Oleh: Amir Machmud NS
// para pangeran mencari permainan/ lewat sepak bola mereka bersenang-senang / menebar kekayaan/ berburu para bintang/ jadilah klub rasa sultan/ jalan instan kuasa uang//
(Sajak “Gaya Instan Para Pangeran”, 2021)
KYLIAN Mbappe, Neymar Junior, dan Lionel Messi; inilah para “sultan” di klub Paris St Germain. Tetapi Anda pasti tahu, yang sesungguhnya “sultan” di Parc des Princes adalah Nasser al-Khelaifi, bos beIN Media Group dan Qatar Sport Investment.
Di Manchester City, Pep Guardiola menjadi big boss, namun “sang pangeran” sejati adalah Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan, pimpinan Abu Dhabi Investment Council.
Sebelum kiprah Nasser dan Mansour, taipan Rusia Roman Abramovich telah menguasai Stamford Bridge dengan mengambil alih mayoritas saham Chelsea. Dialah “tsar” yang
mempekerjakan Jose Mourinho serta para bintang berkelas “sultan” seperti Joe Cole, Frank Lampard, Didier Drogba, dan Kai Havertz.
Kini, satu lagi di Liga Primer, Newcastle United mengibarkan bendera sebagai “klub sultan” yang bahkan punya latar belakang tokoh lebih dahsyat, Pangeran Muhammad bin Salman (MBS).
Putra Mahkota Arab Saudi itu memimpin konsorsium Public Investment Fund (PIF), PCP Capital Partners, dan RB Sports & Media yang mengakuisisi Newcastle dari St James Holdings Limited dengan nilai 305 juta paund (Rp 5,8 triliun). Tiga perusahaan itu memiliki aset kolektif 320 miliar paund (Rp 6.199 triliun).
Dan, siapa bintang yang bakal menjadi sultan di St James’ Park?
Pada masanya, klub ini memiliki bintang cemerlang. Katakanlah Kevin Keegan pada musim 1982-1984, Paul Gascoigne (1985-1988), Andy Cole (1993-1995), David Ginola (1995-1997), Alan Shearer (1996-2006), dan Faustino Asprilla (1996-1998). Belum termasuk nama-nama Keith Gillespie, Michael Owen, Kyran Dryer, dan Andy Caroll yang mewarnai klub kelahiran 1892 itu.
Di bawah Muhammad bin Salman, dapat dibayangkan Newcastle bakal merombak tim menjadi kekuatan yang berburu kejayaan secara cepat, baik di Liga Primer maupun Eropa. Apalagi klub ini memiliki jejak capaian, posisi kedua klasemen liga pada 1995-1996 dan 1996-1997.
Pola kehadiran MBS mirip dengan masuknya taipan Arab di PSG dan Manchester Biru. Bedanya, sosok Bin Salman menyulut komplikasi politik dengan respons negatif para aktivis hak asasi manusia (HAM). Namanya dikaitkan dengan skandal pembunuhan wartawan Jamal Khassoghi di Istanbul pada 2019.
Paradoks HAM
Di tengah kegempitaan harapan kembalinya gairah di St James’ Park, manajemen The Magpies menghadapi paradoks serius. Di satu sisi, fans dapat berharap tim kesayangannya bersaing di level utama Liga Primer, sesuatu yang sudah lama dirindukan.
Newcastle sempat terdegradasi ke Divisi Championship pada 2009 dan 2016 seiring dengan kemeredupan dukungan finansial. Empat besar seperti pada dasawarsa 1990-an pun ibarat mimpi, sampai konsorsium MBS hadir.
Artinya, problem finansial menemukan solusi. Langkah awal sudah ditempuh dengan memberhentikan Steve Bruce, legenda Manchester United dengan reputasi bukan sebagai pelatih kelas wahid. Nama Jose Mourinho yang kini menukangi AS Roma mulai banyak disebut di samping sejumlah nama lainnya, termasuk Rafael Benitez, Zinedine Zidane, Paolo Fonseca, dan Steven Gerrard.
Langkah selanjutnya, restorasi tim dengan mengumpulkan para bintang. Inilah jalan instan untuk memperkuat skema sekaligus mem-branding tim. Sejumlah nama diproyksikan bakal mendarat di St James’ Park, antara lain Alexandre Lacazette (Arsenal), Ousmane Dembele dan Sergi Roberto dari Barcelona.
Di luar euforia ketercukupan dana untuk melanglang di pasar transfer, kehadiran Bin Salman menyulut resistensi. Para aktivis HAM dan Amnesty Internasional menolak keterlibatan MBS di klub Liga Primer. Newcastle United dan FA Inggris pun mendapat pressure opini masif media.
Jalan Pragmatis
Di luar isu HAM, muncul kritik tentang jalan pragmaris penguatan tim. Sama seperti ketika Abramovich merenovasi Chelsea pada awal 2000-an, Sheikh Mansour mengakuisisi The Citizens, dan respons terhadap pembelian Paris St Germain oleh Nasser al-Khelaifi.
Fenomena instan menjadi bagian dari wajah industri sepak bola. Hanya mengandalkan uang untuk membeli pemain, seperti The Dream Team AC Milan pada 1980-1990 yang diikuti Olympique Marseille.
Simaklah komentar Juergen Klopp, pelatih Liverpool yang dikutip AFP, “Uang tidak begitu saja menghasilkan kesuksesan. Apa artinya bagi sepak bola? Beberapa bulan kami memiliki masalah dengan klub-klub yang membangun Liga Super. Tapi ini soal membangun tim super, jaminan tempat di Liga Champions dalam beberapa tahun”.
Fans Newcastle akan senang, tetapi uang tidak membeli kesuksesan. “Mereka punya uang untuk membuat kesalahan, tetapi pada akhirnya mereka akan berada di tempat yang mereka inginkan,” tuturnya.
Realitasnya, fenomena itu merupakan bagian dari solusi merawat klub dan kegairahan industri kompetisi. Sejumlah klub yang punya akademi kuat tetap mendatangkan pemain bintang, mulai dari Barcelona, Real Madrid, Ajax, Bayern Murnchen, atau Manchester United.
Industri sepak bola membutuhkan kompromi realitas. Tidak asal menguatkan tim secara instan, tetapi menjadikannya sebagai elemen daya tarik kompetisi. Sementara itu, mereka tetap memperkuat akademi klub sebagai sikap non-pragmatis. Jadi kolaborasi yang ideal adalah menggabungkan potensi akademi dengan mengetengahkan magnet mediatika. Bukankah industri sepak bola adalah bagian dari ekspresi budaya pop?
Isu seputar Bin Salman akan terus muncul. FA dan Newcastle harus siap menghadapi efek dari kontroversi ini. Jendela dunia sepak bola tak bisa menghindar dari opini sensitif tentang kekuasaan, uang, dan kemanusiaan.
Atau, boleh jadi inilah wajah hipokrit kapitalisme global, ketika kolaborasi industri kompetisi dan isu sensitif HAM tak terhindarkan.
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan penulis buku —