Oleh: Amir Machmud NS
// kata kati, dialah kehendak bebas/ ke mana pun dia suka/ menikmati permainankah?/ atau menjadi gladiator/ mereka yang dibayar untuk bertarung/ dalam cencang kuasa agen/ kata hati, tak selalu seiring pasal-pasal/ tetapi lihatlah/ : dalam ketidakberdayaan mereka mendulang kemewahan?//
(Sajak “Perbudakan Sepak Bola”, 2021)
TIBA-TIBA kita akrab dengan nama De Paul. Ya, Rodrigo Javier De Paul, pemberi umpan matang bagi gol Angel De Maria. Dia juga gigih “mencencang” ketrengginasan Neymar Junior sepanjang 90 menit dalam final Copa America, belum lama berselang.
Pemain 27 tahun yang ikut menyukseskan Lionel Messi meraih trofi pertamanya bersama tim nasional Argentina itu, akan segera berkostum Atletico Madrid di La Liga. Dia meninggalkan klub lamanya, Udinese di Liga Seri A.
Yang juga tiba-tiba moncer adalah Frederico Chiesa. Putra legenda Italia Enrico Chiesa itu segera menjadi magnet bagi klub-klub besar Eropa. Penampilan impresif bersama Gli Azzurri membuat posisi tawarnya naik di bursa transfer, namun Juventus mematok sikap takkan melepas aset futuristik ini.
Kisah De Paul dan Chiesa merupakan potret pasar pemain selepas perhelatan besar Piala Dunia, Euro 2020 dan Copa America 2021. Turnamen-turnamen kasta tertinggi itu menjadi “etalase” supermarket pemain bola. Percaturan tentang bintang incaran klub-klub, yang berkonsekuensi penjualan para pemain lainnya adalah realitas pergerakan pasar dalam industri kompetisi sepak bola.
Raheem Sterling, misalnya. Pemain sayap yang menjadi penentu mutlak kelolosan Inggris ke babak kedua, kini disebut-sebut dalam posisi yang siap dilepas oleh klubnya, Manchester City. Padahal kurang apa performa dan kontribusi pemain kelahiran Jamaika itu?
Anda mencatat pula Antoine Griezmann yang seolah-olah tidak pernah “aman” di Barcelona. Pemain Prancis ini tak bisa dibilang buruk di Euro 2020. Musim lalu dia juga makin nyaman beradaptasi di Camp Nou. Namun agenda mempertahankan Lionel Messi di tengah krisis keuangan klub, menjadikan manajemen Barca tidak punya pilihan lain kecuali menjual sejumlah pemainnya, termasuk Grizzou.
Jagoan Prancis lainnya, Paul Pogba, belum pasti bertahan di Manchester United. Walaupun Ole Gunnar Solskjaer menyiratkan jaminan mempertahankan, namun kebelummantapan kombinasi dengan Bruno Fernandes di lini tengah MU, membuat Pogba sering dispekulasikan. Kondisi ini diperparah oleh disharmoni sang agen, Mino Raiola dengan manajemen Setan Merah. Masa depan Pogba mewarnai kisah sukses MU mendatangkan Jadon Sancho, Raphael Varane, dan Kieran Trippier.
Paris St Germain telah memastikan membeli Sergio Ramos dari Real Madrid dan kiper AC Milan Gianluigi Donnarumma, Man of the Tournament Euro 2020. Les Parisiens terus berbenah, karena rasa kepenasaranan mewujudkan impian trofi Liga Champions.
Masih banyak publikasi transfer lain, yang dalam kemasan mediatika menjadi elemen budaya pop sepak bola. Dunia industri populer memang tidak jauh dari sergapan media. Informatika yang ter-setting dengan frame keriuhan lalu lintas transfer dan aneka komplikasinya, adalah bumbu subur budaya pop.
* * *
DARI luar gegap gempita mediatika, brand profesionalisme sepak bola menyelipkan kisah-kisah muram “perdagangan manusia”. Andai tidak berlabel saga transfer, bursa pemain, agen pemain, dan klausul kontrak, hakikatnya dinamika pergerakan pemain dari satu klub ke klub lain, identik dengan praktik verbal “jual beli manusia”.
Migrasi bocah-bocah Afrika ke Eropa, bahkan Asia, misalnya, menjadi salah satu indikator penyimpangan di balik gebyar industri kompetisi. Laporan wordpress.com 25 September 2015 tentang eksploitasi anak-anak dari Afrika Barat di Laos, mengundang keprihatinan. Kata “eksploitasi” ini beraksen ketidakberdayaan, lingkaran gelap perdagangan manusia, penyiasatan aturan transfer pemain bola, dan kelengahan sistem pengawasan ketenagakerjaan.
Feature itu berjudul “Perdagangan Manusia dan Perbudakan di Sepak Bola“. Narasi ini memanggungkan kondisi paradoks dengan kemewahan hidup para pemain profesional di klub-klub Eropa. Pada sisi lain, tersirat benang merah tentang impian anak-anak negara dunia ketiga, perangkap mafia pencari bakat, dan praktik “perbudakan moderen” yang berbaju profesionalisme sepak bola.
Sukses Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Pedri Gonzales, Kai Havertz, dan para sepakbolawan kaya raya, pastilah menginspirasi para bocah dari seluruh dunia. Aturan ketenagakerjaan, batas minimal usia kerja, dan manajemen akademi klub memberi proteksi bagi hari depan seorang anak. Namun sikap kapitalistik klub untuk mengakumulasi sumberdaya anak-anak berbakat, acapkali tidak dapat menutupi, betapa relasi kontrak lebih beraksen perdagangan manusia.
Konsekuensi merebut survivalitas harus dihadapi oleh pemain sebagai syarat “profesionalitas”. Egy Maulana Vikri telah merasakan betapa berat perjuangan mendapatkan menit bermain di klub Lechia Gdanks.
Anda ingat kisah Odirtey Nii Lamptey, bocah Ghana yang pernah diproyeksikan sebagai The Next Pele? Talenta langkanya mencuat ketika memperkuat timnas kelompok umur Ghana. Pada awal 1990-an, dalam usia 17 dia “diselundupkan” ke Eropa dengan paspor palsu. Sebuah pelajaran bagi FIFA dan otoritas ketenagakerjaan antarnegara, betapa keserakahan agen, membuat Lamptey tidak fokus. Dia berpindah-pindah klub. Dunia pun tidak mendapatkan reinkarnasi kehebatan Pele pada diri Lamptey.
Atas nama profesionalitas, dunia industri, dan orbit para bintang, istilah perbudakan moderen boleh jadi lebih bersifat satiris. Akan tetapi istilah itu juga memuat pesan masih adanya potensi eksploitasi dalam lipatan-lipatan kompetisi di sejumlah negara. Realitas ini pernah terjadi di Indonesia, yakni perlakuan di luar standar profesionalisme berupa gaji telat, buruknya jaminan kesehatan, dan semacamnya.
Jual beli pemain terjustifikasi sebagai bagian dari industri kompetisi, yang di dalamnya bisa jadi terdapat bias “perdagangan manusia”.
Sementara itu, budaya pop menyajikannya dalam estetika elite harga diri pemain bola. Dalam konteks kisah sukses manusia, bukankah tidak mungkin menyebut Messi, Ronaldo, Ibrahimovic, atau Romelo Lukaku sebagai budak-budak moderen?