Oleh: Amir Machmud NS
SEORANG pemuda aktivis keagamaan menyampaikan ungkapan kegalauan, ”Pak, sebenarnya mana sih yang benar? Saya jadi bingung, sepertinya informasi-informasi yang muncul kok bersilangan seperti ini. Maka saya sering tidak membukanya…”
Dia gelisah, karena dalam WhatsApp Group (WAG) majelis taklimnya, beberapa kali menemukan unggahan pernyataan dan video yang saling bertentangan, dan sama-sama disampaikan dengan argumentasi masing-masing.
Riuh versi-versi postingan itu khususnya muncul, ketika pemerintah memulai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, sejak 1 Juli 2021 lalu. Sejumlah anggota WAG mengirim aneka infografik bersifat teknis, berupa poin-poin yang memperjelas apa dan bagaimana PPKM Darurat, aturan, dan sanksinya.
Tak sedikit pula postingan video yang secara langsung maupun tidak langsung bernada kontra. Misalnya video kedatangan orang-orang asing di sebuah bandara yang dinarasikan sebagai sebuah ironi: ketika mobilitas anggota masyarakat sangat dibatasi, sementara malah banyak orang asing berlenggang kangkung masuk ke Indonesia.
Pun, video yang menampilkan potongan ceramah tokoh publik, yang dengan dalil-dalil dan logika berpikirnya menyoal kontradiksi PPKM dan ajakan disiplin protokol kesehatan. Pendapat “berseberangan” ini, suka atau tidak suka menciptakan keterbelahan “positioning” pihak-pihak yang pro dan kontra.
Logika penerimaan informasi bisa berkembang ke arah sikap mendukung atau berkeberatan dengan pembatasan tersebut; namun pada sisi lain seolah-olah melupakan mindset prioritas bahwa kita sedang menghadapi risiko kondisi gelombang kedua pandemi covid-19 yang terasa lebih ganas.
Di sela-sela verbalitas “perang postingan” di media-media sosial itu, kita juga membaca ekspresi kecerdasan masyarakat. Video-video lucu, terkadang satire, nyinyir, dan “nyerempet porno” menjadi warna yang menggelitik syaraf humor di tengah dera kecemasan kita. Sebagai “katarsis” dan impulsi kegelisahan, bisa dipahami video atau meme semacam itu menjadi semacam selingan penawar.
Lalu bagaimana dengan kejernihan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan untuk dicerna dan diyakini memberikan makna?
Persebaran informasi di tengah kekeruhan ruang digital saat ini diwarnai oleh dialektika antara akuntabilitas (sikap amanah), intensi kebohongan (kadzab), dan kesesatan. Dalam
praktik, karena kecenderungan kemarakan penyebaran hoaks, maka muncullah bentuk-bentuk perlawanan berupa cek fakta, kampanye antihoaks, dan ikhtiar penjernihan informasi.
Di wilayah jurnalistik, setidak-tidaknya kita mengenal tiga matra dalam standar penyebaran informasi, yakni kepercayaan publik, akuntabilitas, dan disiplin verifikasi. Apabila mekanisme itu dilakukan secara konsisten sebagai sikap berjurnalistik, dipastikan menghasilkan kejernihan informasi. Plus, wartawan tidak menjadikan unggahan-unggahan di media sosial sebagai sumber apa adanya, melainkan hanya sebagai bahan awal yang masih membutuhkan follow up komitmen verifikasi.
Psikologi Manajemen Informasi
Bagaimana dengan segmen warga masyarakat di luar wilayah kompetensi sikap dan teknis dunia informasi?
Seperti anak muda anggota WAG majelis taklim yang saya paparkan di awal tulisan ini, misalnya. Masih bagus dia digelisahkan oleh realitas unggahan-unggahan yang dirasakan
bertentangan. Artinya, masih ada nalar kritis untuk menilai postingan informasi, termasuk ketika dia menilai “tidak perlu membuka video tersebut”. Yang berbahaya tentulah mereka yang serta merta membuka postingan, membaca, menyerap, lalu merasa mendapat info yang bersifat “given”, diterima begitu saja.
Unggahan semacam itu bisa bermata rantai penyebaran yang masif. Seseorang yang merasa menemukan sesuatu yang eksklusif kemudian mem-forward ke WAG-WAG lainnya, atau ke orang-orang dalam lingkaran pertemanannya. Begitu seterusnya, sehingga menjadi pesan berantai yang secara efektif menyebar, dengan kemungkinan sikap penerimaan yang senada.
Boleh jadi, mereka yang mem-forward postingan tersebut tidak mempertimbangkan reaksi dan akibat-akibatnya terhadap pemahaman yang keliru, melainkan hanya secara mekanistis mengirim atau meneruskan pesan yang dia anggap menarik. Intensinya, karena menemukan hal menarik, disebarkanlah ke jaring informasi sosialnya, maka dia merasa telah melakukan sesuatu yang eksklusif.
Untuk memosisikan masyarakat yang punya pertimbangan atau tidak punya pertimbangan dalam pengunggahan informasi semacam ini, seringkali tingkat pendidikan kita jadikan sebagai pengelompokan segmentatif. Namun tentu tidak bijak apabila faktor ini yang selalu dianggap dominan, mengingat penyebaran hoaks dan penggalangan masif opini juga banyak dilakukan oleh kalangan terdidik, intelektual yang bahkan menjadi bagian dari pendengung (buzzer).
Yang lebih pas adalah kompetensi posisional dalam literasi informasi digital. Cukup terliterasikah dia? Cukup memiliki kesempatan terjangkau literasikah dia? Cukup memiliki
kemauan untuk mendapatkan literasikah dia? Dengan cara seperti apakah literasi digital dimaksimalisasi untuk menjangkau semua kelompok, unsur, dan lapis masyarakat yang telah merasakan kemajuan teknologi informasi?
Saat ini, sikap manusia dalam memperlakukan dan mengelola informasi tidak bergantung hanya pada jangkauan efektivitas literasi digital. Pandangan politik misalnya, atau kondisi keseharian secara ekonomi berpotensi membangun psikologi manajemen informasinya.
Segi inilah yang membutuhkan ketelatenan dalam membina, me-ngemong, dan memberikan pencerahan, setidak-tidaknya untuk sampai pada pemahaman mengenai urgensi “informasi jernih” di tengah ruang digital kita yang cenderung keruh dan hampa etika.
– Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jaa Tengah, penulis buku, dan pengajar Ilmu Komunikasi –