KUDUS (SUARABARU.ID) –Bagi kalangan umat muslim, Ramadan adalah bulan mulia sehingga beragam tradisi dan perayaan dilakukan untuk menyambut kedatangannya. Bahkan penyambutan Ramadan sudah dilakukan jauh hari yakni saat masih bulan Sya’ban.
Bulan Sya’ban lekat kaitannya dengan tradisi Ruwahan. Istilah tersebut muncul karena dalam penanggalan jawa, bulan Sya’ban disebut sebagai Ruwah. Kata Ruwah sendiri berasal dari kata arwah atau ruh. Bisa jadi bulan Ruwah adalah pengingat untuk ruh atau jiwa kita sendiri, atau mendoakan kepada arwah leluhur dan sanak saudara yang sudah meninggal.
Bagi masyarakat Jawa pada umumnya, dan masyarakat Kudus pada khususnya, beragam tradisi Ruwahan dilakukan guna menyambut datangnya bulan suci tersebut. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut 5 tradisi unik yang digelar masyarakat untuk menyambut kedatangan bulan puasa tersebut.
- Bodo Puli
“Bodo Puli” atau Hari Raya Puli adalah ungkapan rasa syukur orang Kudus dalam menghormati, berserah diri dan menyiapkan diri memasuki bulan suci Ramadan. Bodo Puli biasanya dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban/ 15 Ruwah/malam Nishfu Sya’ban.
Bodo puli dilakukan dengan masing-masing keluarga membuat puli dan apem, kemudian dibawa ke masjid atau musholla untuk saling ditukarkan dengan puli dari orang lain. Biasanya, para perempuan-lah yang membuat puli di rumah, kemudian para lelaki yang membawanya ke masjid atau musholla.
Puli adalah sejenis penganan yang terbuat dari bahan dasar nasi yang diolah sedemikian rupa dengan aneka bumbu rempah. Puli dari kata arab Affuwwu lii yang artinya ampunilah aku . Puli sendiri memiliki makna ngumpulno sing do lali, yang berarti mengumpulkan orang-orang yang saling melupakan satu sama lain karena kesibukannya agar dapat bertemu, berkumpul, dan mengingat satu sama lain.
Sementara, apem asal mulanya dari bahasa Arab Afuwwun artinya Pengampunan. Kedua penganan ini menyiratkan simbol agar semua umat muslim membersihkan diri dan hati dalam menyambut datangnya bulan suci.
2. Nyadran/Besik Kubur
Nyadran atau juga dikenal sebagai tradisi Besik kubur adalah kegiatan ziarah dan membersihkan makam, yang sebelumnya didahului dengan selamatan. Di beberapa daerah, ritual ini ada yang menyebut dengan nyadran atau nyekar. Tradisi besik kubur ini dilakukan sebagai manifestasi mendoakan ahli kubur, dengan membersihkan makam dan menaburkan bunga-bunga tertentu.
Tak beda dengan tradisi ziarah kubur pada umumnya, Besik kubur yang biasanya dilakukan setiap Kamis sore atau Jum’at pagi tidak dilakukan atau libur. Dan saat menjelang Ramadan, besik kubur bahkan bisa dilakukan setiap hari.
Ada ajaran yang mengatakan bahwa pada bulan Ramadan, syetan dibelenggu, dosa diampuni, pintu neraka ditutup dan pintu syurga dibuka lebar. Ajaran ini yang kiranya memberi pembenaran akan “liburnya” ziarah kubur pada bulan Ramadhan.
3. Tradisi Kirim Doa
Selain melakukan ziarah kubur melalui nyadran/besik kubur, tradisi kirim doa ke arwah keluarga atau leluhur yang sudah meninggal juga dilakukan melalui kegiatan tahlil akbar/kirim doa yang dipusatkan di masjid dan musala.
Dalam tradisi ini, pengurus masjid atau musala biasanya menentukan hari pelaksanaan tahlil akbar tersebut yang dilakukan selama separuh akhir bulan Ruwah. Warga yang ingin menitipkan doa, biasanya menuliskan nama ahli kuburnya dan dititipkan ke pembaca tahlil untuk ikut dibacakan alfatehah.
Setiap keluarga yang ingin menitipkan bacaan alfatehah tersebut biasanya diwajibkan membayar uang sedekah yang jumlahnya relatif kecil sekitar Rp 2.000 yang nanti akan dimasukkan dalam kotak masjid.
4. Dandangan
Tradisi unik itu bernama Dandangan. Dandangan biasanya digelar selama sepekan sebelum datangnya Ramadan. Budaya itu mirip sebuah pekan raya, di mana banyak pedagang berdatang untuk menggelar lapak di sana.
Menurut sejarahnya, awalnya tradisi Dandangan adalah tradisi berkumpulnya para santri di depan Masjid Menara Kudus untuk menunggu pengumuman dari Sunan Kudus tentang penentuan awal puasa.
Kata “Dandangan” sendiri berasal dari onomatope suara bedug khas Masjid Menara Kudus. Ketika bedug ditabuh, muncul suara yang nyaring, “Dang!” yang menjadi bunyi tanda awal datangnya Bulan Ramadan.
Tradisi ini dilakukan setelah Sunan Kudus mengumumkan hari awal puasa. Waktu itu, Sunan Kudus memang salah satu ahli Ilmu Falak yang bisa mengetahui hitungan hari dan bulan dalam Kalender Hijriah. Pemukulan bedug itu dilakukan dua kali di pelataran Masjid Menara Kudus.
Seiring waktu, tradisi Dandangan selalu diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Kini, tradisi ini berwujud festival budaya dan kirab rebana. Saat diselenggarakan tradisi ini, pengunjung dapat melihat atraksi-atraksi seni seperti Barongan Gembong Kamijoro.
Seiring waktu, tradisi ini makin meriah digelar dengan para pelaku usaha yang memanfaatkan momen itu untuk berjualan. Semaraknya tradisi ini tidak hanya disambut hangat oleh masyarakat muslim yang akan melaksanakan puasa, namun juga masyarakat non-muslim di Kudus. Tidak sedikit masyarakat non-muslim yang menjajakan dagangannya atau sekedar melihat kemegahan Menara Kudus dari dekat.
Hanya sayangnya, tradisi tersebut sudah tiga tahun ini ditiadakan akibat dampak Pandemi Covid-19.
5. Resik-resik Masjid
Tradisi resik-resik masjid atau musala biasanya dilakukan satu atau dua hari sebelum Ramadan. Tradisi ini dilakukan oleh warga dengan membersihkan seluruh bagian dalam masjid atau musala hingga bagian luarnya.
Biasanya, dalam kegiatan ini warga akan mengepel semua bagian lantai masjid, dan mencuci karpet hingga tirai pembatas jamaah laki-laki dan perempuan. Resik-resik masjid ini dilakukan sebagai persiapan agar masjid atau musala nanti menjadi lebih nyaman digunakan untuk beribadah selama bulan Ramadan. Apalagi, di bulan Ramadan juga akan dilaksanakan ibadah shalat tawarih, tadarus hingga itikaf.
Demikian sebagian dari tradisi masyarakat Kudus selama Ruwahan dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Tradisi tersebut menjadi bagian dari kehidupan beragama masyarakat Kudus. Apakah tradisi tersebut masih lestari sampai saat ini?
Tm-Ab