blank
Foto: phillip kofler/pixabay

blankOleh: Amir Machmud NS

// dan sebutlah ini drama/ bagian dari panggung manusia/ dunia tahu bagaimanabmemainkan para pemerannya/ apakah keindahannya/ apakah cahayanya/ apakah kesuntukannya/ katakanlah, hati dan rasa yang bicara…//
(Sajak “Drama Sepak Bola”, 2021)

DRAMA demi drama. Jangan-jangan memang disitulah sepak bola meneguhkan dirinya, “Aku ada karena aku drama”. Yang bisa muncul alamiah karena hampir semua sudut sepak bola bisa melahirkannya. Yang bisa pula mengikuti sistematika alur dengan pernik yang diciptakan oleh anak-anak sepak bola.

Lalu media mengolahnya, atau bahkan medialah yang menciptakannya. Jangan-jangan, tanpa drama industri kompetisi tidak punya elemen-elemen yang memberi ronce bunga-bunga, menebar aroma, menyemarakkannya. Anda bayangkanlah misalnya, dalam setiap pergerakan transfer pemain dari satu klub ke klub lainnya bisa tereksplorasi hati dan rasa.

Pada hati dan rasa akan Anda temukan watak manusia. Emosi yang terkuras, rindu yang terperas, cinta yang menderas, hingga benci yang menindas. Kisah kepindahan para bintang, terutama yang telah menjadi ikon klub-klub tertentu, adalah fragmen-fragmen yang mengharu-biru.

Sedahsyat itukah sepak bola menjadi pusat perhatian manusia, dan seantero jagat dikuasai?

Penjelasan-penjelasan tentang jelajah budaya pop dalam berbagai sisi kehidupan manusia, yang menyulam dan meraciknya sebagai industri hiburan, adalah argumen nyata betapa ekonomi kapitalis mampu menggali habis potensi-potensi daya tarik dalam kehidupan kita lewat eksplorasi hati dan rasa.

Representasi yang menjustifikasinya pun sekeren ini: atas nama profesionalisme sepak bola!

Budaya pop berkolaborasi dengan kekuatan media untuk menciptakan ikon-ikon, mengelaborasi cinta, histeria, rekor-rekor penajaman sejarah sebagai cahaya yang menerang langit. Pada saat yang sama produk eksplorasi itu juga menjadi api penjilat kebencian, atau pupuk yang menyuburkan pertikaian. Naluri tribalistik manusia adalah lahan subur yang disadari atau tidak disadari menganalog ke dalam permainan sepak bola; tentu dalam eksplorasi emosi hati dan rasa.

Maka takkan habis sepak bola didramatisasi. Takkan lekang setiap pergerakan pemain dan nama besar dikelola untuk dipasarkan sebagai “panggung” di pasar kompetisi. Takkan pudar isu-isu pertikaian yang meletup sebagai impulsi karakter manusia-manusia sepak bola. Pemain, pelatih, atau pemilik klub.

Tak jarang pula, jagat bisnis pemain bola memberi ruang kepada para pemain dan pelatih untuk “memasarkan” diri mereka dengan gaya, dengan ucapan, dengan segala kontroversinya. Kesadaran “menjual” performa selalu memperkuat kesuburan drama di
semua sektor dan aneka lipatan gelap-terang sepak bola.

Hakikat Drama
Apakah drama sejatinya adalah pancaran keindahan sepak bola?

Apakah drama justru akan menciptakan bias menjadi cahaya kelam bagi sepak bola?

Apakah gelap-terang dari semesta olahraga ini adalah modal dramatisasi yang akan mengangkat sepak bola ke habibat yang semestinya? Bahwa “inilah sepak bola”?

Atau sepak bola justru akan terus berputar di tengah gegalau industri yang memang selalu membutuhkan hiruk-pikuk, kontroversi, dan misteri? Lalu dengan pusaran itu menemukan hakikat sebagai sekadar permainan untuk menggoda “saraf” dan naluri entertainment manusia?

Kita telah bersuntuk-suntuk mengapresiasi, menyampaikan respek, dan memahkotakan penghormatan untuk Lionel Messi atas suksesnya meraih Copa America 2021 di Stadion
Maracana. Tak lama kemudian kita ikut diajak bingung meratapi nasibnya di Barcelona, dan akhirnya tak lama pula meletupkan kegembiraan setelah dia menemukan “rumah baru” di Paris St Germain?

Kalau itu bukan rentetan drama, lalu apa lagi?

Drama pulakah yang diciptakan oleh semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam kepulangan Cristiano Ronaldo ke Manchester United? Termasuk, ketika Sir Alex Ferguson harus muncul dari “pertapaan” untuk membelokkan perjalanan nasib Ronaldo dari Juventus ke Old Trafford?

Silakan pula Anda mencatatnya sebagai drama, ketika keinginan Kylian Mbappe tak kesampaian untuk segera pindah ke Real Madrid. Boleh saja PSG kehilangan “modal” pada musim depan saat Mbappe tak lagi terikat klausul kontrak dan bebas pergi ke klub mana pun. Bukankah kelak, ini juga bakal menciptakan kompleksitas drama tentang hati dan rasa?

Dari pekan ke pekan, bulan ke bulan, ke tengah musim, di pengujung musim, lalu pada awal musim, sepak bola mencatat skenario-skenario baru tentang perjalanan manusia-manusianya. Kadang dengan arah dan alur yang tak pernah terbayangkan.

Realitas mediatika akan pula mencatat, betapa manajemen kompetisi olahraga ini akan tunduk kepada hukum pasar bebas.

Dan, di balik pasar akan selalu ada mereka yang meraup keuntungan. Begitulah dunia industri menggerakkan mainan-mainannya…

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan penulis buku —