Oleh: Amir Machmud NS
// singgasana, seperti apa mereka memperjuangkan/ dalam ego para bintang/ tak sembarang bisa dikendalikan/ dia biasa menjadi sultan/ yang lain merasa dialah maharaja/ yang diingini meraih kekuasaan tanpa batas/ tak ada dua sultan/ tak bisa ada dua tuan/ bukankah kekaguman tak mungkin dibagi rata?//
(Sajak “Para Sultan Lapangan Hijau”, 2021)
“SRI Sultan” telah kembali. Demikianlah, Cristiano Ronaldo akhirnya kembali ke “kerajaannya”, Manchester United, setelah melewati saga transfer penuh teka-teki: ke Manchester City-kah, Paris St Germain, atau ke Old Trafford?
Pada saat-saat terakhir, gencar dikabarkan negosiasi agen Ronaldo, Jorge Mendes dengan Manchester City. Namun pernyataan pelatih Pep Guardiola bahwa dia telah cukup puas dengan konfigurasi skuadnya, lalu turun tangan Alex Ferguson menelepon Ronaldo, mengakhiri semua spekulasi. CR7 memutuskan menerima kontrak dua tahun untuk kembali ke singgasana yang pada 2009 dia tinggalkan ke Real Madrid.
Sebenarnyalah, Ronaldo tidak sama sekali kehilangan pamor sebagai “sultan” di Allianz Arena. Usia 36 tak mengurangi kecekatan sebagai artis gol produktif. Hanya, kekuasaannya memang tak semutlak di Madrid, ketika menjadi “pusat”, yang dengan kebugaran usia, dialah “The Real Sultan”.
Kemesraan dengan La Vicchea Signora rupanya tak berlangsung lama. Setelah tiga tahun bersama Giorgio Chiellini dkk, dia mulai diusik kegalauan untuk meninggalkan Turin.
Dia sempat disebut-sebut akan balik ke Madrid, yang sepanjang 2009-2018 identik dengan kemaharajaannya. Isu tak kalah kencang, dia diminati Manchester City, yang secara sosio-psikologis rasanya rumit, mengingat The Citizens adalah seteru abadi Manchester Merah.
Berembus pula rumor fenomenal: pemilik Paris St Germain, Nasser Al Khelaifi berambisi menyatukan Ronaldo dengan Lionel Messi dan Neymar Junior. Gagasan gila itu memang membutuhkan syarat “jika”. Yakni “jika Kylian Mbappe benar-benar hengkang ke Real Madrid”, dan “jika Ronaldo sendiri tak merasa jengah bertandem dengan Leo Messi”, seteru utama secara individual selama 15 tahun terakhir.
Rumor yang mengaitkan Ronaldo dengan PSG, semula diperkirakan bisa mempercepat keinginan Mbappe untuk pergi. Padahal Trio Messi, Neymar, Mbappe (MNM) diskemakan sebagai kombinasi penyerang paling dahsyat dalam sejarah sepak bola setelah era Trio Messi, Luis Suarez, dan Neymar di Barcelona pada 2013-2017.
Rupanya, proyeksi PSG tidak sejalan dengan ekspresi ego Kylian Mbappe. Semenjak kehadiran Messi, “Pangeran” Les Parisiens itu mungkin diliputi keresahan, peluang menjadi “sultan” akan memudar karena perhatian fans bakal lebih tersita ke La Pulga. Padahal, pada sisi lain, Mbappe juga berpeluang meningkatkan performa karena “tergeret” permainan sang senior.
Sikap Ronaldo
Sepak bola profesional mengenal adagium, “sesuatu yang dipandang tidak mungkin bisa menjadi mungkin”. Di balik itu, sikap Ronaldo merealisasi pernyataan yang pernah disampaikan, bahwa dia tetap merindukan bermain kembali dengan Setan Merah. Ya, setinggi apa pun bangau terbang, akan kembali ke kandang.
Liga Primer tetap dia impikan. Ronaldo tetap ingin berkarier secara kompetitif. Sepanjang 2003 hingga 2009, dia mencetak 118 gol dari 292 laga, dengan meraih tiga gelar liga, satu trofi Liga Champions, dan satu piala antarklub dunia.
Semula Ronaldo diperkirakan memilih PSG dengan pertimbangan “bersenang-senang” dipengujung karier. Dengan usia yang merambat, untuk tetap merawat hasrat eksistensialnya, bisa saja dia memilih bergembira bersama Messi dan Neymar. Nyatanya, dia bersikap kompetitif dengan memilih MU.
Sementara itu, kegalauan Mbappe agaknya berbeda. Dia sedang berjuang meraih singgasana sebagai “sultan pengganti” Messi dan Ronaldo. Kita bisa memahami psikologi calon maharaja yang tidak mau perhatian fans bakal lebih banyak beralih ke La Pulga, yang bahkan pada awal kedatangannya ke Paris sudah menerbitkan atmosfer ingar bingar atensi yang luar biasa.
Racikan Solskjaer
Yang kini ditunggu adalah, bagaimana pelatih Ole Gunnar Solskjaer menciptakan skema terbaik dengan kehadiran Ronaldo. Pun, apakah CR7 bakal menjadi faktor bagi Pasukan Theater of Dream untuk kembali meraih kejayaan.
Di semua posisi, MU menderetkan kombinasi bintang. Dari Raphael Varane dan Harry Maguire di lini belakang, Bruno Fernandes dan Paul Pogba di sektor gelandang, lalu Ronaldo, Mason Greenwood/Marcus Rashford, dan Jason Sancho di barisan penyerang. Entah dengan reposisi fungsi seperti apa nanti Solskjaer memaksimalkan para penyerang yang hampir semuanya — kecuali Edinson Cavani dan Daniel James — berkarakter sayap.
Di balik kegalauan dan ekspresi hati manusia, inilah sejatinya sisi lain dalam lipatan dinamika sepak bola. Terdapat ungkapan wajah kapitalisme industri kompetisi yang diberi baju profesionalisme. Impian Mbappe berkostum Madrid, kembalinya Ronaldo ke Manchester Merah, dan bagaimana menanti ekspresi kegembiraan Messi sekarang; merupakan kemasan agenda setting dan framing mediatika dalam ruap budaya pop.
Ketika para “sultan” — dengan segala masalahnya — diliputi kegalauan dan pilihan dalam pengambilan keputusan, saat itulah sulur-sulur gurita mediatika mengolah, meracik, dan memainkan magnetiknya.
Publik akan dihadapkan pada pilihan untuk tidak bisa tidak mengikuti, bagaimana kegalauan itu berproses. Juga seperti apa “sultan-sultan” itu merebut ending dalam ekspresi kemaharajaannya…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan penulis buku —