Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Idealnya, apa yang ada di pikiran (cipta), apa yang ada di hati (rasa), dan apa yang akan/sedang dilakukan (karsa), itu selalu seimbang dan tidak ada salahsatunya menonjol atau menguasai atau dominan.
Cipta-rasa-karsa berjalan beriringan; seolah saling membisikkan serta mengingatkan: “Hai cipta, janganlah banter-banter apalagi ninggal rasa lan karsa,” dan dalam konteks “musibah Wadas” rupanya yang paling dominan sedang terjadi di sana serta “menghinggapi semua saja” adalah karsa, meninggalkan jauh cipta apalagi rasa.
Dan sekarang ini, tibalah saatnya untuk mengingatkan: “Hai karsa, turunkanlah energimu, lan nganggoa rasa-pangrasa (utamakanlah rasa).”
Dalam peristiwa/musibah semacam itu, harus dimaklumi oleh siapa pun berlakunya hukum alam: ada aksi ada reaksi; kene obah, sing kana wiwit resah/gelisah. Dan ketika eskalasi “sing obah” semakin terasa kencang/tinggi, pihak “sing resah/gelisah” sudah pasti kadya gabah diinteri, seperti gabah ditampi, pontang-panting.
Kondisi seperti ini mendorong karsa semakin berkobar dan sangat wajar kalau tereskalasi lalu dengan cepat meninggalkan nawaitu keseimbangannya dengan cipta dan rasa. Dan pada umumnya, yang paling ditinggalkan (baca dilupakan) ialah rasa-pangrasa.
Mengapa rasa-pangrasa paling sering gampang dilupakan ketika karsa sedang menggebu? Ada beberapa alasan, tetapi salah satu alasan terkuat umumnya: “Sabar kuwi ana watese,” sab itu ada batas atau ukurannya; dan ketika merasa segala upaya pendekatan sudah dilakukan; batas kesabaran itu diterjangnya.
Rasa-pangrasa kalah oleh karsa yang menggebu apalagi seringkali diletupi oleh hitung-hitungan “it is now, or never” sekarang ini atau tidak pernah (akan) terjadi.
Baca Juga: Sapa Ngira lan Sapa Ngerti
Sebagai peristiwa/musibah, semuanya telah terjadi; karsa menggebu sudah “terlampiaskan” dan kini, diterangi oleh cipta, utamakanlah rasa-pangrasa untuk menyelesaikan semua persoalan.
Untuk semua pihak, sing kene ya sing kana, terapkanlah rasa-pangrasa dalam penyelesaian masalah di hari-hari ini, di level mana pun. Seraya semua pihak mengutamakan rasa-pangrasa, nantinya mereka semua akan dituntun untuk sampai pada rasa-rumangsa.
Maksudnya, saat ini semua pihak hendaklah “menjadi seperasaan” yaitu mendengarkan rasaning ati, menelisik bisikan nurani (suara hati); dan bila hal itu dilakukan oleh semua pihak; pasti masing-masing akan lilih lan banjur terjadilah rasa-rumangsa, yaitu tergerak hatinya oleh bisikan hati nurani.
Semuanya akan dapat tinampa ing ati, hatinya nyaman menerima semuanya, dan semuanya juga nyaman menerima semuanya.
Utamakan rasa-pangrasamu, dan tidak berapa lama lagi Anda akan tertuntun memasuki tahapan rasa-rumangsa karena hati (rasa) telah menyeimbangkan cipta dan karsamu.
(JC Tukiman Tarunasayoga Pengajar Community Development Planning)