blank
Foto: dok/ist

Oleh Idham Cholid

MENGHADAPI pandemi covid-19 dengan berbagai dampak masalahnya, pesan mendalam KH Ulin Nuha Arwani, patut kita renungkan. “Sing luwih waspodo kalih fitnahe corona, amargi langkung ageng fitnahe tinimbang wabahe“.

Demikian kiai sepuh dari Kudus, Jawa Tengah itu berpesan. Maksudnya jelas, yang juga harus lebih diwaspadai adalah fitnah berkaitan dengan corona, karena ternyata fitnahnya itu justru lebih besar daripada wabahnya.

Kita menyaksikan sendiri, misalnya, bagaimana pemberitaan seputar pandemi covid-19 demikian gencar. Setiap hari, bahkan setiap saat, kita dibanjiri berbagai informasi yang sudah sangat sulit terkendali. Benar-benar menumpulkan nalar sehat masyarakat.

Publik justru dibuat panik. Mulai dari korban yang berjatuhan, rumah sakit yang penuh sesak, kelangkaan oksigen, PPKM Darurat yang membatasi ruang usaha dan menutup tempat ibadah, hingga isu tentang konspirasi untuk mengerdilkan umat Islam, adalah sekian daftar dari berbagai informasi yang malah menimbulkan kebingungan publik, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap otoritas kesehatan dan penyelenggara pemerintahan.

Pandemik vs Infodemik
Pertama kali virus corona muncul pada awal Desember 2019 di Wuhan, Cina (yang kemudian disebut covid-19), meskipun sudah sangat meresahkan masyarakat di sana, tapi publik dunia masih biasa-biasa saja. Jangankan kita yang di sini, Presiden USA Donald Trump waktu itu bahkan sekadar menganggapnya sebagai virus Cina biasa.

Namun dengan penyebaran yang demikian cepat, WHO akhirnya menetapkan bahwa kasus corona yang berakibat covid-19 itu adalah darurat global, dan pada 9 Maret 2020 dinyatakan sebagai pandemi. Karena dalam beberapa minggu saja, di luar Cina telah mengalami peningkatan berkali-kali lipat.

Pada awalnya, konon, WHO sendiri menghindari istilah “pandemi” karena jelas akan membawa berbagai konsekuensi. Pandemi menuntut respons cepat –baik dari pemerintah, otoritas kesehatan, maupun masyarakat itu sendiri– untuk memutus penyebarannya. Dalam beberapa hal, istilah pandemi juga bisa menciptakan keresahan dan kepanikan publik. Selain itu, konsekuensi penanggulangannya memakan anggaran yang tidak ringan.

Tetapi melihat penyebaran yang demikian massif, “status” pandemi pun tak terelakkan. Pandemi memang berkaitan dengan itu. Terambil dari bahasa Yunani, “pan” berarti semua, dan “demo” yang berarti orang atau masyarakat. Artinya, wabah yang menjangkit secara luas pada semua orang, bahkan di seluruh dunia secara bersamaan. Beda dengan endemik, hanya mewabah di wilayah tertentu dalam rentang waktu tertentu pula.

Kita mencatat, sampai akhir Februari 2020, covid-19 telah menyebar di 40 negara. Sedang kini, sebarannya sudah semakin mendunia, menjangkit di 201 negara, dengan angka terkonfirmasi 177.011.962 orang, dan memakan korban meninggal 3.842.815 (data WHO, 18 Juli 2021). Inilah wabah global.

Sebagai perbandingan, dalam sejarah pandemi yang lebih dahsyat sebenarnya sudah beberapa kali terjadi, dengan angka korban yang jauh lebih besar lagi. Tercatat pada tahun 541 Masehi, yaitu wabah Justianius yang disebabkan wabah pes, memusnahkan 25-50 juta jiwa dalam satu tahun. Kemudian wabah Hitam yang dalam tempo empat tahun (1347-1351) menelan korban hingga 75 juta warga.

Demikian pula pandemi flu Spanyol pada 1918 yang dalam satu tahun menewaskan 50 juta orang, juga pandemi cacar pada abad ke-20 yang telah merenggut tidak kurang 300-500 juta jiwa. Atau, pandemi Tuberkulosis (TBC) berkelanjutan yang terus membunuh 1.5 juta jiwa setiap tahunnya, sampai saat ini.

Dengan fakta tersebut bukan berarti kita bisa menganggap remeh pandemi covid-19. Apalagi virus ini juga sudah bermutasi ke varian Delta yang dampaknya jauh lebih ganas lagi. Saat ini di Indonesia sendiri, yang terkonfirmasi positif sudah mencapai 2.877.476 warga, yang meninggal 73.582 jiwa. Meski demikian kita tetap bersyukur bahwa 2.261.658 dinyatakan sembuh (update terakhir, 18 Juli 2021).

Tentu sangat tidak tepat jika kita masih menganggap angka tersebut merupakan prosentase yang kecil, terutama untuk Indonesia dengan populasi 271 juta jiwa. Artinya, baru sekitar 1 persen. Anggapan demikian, apalagi dengan menilai kebijakan yang ditempuh pemerintah selama ini dianggap terlalu berlebihan, justru sangat kontra produktif dalam upaya menekan laju dan memutus penyebaran virus yang makin mengganas itu.

Di situlah masalahnya. Alih-alih fokus bagaimana menangani pandemi lebih efektif lagi, dengan langkah-langkah yang konsisten dan berkelanjutan, menciptakan kesadaran baru agar semuanya mempunyai disiplin tinggi, yang terjadi malah sebaliknya. Di tengah upaya mengatasi pandemi dengan berbagai persoalan yang dihadapi, muncul hambatan yang tak kalah serius. Yaitu “infodemik” seputar covid-19.

Infodemik menjadi istilah yang digunakan sejak 2003 ketika wabah SARS menjangkiti beberapa belahan dunia. Sejak akhir Maret 2020 WHO juga menggunakannya untuk pandemi covid-19 ini. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia itu, infodemik tiada lain informasi yang berlebihan tentang suatu masalah, sehingga justru menjadi tidak solutif, bahkan hanya menebarkan kebingungan dan keresahan. Tentu masyarakat yang akhirnya menjadi korban.

Terlebih, jika kita melihat perkembangannya kemudian. Adanya ketidakpercayaan terhadap sains dan penggunaan otoritas ahli secara selektif, juga kepada perusahaan farmasi, bahkan kepada pemerintah sendiri; penjelasan langsung dari otoritas resmi yang selalu ditumpulkan dengan penggunaan dan luapan emosi, adalah beberapa fenomena yang sangat memprihatinkan.

Kita dibanjiri kabar berita yang tak jelas sumbernya. Hoax merajalela di mana-mana, penyebaran informasi yang salah atau distorsi informasi, bahkan rumor selama keadaan “darurat” kesehatan selama ini, malah menghambat respons masyarakat yang sebenarnya harus lebih efektif lagi dalam mengatasi pandemi.

Dalam beberapa hal, justru telah mengakibatkan keresahan publik, menciptakan ketidakpercayaan di antara sesama warga masyarakat, juga kepada penyelenggara pemerintahan dan otoritas kesehatan. Informasi yang menyesatkan sudah tak terkendali, sangat banyak jumlahnya. Sampai pertengahan Juli ini saja, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), LSM yang konsen pada literasi digital, sudah mencatat 1.069 hoax seputar Covid-19. Mulai dari kabar tentang perawat sebuah RS yang terjangkit Covid-19 yang disebar melalui chat WA pada 4 Januari 2020, hingga penyusutan pengiriman vaksin dari USA ke Indonesia yang dimuat di media mainstream pada 17 Juli 2021.

Itu semua, saya menyebutnya sebagai fitnah di tengah wabah. Apalagi ketika hoax dan rumor itu telah dibumbui hal-hal sensitif berkaitan dengan agama atau aspek primordial, tentu akan lebih sensasional. Kita bisa ambil contoh, informasi yang menyesatkan bahwa kasus Covid-19 adalah konspirasi USA dan Yahudi untuk mengerdilkan umat Islam, bahwa ada ketakutan para elite global terhadap kebangkitan dunia Islam, misalnya. Di sini penutupan sementara tempat ibadah selama PPKM Darurat khususnya selalu dijadikan dasar, meskipun kemudian aturan itu sudah direvisi.

Atau yang paling sederhana, dengan prokes yang harus selalu menjaga jarak, tanpa kecuali saat shalat berjamaah misalnya, maka muncul tudingan jika hal demikian adalah bagian dari protokol iblis. Lebih parah lagi, si penebar fitnah juga meyakinkan itu semua adalah fitnah Dajjal yang paling kejam di akhir zaman. Juga tentang 10 negara dengan kasus covid-19 tertinggi adalah negara dengan penduduk muslimnya minoritas, jelas sekali informasi seperti ini sangatlah menyesatkan.

Sense of Crisis
Tentu, kita tak bisa membiarkan itu semua terus terjadi. Meremehkan pun jangan, karena pada akhirnya masyarakatlah yang akan jadi korban. Maka, yang paling utama saat ini adalah menyamakan frekuensi. Bahwa kita sedang mengalami krisis. Titik.

Kita tak mungkin lagi memperdebatkan istilah dan definisi soal krisis itu. Yang pasti, kini ketidakpastian dan perubahan sangat tidak menguntungkan, destruktif, kritis, mengancam jiwa, dan perlu waktu yang cukup lama untuk memulihkannya.

Karena itu, yang mesti ditumbuhkan adalah kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan. Inilah sense of crisis yang harus dikedepankan. Menumbuhkannya menjadi sikap dan kesadaran bersama, baik penyelenggara pemerintahan maupun seluruh kekuatan masyarakat, adalah keniscayaan. Tentu para pejabat pemerintahan yang harus memberikan keteladanan. Sudah berulang kali Presiden Jokowi juga menegaskan soal ini.

Di situlah pentingnya kesadaran bersama, tidak sekadar menerapkan Prokes 5M (Memakai masker, Menjaga jarak, Mencuci tangan, Menghindari kerumunan, Mengurangi mobilitas) secara ketat. Lebih dari itu, kita juga perlu Protokol Krisis (Prokris), terlebih untuk para penyelenggara pemerintahan dan pengambil kebijakan.

Prokris dimaksud adalah 5C. Yakni Calm, tak lain adalah ketenangan. Ini yang harus menjadi sikap dasar kita menghadapi segala kondisi, apalagi dalam situasi seperti ini. Hanya dengan ketenangan kita bisa berpikir dengan jernih. Tanpa itu, kita akan selalu gagap. Terhadap berbagai pemberitaan misalnya, kita harus menyikapinya dengan tenang. Apalagi pemerintah, haruslah menciptakan situasi itu. Para pejabat juga jangan malah sibuk sendiri, membuat pernyataan dan langkah yang justru membingungkan.

Selanjutnya Confidence, keyakinan atau kepercayaan diri. Bahwa kita bisa menghadapi situasi ini dengan baik. Covid-19 adalah musibah yang sudah jelas ukurannya. Tuhan memberikan ujian sesuai batas kemampuan, haruslah menjadi dasar keyakinan yang harus selalu ditanamkan. Namun, kepercayaan diri para pemimpin khususnya mesti tercermin dalam sikap, ucapan, tindakan, dan kebijakan, yang selalu mengayomi. Contingency plan atau rencana darurat juga perlu dirumuskan secara lebih terperinci agar mempunyai panduan ketika harus mengambil langkah yang mendesak.

Berikut adalah Clarity, kejelasan sikap dan langkah. Jangan terpaku pada persoalan yang tak jelas, apalagi berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sumbernya, karena akan pasti menjerumuskan. Di sinilah perlunya selalu “tabayun” (clarification) terhadap berbagai informasi, sehingga setiap “aksi” akan terkendali. Untuk penyelenggara pemerintahan dan pengambil kebijakan khususnya, perlu kejelasan action plan yang detail, spesifik, dan bisa segera dieksekusi.

Yang juga sangat penting adalah Care, kepedulian kepada sesama. Saling menyemangati, memotivasi, dan saling berbagi, meskipun sekadar berbagi informasi yang bisa menguatkan dalam menghadapi segala cobaan. Berempati terhadap setiap penderitaan. Di sinilah kita semua harus menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Tentu, para pemimpin khususnya tak cukup tampil sebagai “motivator.” Kepeduliannya harus lebih tajam lagi. Mereka adalah para eksekutor, aksi di lapangan mestilah dikedepankan.

Dan yang terakhir, Consistent, ketetapan dan kemantapan dalam bertindak. Konsistensi, yang juga berarti menghilangkan segala keraguan, menjadi sikap dasar yang memandu setiap tindakan. Terhadap segala aturan yang ditetapkan berkaitan dengan Covid-19 sudah semestinya tak ragu lagi untuk ditegakkan. Semua harus konsisten!

Namun demikian, konsistensi bukanlah sikap kaku. Bagi para pemimpin khususnya, konsistensi itu mesti dibarengi dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencari terobosan (creativity) baru. Kreativitas tanpa batas harus terus-menerus dikembangkan. Bukan sekadar melaksanakan rutinitas.

Dalam kerangka itulah semestinya kita merumuskan dan melakukan langkah lebih efektif lagi. Melawan fitnah di tengah wabah perlu menjadi gerakan bersama. Yang paling minimal, dalam hal ini Maulana Habib Lutfi bin Yahya, Rais Aam JATMAN dan Anggota Wantimpres RI, telah memberikan panduan.

Kalau tidak bisa menjernihkan, setidaknya jangan memperkeruh. Kalau tidak bisa membantu, setidaknya jangan membebani. Kalau tidak bisa menciptakan tawa, setidaknya jangan menyebabkan luka.” Demikian tausiyahnya.

Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara, Pembina Gerakan Towel Indonesia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini