blank
Xavi Hernandez. Foto: dok/alsadd

blankOleh: Amir Machmud NS

// dia ada dalam spekulasi/ katakanlah, dia orangnya/ katakan pula, diakah orangnya?/ bukankah sepak bola adalah juga takdir/ siapa mampu mengubah apa/ siapa mampu menciptakan apa/ pun yang namanya tiki-taka…//
(Sajak “Tiki-Taka Xavi Hernandez”, 2021)

SEMASA masih bermain, Xavi Hernandez sering diposisikan layaknya pelatih. Dia bukan sekadar pemain, playmaker, kapten, melainkan juga sosok kunci pengendali operasionalisasi taktik. Julukan “The Puppet Master” atau “dalang” menggambarkan peran yang lebih dalam irama permainan tiki-taka.

Diakah sang pengendali “lakon” dalam permainan yang khas Barcelona itu?

Sejak masih bermain, Xavi sudah digambarkan bakal menjadi arsitek masa depan Blaugrana. Dia seperti Pep Guardiola yang dari muda sudah dikader oleh sang mentor, Johan Cruyff untuk suatu masa kelak, menjadi penggantinya. Dan, terbukti Pep bisa, bahkan saat melanglang ke Bundesliga dan Liga Primer, dia menciptakan tim indah di Bayern Muenchen dan Manchester City.

Bedanya, Xavi menjadi “pelaku” yang paripurna. Produk permainan ketika menukangi Al Sadd di Liga Qatar membuktikan perkiraan tentang masa depannya tidak jauh meleset. Selain aneka trofi yang sudah diraih, Al Sadd dia bentuk menjadi klub dengan gaya bermain mirip dengan Barcelona pada masa jayanya.

Cepat, rancak, ofensif, dan elok. Gaya bermain yang menghibur itu, selain dimiliki Al Sadd, dalam beberapa segi kini juga menjadi identitas Manchester City dan klub asuhan Stevan Gerard di Liga Skotlandia, Glasgow Rangers.

Berkat karya itulah, dengan penuh keyakinan manajemen Barcelona mengusungnya sebagai pengganti Ronald Koeman yang diberhentikan.

Sudah saatnyakah dia menjadi arsitek Barca?

Pertanyaan itu sama seperti ketika Pep Guardiola dipromosikan sebagai pelatih tim utama dari Barcelona B. Sama pula dengan spekulasi manajemen Rangers mendatangkan Gerard untuk menukangi tim utama.

Tentulah banyak yang skeptis: melatih Barcelona? Bolehlah dia mengibarkan Al Sadd, tetapi Barca?

Nyatanya, di sebuah klub di Liga Timur Tengah — yang boleh dibilang tidak sekompetitif liga-liga Eropa — menciptakan karakter dan identitas kuat bermain, tentu tidak semudah itu dibayangkan. Artinya, Xavi memiliki kelebihan, sama seperti ketika dia mampu menjadi faktor pembeda sebagai pengendali lini tengah Barcelona dan tim nasional Spanyol.

Spekulatifkah?
Apakah keterpilihan pria 41 tahun itu untuk mengarsiteki klub sebesar Barca adalah spekulasi besar, yang bahkan berpotensi merusak reputasi dan masa depannya?

Penunjukan pelatih membawa konsekuensi tertentu. Tidak akan ada yang mampu menjamin seorang bintang besar dan pintar, atau kapten tim yang berkarisma, bakal memberi kekuatan nuansa kepemimpinan dalam menangani sebuah klub. Sejarah sudah memberi bukti-bukti. Bukankah Andrea Pirlo baru saja gagal menuntaskan tugas di Juventus? Bryan Robson dan Thiery Henry juga belum membuktikan tuah sebagai pelatih.

Xavi sudah lama diincar. Kiprahnya semasa bermain, antara lain dengan memberi “pelayanan prima” mengatur tempo dan umpan-umpan yang memanjakan Lionel Messi adalah bukti bahwa dia punya kemampuan sebagai pengendali.

Pun, predikat “The Puppet Master” tak akan semudah itu disematkan oleh media apabila dia tidak memperlihatkan eksepsionalitas dalam faktor “pengendalian” itu.

Ditambah dengan sukses “pemagangan” di Liga Qatar, apa yang sesungguhnya bisa diharapkan dari seorang Xavi Hernandez?

Pertama, pemahaman tentang detail filosofi dan kultur Barcelona. Kedua, karakter kepemimpinan dan pengendalian. Ketiga, kreativitas dalam menyusun skema inovatif yang bernuansa tiki-taka. Keempat, passion sebagai “anak kandung” dan legenda Barca.

Faktor-faktor inilah yang membedakan, misalnya dengan Quique Setien, Ernesto Valverde, bahkan Ronald Koeman yang telah dipecat dan digantikan oleh Sergi Barjuan sebagai karteker.

Tentu tak akan semudah itu “memulihkan” Barca yang dalam dua musim terakhir dihajar kecompangcampingan psikologi persoalan, antara lain yang terkait dengan kepergian Lionel Messi ke Paris St Germain.

Selain harapan besar mengembalikan ekspresi kultural Barca, fans dan manajemen juga perlu memberi kesempatan Xavi menuang kreativitas dan pemahamannya tentang skematika tiki-taka. Buang jauh-jauh tradisi kapitalisme industri kompetisi yang mudah main pecat terhadap pelatih yang bekerja dengan keterbatasan waktu.

Untuk menjadi pembeda, Xavi perlu diberi sikap yang berbeda.

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan penulis buku —