alien” Diego Maradona dan Lionel Messi. Inggris juga diklaim sebagai pusat pengembangan sepak bola modern.

Adapun Spanyol dan Portugal tercitrakan sebagai pusat sepak bola eksotik, Prancis dengan talenta hebat anak-anak migran, serta Belanda yang melahirkan total football dengan aktor-aktor hebat sepak bola menyerang.

Jika salah satu di antara negara-negara itu absen, bisa dipahamikah kemeredupan putaran final Piala Dunia yang diakui sebagai The Greatest Show on Earth?

Pada sisi lain, peta perkembangan sepak bola juga bergerak dinamis, perlahan-lahan mengubah konstelasi. Senegal dan Mesir misalnya, memperlihatkan kemajuan di Zona Afrika. Lalu Jepang, Korea Selatan, dan Qatar mengukuhkan eksistensi dalam peta kekuatan Asia. Juga Chile, Kolombia, dan Venezuela yang sekarang tidak semudah itu takluk dari kekuatan mainstream Brazil, Argentina, dan Uruguay.

Nyatanya, kita seperti belum siap ketika event puncak sepak bola itu berlangsung tanpa ikon-ikon yang selama ini merupakan bagian dari “ritus wajib”-nya.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah