blank

Oleh : Dr. Sa’dullah Assa’idi, M.Ag

Jika saja pendapat yang menyatakan, “manusia modern itu tidak lagi bisa menerima pandangan yang menyatakan hanya satu agama yang benar, akan tetapi banyak” bisa diterima oleh seluruh manusia yang mengaku modern, tentu tema pertemuan kita, tidak perlu dibahas.

Dinyatakan dalam ayat 62 surat Al-Baqarah: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang Shabiin; siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Akhir serta beramal shaleh, mereka semua akan mendapatkan pahala dari Tuhan mereka dan tidak akan kuatir, tidak pula akan bersedih”.

Jika saja ayat tersebut dimengerti oleh umat Islam sebagaimana bunyi harfiahnya, dan diterima pula oleh para pengikut agama-agama tanpa mengaitkannya dengan teks-teks keagamaan yang lain, niscaya absolutisme dalam keberagamaan akan sangat berkurang atau pupus sama sekali.

Kalau saja paham yang mengatakan “kebenaran agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagaman umatnya”, atau apa yang dikenal dalam ajaran Islam dengan istilah tanawu’ al-‘ibadah,  sudah barang pasti tidak akan timbul kelompok-kelompok yang saling mengkafirkan.

Hingga saat ini pun jalan untuk mewujudkan keharmonisan hubungan pemeluknya ada dan terbuka. Yaitu, agama dengan ajaran absolutisme dalam keberagamaan yang terdapat di dalamnya bisa memberikan jalan keluar, sehingga kekhawatiran yang dihadapi oleh masyarakat plural dapat dihilangkan, atau paling sedikit ditekan seminimal  mungkin.

Sejarah membuktikan Kristen dan Islam pernah hidup berdampingan dengan serasi dan harmonis, meski terdapat perbedaan aturan antara mereka. Antara Al-Muqauqis yang sekaligus adalah Patriak Alexandria dan Penguasa Mesir, dengan Rasulullah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa shahbihi (SAW), terjalin hubungan yang sangat baik.

Al-Muqauqis mengirimkan kepada pembawa ajaran Islam itu hadiah-hadiah, antara lain seorang putri Mesir yang kemudian menjadi ibu dari putra Muhammad SAW yang bernama Ibrahim.

Begitu juga ketika Kerajaan Bizantium yang beragama Kristen kalah dalam peperangan melawan Kerajaan Persia yang menyembah api, kaum Muslim bersedih karena kekalahan itu.

Ayat Al-Qur’an turun menggembirakan mereka dengan pernyataannya bahwa setelah sembilan tahun, Romawi akan menang dan ketika itu kaum Muslim akan bergembira (QS Al-Rum/30: 3-4). Pernyataan Al-Qur’an ini terbukti kebenarannya pada tahun 625 M, persis sembilan tahun setelah kesedihan itu.

Sesungguhnya ajaran agama diterima oleh pemeluk-pemeluknya secara bersinambungan atau estafet, yang jika ditelusuri ke belakang akan ditemukan bahwa sumbernya adalah Tuhan yang diyakini oleh pemeluk agama tersebut.

Yang pasti, setelah pembawa agama yang menjadi utusan Tuhan tidak ada lagi berada di tengah-tengah umatnya, tentu pastilah petunjuk-petunjuk yang dibawanya bisa bergeser mengalami perubahan interpretasi. Bahkan memerlukan petunjuk-petunjuk praktis baru, yang semula belum dikenal pada masa utusan tersebut berada di tengah masyarakatnya.

Karena itu setidaknya satu fungsi agama perlu diresapi, yaitu menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi pemeluknya. Perlu dirasakan, kaitan yang sangat erat antara “iman” dan “aman”. Rasa aman diperoleh melalui iman atau keyakinan tentang sesuainya sikap manusia dengan kehendak dan petunjuk Tuhan.

Penulis adalah Rektor Universitas Nahdlatul Ulama ( Unisnu ) Jepara