Oleh: Amir Machmud NS
// dia melepas beban, menjelang senja/ menjadi diri yang sejati/ rajawali yang bengis mematuk/ singa yang kejam menerkam/ dia bangkit dengan kegembiraan/ dia tajam dalam kegempitaan//
(Sajak “Narasi-narasi Benzema”, 2022)
SEPERTI apakah kita menarasikan seorang Karim Mostafa Benzema?
Pertama-tama, tentu tentang pesepak bola yang “menggila” justru pada usia di atas kepala tiga.
Kedua, tentang “gen sepak bola”, sumberdaya manusia sebuah negara Afrika yang secara historis membuktikan “kolaborasi etnis” dengan Prancis, salah satu kekuatan Eropa dan dunia.
Ketiga, kisah sukses “bintang” dalam sebuah etos pembuktian kualitas, bangkit dari kepungan cerca dan kontroversi.
Ya, Aljazair memang bukan Brazil, Argentina, atau Spanyol, namun negeri terluas Afrika dan nomor 10 terluas di dunia itu sama-sama meneguhkan diri menjadi produsen pesepak bola kelas dunia. Baik produk asli negara di bagian utara Afrika itu, maupun yang besar sebagai binaan negara sepak bola di Eropa.
Sepenting itukah membicarakan Benzema?
Tentu sangat penting. Pemain berdarah Aljazair yang lahir di Lyon itu mempertontonkan puncak kualitas dan produktivitas justru pada perambatan usia, 34. Dia sangat diandalkan oleh Real Madrid yang memimpin klasemen La Liga, juga menjaga Los Blancos dalam perjalanan ke babak-babak lanjut Liga Champions.
Hattrick-nya ke gawang Paris St Germain dalam 16 besar Liga Champions yang memastikan kemenangan agregat 3-2 atas PSG, sepekan silam melengkapi statistika Benzema. Periode ini, performanya sungguh kinclong: membukukan 30 gol dari 33 laga di semua ajang plus 12 assist.
Dia juga mengemas catatan penting, menggeser posisi Alfredo Di Stefano, legenda El Real dalam daftar pencetak gol terbanyak sepanjang masa. Benzema hanya ada di bawah Raul Gonzales (323 gol), dan Cristiano Ronaldo (450 gol).
“Dia legenda, dan melewati rekornya seperti sebuah mimpi,” cetus Benzema sebagaimana dikutip Marca. Dia mengikuti advis legenda keturunan Argentina itu, “Saya selalu ingat ketika dia bilang agar saya menikmati waktu bermain di klub sebesar Real Madrid”.
“Penikmatan” bermain inilah yang — agaknya — menjadi kunci kegembiraan bermain bagi Benzema, memberi perasaan lepas tanpa beban, dan membantunya “mengeluarkan” semua potensi yang dimiliki.
Sepeninggal Ronaldo
Ketika Cristiano Ronaldo meninggalkan Santiago Bernabeu untuk bergabung dengan Juventus di Liga Seri A, serta merta Benzema menjadi gantungan gol Real Madrid. Selama bermusim-musim, keduanya menjadi tandem penghancur pertahanan lawan. Bahkan
berkembang semacam tesis, kecemerlangan Ronaldo lantaran sinergi skematika dengan Benzema. Sebaliknya, status pemain berpaspor Prancis itu sebagai mesin gol juga berkat “bantuan” penetrasi CR7.
Perpisahan itu menuntut masing-masing membuktikan “kemandirian”. Ronaldo terbilang sukses di Turin, sedangkan Benzema benar-benar menjadi tempat bergantung klubnya, dan menjawabnya dengan kontribusi nyata!
Statistik produktivitas Benzema akhir-akhir ini sekaligus menepis kekhawatiran, El Real akan terpuruk tanpa Ronaldo. Juga kehilangan label Galacticos karena tidak lagi bertabur bintang kelas atas.
Sepak terjang pemain yang dideskripsikan sebagai “penuntas serangan yang efektif di kotak penalti” itu sekaligus juga menjadi semacam “penebusan”, karena pada masa-masa yang seharusnya memuncaki kemampuan, dia lebih banyak disibukkan oleh kontroversi.
Dalam rentang 2008-2010 misalnya, bersama Franck Rubery, Sidney Govou, dan Hatem Ben Arfa, dia dituduh terlibat dalam prostitusi perempuan di bawah umur. Benzema juga dituduh memeras rekannya sendiri di tim nasional Prancis, Mathieu Valbuena.
Pada 2008, dalam autobiografi kapten timnas William Galllas, dia dituding sebagai sosok arogan dan kurang ajar, sehingga sempat dimarahi seniornya, Claude Makelele. Padahal, penilaian itu sebenarnya lebih tertuju kepada Samir Nasri. Kemelut itu membuat karier internasional Benzema dan Nasri terhambat, walaupun pelatih Didier Descham tidak mengingkari kualitas sang striker dan pada 2020 kembali memanggilnya.
Pemain unik. Itulah kesan Antonio Cassano, legenda Italia yang pernah memperkuat Madrid tentang Benzema. “Saya menempatkannya di lima besar nomor sembilan dalam sejarah. Ronaldo, Van Basten, Lewandowski, Ibrahimovic. Dalam dua puluh tahun, dia ada di sana,” ujar Cassano kepada BoboTV.
“Dia adalah sesuatu yang unik, pencetak gol terbanyak ketiga dalam sejarah Prancis tanpa enam tahun di tim nasional. Benzema memiliki instink pembunuh nomor sembilan dan punya kualitas seperti Zidane…”
Zinedine Zidane, dan selalu Zidane yang jadi standar penyetaraan tentang bintang Prancis. Apalagi ketika berbicara tentang pemain berdarah Aljazair. Benzema salah satunya, juga Samir Nasri yang pernah disemati harapan sebagai “Next Zidane”.
Kylian Mbappe, yang dikandidatkan sebagai penerus kemaharajaan Lionel Messi dan Ronaldo juga lahir dari ibu Aljazair dan ayah Kamerun. Ada pula Nabil Fekir, bintang Real Betis yang termasuk dalam skuad Piala Dunia 2018. Layak pula disebut Ramy Benzebaini (Borussia Monchengladbach), Youcef Atal (OGC Nice), Said Benrahma (West Ham United), dan Ismael Bennacer (AC Milan).
Di antara bintang-bintang Aljazair yang menyemarakkan sepak bola dunia, yang paling menonjol adalah Rabah Madjer, Lakhdar Belloumi pada era 1980-an, lalu kini Ryad Mahrez yang sangat diandalkan oleh Manchester City.
Kebangkitan dan kesuburan Karim Benzema bersama Real Madrid saat ini adalah bagian dari fakta kehebatan “gen sepak bola” Aljazair.
Walaupun format kontestasi Ballon d’Or sebagai penghargaan individual tertinggi diperbaiki, rasanya tidak berlebihan memosisikan Benzema sebagai salah satu kandidat. Orang boleh saja mengunggulkan Mbappe, Erling Haaland, Neymar, atau Lewandowski, namun — meminjam ungkapan Antonio Cassano –, jangan lupakan keunikan Benzema.
Legenda Prancis Thierry Henry pun dibuat takjub oleh kebangkitan Benzema. Ketakjuban yang pasti juga menghinggapi rata-rata pemerhati sepak bola dunia…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —