Teman saya ada yang memanfaatkan jasanya. Syaratnya yang datang harus mengajak anak di bawah usia 10 tahun. Nanti, anak itu setelah dimantrai dia bisa melihat bentuk wajah pelaku yang tampak pada kuku telunjuknya.
Setelah ritual dimulai, tuan rumah berkata,”Nak, perhatikan kuku Mbah, nanti kelihatan gambarnya.”
Keponakan lalu memandang kuku tuan rumah. Aslinya dia tidak melihat apa-apa, namun karena tuan rumah “menggiring” dan berkata, “Lho, ya orangnya sudah kelihatan, giginya kuning, rambut panjang dan sudah tua.”
Karena takut, anak itu mengangguk. Dia tidak mungkin membantah. Tuan rumah lalu berkata, “He he, anak itu sudah melihat wajah siapa yang mencuri, ya kan, ya kan..?”
Merasa dapat angin, tuan rumah berkata, “Ini ilmu langsung dari Gusti Allah, dan yang bisa melihat hanya mereka yang sudah tinggi ilmunya atau anak kecil yang belum punya dosa.”
Sampai rumah, dia lalu mencari orang yang layak dicurigai. Setelah memperhatikan tanda-tanda yang diberikan, yang jadi tertuduh wanita agak tua, berambut panjang, gigi berlapis perak. Tanpa pikir panjang, yang layak jadi tertuduh adalah kerabat sendiri.
Baca juga Bisakah Tuyul Mencuri Uang di ATM?
Dia yang dituduh tidak tinggal diam. Merasa tidak melakukan perbuatan itu, dia menantang sumpah pocong. Dan sejak peristiwa itu silaturahmi antarsaudara retak akibat meyakini omongan orang yang sok pintar.
Banyak orang yang tidak mempertimbangkan bahwa risiko dari tuduhan yang tidak jelas itu menimbulkan kerugian moral bagi yang dituduh. Tragisnya, sebagian besar orang awam itu meyakini bahwa ucapan orang pintar itu tidak mungkin meleset.
Usil dan Bercanda
Saya itu sesekali bercanda dan sekaligus “menguji” keaslian orang pintar dengan cara bertanya sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Misalnya, saya mengatakan kerabat saya kehilangan dan minta bantuan untuk menerawangnya.