Oleh : Hadi Priyanto
Jika angka kematian dengan jumlah tidak wajar tanpa diagnosis yang jelas sejak 1 Juni – 10 Juli 2021 di Jepara dianggap sebagai kejadian alamiah dan wajar, bisa jadi kesadaran itu akan datang terlambat. Sebab pandemi itu bisa berubah menjadi tsunami hingga nyaris melumpuhkan sistem pelayanan kesehatan yang beberapa waktu lalu pernah dialami Jepara.
Fasilitas kesehatan tidak mampu menampung warga yang sakit, walaupun dalam kondisi berat dan kritis sekalipun. Bukan hanya karena keterbatas ruang isolasi namun banyak tenaga kesehatan yang jatuh sakit. Akibatnya banyak warga Jepara meninggal dunia di fasilitas kesehatan karena mendapatkan ruang isolasi telah dalam kondisi buruk. Atau meninggal dirumah karena tidak mendapatkan tempat perawatan di rumah sakit.
Akibatnya angka kematian dengan kriteria suspek, probable dan positif terkonfirmasi Covid-19 naik tajam. Pada bulan Juni jumlah kematian dengan kriteria tersebut telah mencapai 417 orang.
Sedangkan bulan Juli hingga tanggal 10 telah tercatat 149 orang yang dimakamkan dengan protokol kesehatan. Padahal angka kematian sejak awal pandemi hingga tanggal 11 Juli hanya 883 orang. Dari jumlah ini, warga Jepara yang meninggal pada periode 1 Juni hingga 10 Juli sebanyak 566 orang atau sebesar 64 %.
Sejak pertengahan bulan Juni hingga saat ini juga muncul kematian yang oleh para dokter sering disebut tanpa diagnosis yang jelas. Jumlahnya sangat banyak. Namun tidak ada data yang terpusat, termasuk di Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara.
Rata-rata Kematian 25 Orang
Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan penulis dari 25 Desa / Kelurahan dari 195 Desa / Kelurahan yang ada di Jepara, tercatat angka kematian bulan Juni – 10 Juli 2021 di 25 desa / kelurahan sebanyak 623 kasus kematian.
Jumlah ini di luar warga yang meninggal dengan kriteria suspek, probable dan positif terkonfirmasi Covid-19. Dengan jumlah tersebut rata-rata kematian dengan diagnosis yang tidak jelas setiap desa yang dijadikan sampling adalah 25,12 orang.
Dari 25 desa / kelurahan ini, tercatat lima kematian terandah adalah kelurahan Demaan ( 4 kasus ), Dudakawu 6, Jebol 7, Bucu 9, dan Jobokuto 9. Sementara 5 desa dengan jumlah kematian tertinggi adalah Lebak 59 kasus kematian, Bangsri 46, Sinanggul 45, Kalipucang Wetan 40, dan, Karanggondang 40 kasus kematian di luar Covid-19.
Yang menarik desa- desa dengan angka kematian tertinggi ini memilki hubungan signifikan dengan jumlah warga terkonfirmasi positif yang diumumkan oleh Satgas Covid-19 setiap hari.
Sebut saja Desa Lebak yang jumlah kematian tanpa diagnosis menempati urutan tertinggi dari 25 desa yang penulis jadikan sample dengan jumlah kasus 59 kematian, ternyata desa ini menempati urutan tertinggi kasus Covid-19 di Kecamatan Pakis Aji.
Juga Desa Bangsri yang merupakan desa dengan jumlah kasus kamatian tertinggi di Jepara dan angka pasien positif nomor satu di Kecamatan Bangsri.
Sementara Desa Karanggondan dan Sinanggul Kecamatan Mlonggo menempati urutan 1 dan ke 3, jumlah warga yang yang dinyatakan positif terkonfirmasi di Kecamatan Mlonggo. Sementara Kalipucang Wetan menempati urutan ke dua di Kecamatan Welahan dengan angka warga yang terpapar mencapai 198 orang.
Tidak Boleh Dibiarkan
Karena itu jumlah kematian tanpa diagnosis yang jelas di Jepara ini tidak boleh dibiarkan. Sebab jumlahnya akan menjadi sangat besar dan akan menyebabkan penyebaran Covid-19 kian meluas dan tidak terkendali. Sebab pada kasus kematian ini tidak dilakukan pemakaman protokol Covid-19 dan tidak ada pelacakan kontak.
Jika Jepara memiliki 195 desa / kelurahan dan rata-rata kematian dari 25 desa sample adalah 25, 12 orang maka dapat diperkirakan jumlahnya warga Jepara yang meninggal di 195 desa / kelurahan bisa mencapai 195 X 22 orang = 4875 orang.
Sementara angka positive rate Jepara masih tergolong tinggi. Bahkan jika dihitung dengan hasil px PCR dari tanggal 3 – 9 Juli 2021, masih sebesar 74,66 %. Sedangkan positify rate Jepara dari hasil pemeriksaan px – RDT –Antigen pada periode yang sama sebesar 27 %. Sementara standar WHO tidak boleh lebih dari 5 %. Peningkatan cukup signifikan juga terjadi pada angka penambahan warga yang terkonfirmasi positif.
Perkuat 5 M, testing dan tracing
Disisi lain, target pemeriksaan testing dan tracing di Jepara juga jauh dari instruksi Menteri Dalam Negeri. Untuk testing jika sebuah daerah memiliki positivity rate mingguan lebih tingga dari 25 %, ditentukan jumlah tes per 1000 penduduk per minggu sebanyak 15 orang.
Jepara pada instruksi ini secara jelas ditargetkan jumlah orang yang dites per hari adalah 2.751 orang. Testing ini perlu terus ditingkatkan dengan target positivity rate <10 persen. Sedangkan sasaran testing adalah mereka yang bergejala dan juga kontak erat dengan pasien positif.
Sementara pelacakan kontak erat perlu dilakukan lebih dari 15 kontak erat per kasus konfirmasi sekaligus dilakukan karantina pada orang yang teridentifikasi sebagai kontak erat. Sedangkan 5 M atau 6 M yang menjadi hulu persoalan ini masih sangat lemah.
Persoalan ini masih ditambah dengan kondisi masyarakat yang masih saja takut dengan stigma penderita Covid-19. Banyak yang telah merasa bergejala tetapi enggan periksa ke dokter maupun fasilitas kesehatan. Mereka memilih membeli obat sendiri. Hingga tidak terlacak kontak eratnya dan tidak dapat dikendalikan penyebarannya.
Karena itu kematian tanpa diagnosis yang jelas harus mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan sebab yang kita hadapi adalah pandemi global. Bisa saja dilakukan swab post mortem atau memaksimalkan dan memperluas pelacakan kontak erat, bukan hanya pada keluarga inti tetapi hingga 15 orang atau lebih.
Tentu tenaga kesehatan di puskesmas tidak mampu melakukannya sendiri. Tetapi harus melibatkan semua pemangku kepentingan termasuk para tokoh pembentuk publik opini di desa-desa.
Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID