Oleh: Dr. Muh Khamdan
JAKARTA (SUARABARU.ID)- Empat dekade sudah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) menapaki jejaknya dalam sejarah gerakan intelektual Islam Indonesia. Lahir dari rahim Ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Lakpesdam NU membawa mandat besar, yaitu mencetak kader-kader muda NU yang tak hanya religius, tetapi juga kritis, progresif, dan siap menjadi motor perubahan sosial berbasis nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam sejarah panjangnya, Lakpesdam NU telah memberi warna dalam diskursus intelektual keislaman dan kebangsaan. Terutama di era 1980–1990-an, lembaga ini menjadi garda depan dalam melahirkan kader-kader pemikir NU yang tajam dan berani menggugat status quo. Nama-nama seperti KH Abdurrahman Wahid, Hasyim Muzadi, hingga intelektual muda seperti Alwi Shihab dan Masdar F. Mas’udi tumbuh dalam iklim intelektual yang diberi ruang oleh Lakpesdam. Tentu kita masih mengingat sosok fenomenal NU, Ulil Abshor Abdalla yang meningkatkan iklim intelektual kader muda NU.
Peran historis Lakpesdam sangat strategis dalam meletakkan fondasi epistemologi keilmuan kader NU. Ia menjadi laboratorium pembentukan kader yang berpikir dialektis, menumbuhkan nalar kritis melalui pelatihan, diskusi, dan publikasi kajian yang progresif. Forum-forum kajian Lakpesdam di masa lalu menjadi tempat penyemaian ide-ide transformatif yang membumi.
Namun, pada usia ke-40 tahun ini, publik patut mempertanyakan ulang ke mana arah dan orientasi Lakpesdam NU hari ini. Apakah lembaga ini masih setia pada ruh kritis-transformatifnya, atau telah mengalami pergeseran peran menjadi instrumen politik elite yang pragmatis?
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak PBNU dipimpin oleh KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), geliat Lakpesdam terlihat lebih redup dalam medan wacana publik. Ia nyaris kehilangan identitas sebagai pusat dialektika intelektual kader muda NU. Kegiatan-kegiatannya lebih banyak berpusat pada pelatihan administratif dan pelatihan pengkaderan teknokratik, bukan pada pengembangan kapasitas berpikir kritis.
Hilangnya nyala dialektika ini patut disayangkan. Sebab, dalam tradisi NU, ruang berpikir kritis adalah bagian dari warisan ulama salaf yang menempatkan ijtihad sebagai proses intelektual yang terbuka. Lakpesdam seharusnya menjadi penerus ruang ijtihad ini dalam konteks sosial-politik kekinian.
Refleksi ini makin tajam ketika melihat penunjukan Erick Thohir sebagai Ketua Lakpesdam NU. Meskipun secara administratif ia seorang profesional dengan pengalaman luas, namun afiliasi politik dan posisinya sebagai menteri menjadikan Lakpesdam terkesan sebagai alat politik elite, bukan lagi ruang pembebasan pemikiran kader muda.
Penunjukan ini juga memperlihatkan terjadinya pendekatan struktural elitis dalam pengelolaan lembaga keilmuan ke-NU-an. Padahal, Lakpesdam dibangun atas dasar gerakan akar rumput yang berangkat dari kebutuhan kader untuk membangun kesadaran kritis atas realitas sosialnya, bukan dari atas oleh struktur elite kekuasaan.
Ketika ruang intelektual Lakpesdam digeser oleh pendekatan diklat dan instruksionalisme teknokratik, maka kader muda NU kehilangan ruang subur untuk tumbuh menjadi intelektual publik. Mereka hanya dilatih menjadi operator program, bukan pembentuk wacana perubahan.
Dalam catatan kritis ini, perlu diingat bahwa sejarah kejayaan NU dalam menghadirkan pemikir-pemikir publik berangkat dari kemandirian lembaga-lembaga pengembangan SDM-nya, termasuk Lakpesdam. Maka ketika lembaga ini masuk terlalu dalam ke orbit kekuasaan, maka independensi berpikir akan terkorbankan.
Sungguh ironis jika pada momen ulang tahun ke-40, Lakpesdam justru kehilangan refleksi historis dan futuristiknya. Tidak ada pernyataan agenda kritis yang menyentuh problem besar keummatan, seperti ketimpangan pendidikan, ketidakadilan sosial, hingga perampasan ruang hidup warga Nahdliyin di berbagai daerah.
Lakpesdam semestinya mengambil peran sebagai “think tank” yang merumuskan arah kebijakan pembangunan manusia NU ke depan. Bukan sekadar fasilitator pelatihan, tetapi produsen ide dan kritik yang bernas terhadap arah pembangunan nasional yang seringkali tidak berpihak pada masyarakat bawah.
Dalam konteks tantangan global hari ini, baik dari krisis ekologi, digitalisasi kehidupan, hingga komodifikasi agama, maka peran Lakpesdam justru semakin strategis. Ia harus menjadi mercusuar nilai, bukan lampu senja yang memudar karena kompromi pada kepentingan pragmatis jangka pendek.
Gerakan intelektual kader muda NU tidak boleh hanya diserahkan pada ruang-ruang informal media sosial atau kegiatan seremonial. Perlu ada revitalisasi ruang diskusi, penerbitan buku, lokakarya pemikiran, dan jaringan riset kolaboratif lintas kampus, pesantren, dan komunitas.
Lakpesdam juga perlu kembali ke basis sosialnya, yaitu masyarakat Nahdliyin di desa-desa, pesantren-pesantren, dan lingkungan urban miskin. Di sanalah realitas sosial yang kompleks menanti untuk diurai dengan pendekatan intelektual yang berpihak dan membumi.
Empat puluh tahun bukan usia muda bagi sebuah lembaga. Ini saatnya melakukan audit nilai, apakah Lakpesdam masih relevan dalam membentuk watak kader muda NU sebagai pembaru pemikiran, atau hanya sebagai batu loncatan karir birokrasi?
Sebuah refleksi ulang tahun seharusnya menjadi momentum pemurnian kembali visi Lakpesdam, yaitu mengembalikan ruh pembebasan intelektual dan keberpihakan pada umat. Ini bukan sekadar soal figur ketua, tetapi komitmen kolektif terhadap warisan dialektika ke-NU-an yang inklusif dan berani berpihak. Selamat harlah Lakpesdam.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara