TANGGAL 28 Juni 2011 saya pernah mengganti password Facebook dengan kata awalan nama panggilan teman –seorang comedian– kemudian pada bagian belakang nama saya tambah kata “purik” dalam bahasa Jawa yang artinya, minggat.
Pertimbangan menggunakan kata atau bahasa yang tidak banyak dikenal itu dengan pertimbangan keamanan dari password itu. Anehnya, sejak itu teman yang berprofesi komedian yang semula sering ke rumah untuk jagong, baca buku, koran, tiba-tiba tidak pernah lagi main ke rumah.
Beberapa kali dia saya kontak untuk datang, jawabnya hanya, “Ya, ya…. “.
Namun dia tetap tak pernah kunjung datang. Dan menurut beberapa teman, bahwa dia itu sering terlihat (numpang) baca koran di kios yang jual koran eceran di halte depan pasar, skeitar 3 km dari rumah saya.
Menyadari adanya keganjilan itu, saya berpikir, jangan-jangan teman itu kena efek dari password baru pada akun Facebook saya. Karena itu, Senin, 30 April 2012, saya mengganti password dengan kata yang mengandung unsur doa untuk kebaikan.
Yang kemudian terjadi? 7 Mei 2012, walau tanpa saya undang, teman itu datang ke rumah lagi. Ternyata, password pun memiliki kekuatan doa atau “sabda” sehingga mampu menahan teman sehingga tidak mau datang ke rumah selama 11 bulan.
Ketika ini saya diskusikan dengan teman-teman di Facebook, ada yang berpendapat bahwa pasword itu sesuatu yang sifatnya sirr atau rahasia itu memiliki power. Padahal, pertimbangan saya memilih password dengan bahasa setempat yaitu “purik” yang artinya minggat, itu agar tidak mudah dikenal.
Berdasarkan pengalaman itu, setelah saya kemudian mengganti password yang memiliki makna positif, mengandung doa namun tetap kalimat yang tidak “pasaran”. Dengan harapan, setiap akan membuka akun Facebook, saya ingat “kata pilihan” dan itu yang menyebabkan saya berdoa untuk kebajikan.
Kata yang unik dan asing itu, misalnya “sugih mblegedhu” yang artinya kaya raya, dan kata lain yang mudah diingat kemudian pada bagian belakangnya, ditambah dengan kombinasi angka.
Tentunya, tujuan awal hanya membuat password saja. Tidak ada niatan menjauhkan dia itu dari saya. Sedangkan kata “purik” saya pilih dengan pertimbangan, kalimatnya tidak banyak diketahui orang luar.
Ternyata, alam adalah energi yang saling tarik menarik seperti medan magnet. Bahkan, yang saya alami saat masih menggunakan kata “purik” yang artinya “minggat” itu, setiap kali saya menulis atau mengisi password, saya melihat bayang-bayang teman yang semula baca koran di halte itu berlari menjauh.
Proses teman itu menjauh itu bartahap. Awalnya masih datang tapi tidak setiap hari, kemudian mulai jarang ke rumah dan lama-lama tidak pernah datang lagi. Fenomena ini, bisa jadi, ini berkaitan dengan, “Katamu, doamu!”
Walau saya tidak berniat “mengusir” dia, namun tiap kalimat itu saya tulis, bayangan dia tampak berlari menjauh. Bayangkan, jika dalam sehari saya membuka Facebook dua atau tiga kali, berarti secara tidak langsung saya tidak sengaja mendoakan dia untuk “minggat” atau menjauh dari pertemanan dengan saya.
Uwais dan Para Fakir
Masih terkait “resonansi,” selain yang dilakukan dan dialami teman itu, ada kejadian hampir serupa dialami teman diskusi, sosok dokter yang low profil dan hobi membaca buku-buku tentang dunia sufi dan dia mengidolakan Uway al-Qarny.
Dia yang dokter itu sering mengirim Surah Alfatihah untuk Uwais al-Qarny. Uwais hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dia pemuda yang hanya punya dua pakaian. Warga desanya menganggap Uwais sebagai orang yang kurang waras. Namun, Uwais itu ahli ibadah, dan sepanjang hidupnya untuk merawat Ibunya yang lumpuh dan buta. Dia selalu berpuasa pada siang hari dan bermunajat pada malam hari.
Setelah satu bulan mengirim Surah Alfatihah kepada Uwais itu, terjadi keajaiban yang tidak pernah dibayangkan, apalagi dikehendakinya. Tiba-tiba rumah dokter itu sering didatangi para “musyafir” pengemis, gelandangan dan orang-orang yang secara fisik tidak “diperhitungkan” status sosialnya.
Artinya, mengirim doa kepada “Sang Idola” berarti menarik pribadi atau “getaran” sejenis dengan yang diidolakan itu. Ini layaknya menarik energi dalam konsep magnetism, resonansi dan ini pelajaran yang kadang luput dari perhatian kita.
Dalam konsep ilmu hikmah, mereka yang ingin ikhtiar batin untuk yang berkaitan dengan urusan rezeki, misalnya, rajinlah mengirim Fatihah untuk “Sang Idola” orang-orang tajir pada zaman dulu, misalnya Siti Khadijah, Nabi Sulaiman AS, atau sahabat Nabi Utsman bin Affan, Malik bin Dinar yang dikenal kaya raya.
Apalagi, tradisi dalam ahli hikmah, para santri atau mereka yang mengamalkan wirid-wirid tertentu, doa, atau mantra tradisional, sebelumnya diawali dengan membacakan Surah Al-Fatihah untuk para guru yang memberikan atau mengijazahkan keilmuannya.
Hal itu dilakukan dengan harapan, agar daya dan rasa itu lebih mudah menyambung karena adanya ikatan batin yang terjaga. Ibarat kita menyediakan pancuran, maka “air” ilmu itu tetap mengalir dalam batin.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak, Pati