Oleh : Aliva Rosdiana
Hari Senin Pahing malam Selasa Pon bulan Besar atau Dzulhijah setiap tahun, merupakan hari yang sangat penting bagi masyarakat Desa Tegalsambi, Jepara. Sebab saat itulah diadakan ritual Perang Obor yang diwariskan turun temurun dari leluhur mereka.
Perang Obor sendiri konon bermula dari kisah perkelahian antara Ki Babadan dan Ki Gemblong dengan menggunakan api yang berasal dari pelepah daun kelapa. Perkelahian Bermula dari Ki Gemblong yang lalai menggembalakan hewan Ki Babadan hingga banyak yang mati dan sakit.
Namun anehnya percikan api itu justru menyembuhkan hewan Ki Babadan yang sakit. Keduanya kemudian berdamai dan bahkan kemudian bersama-sama membangun kandang yang lebih baik.
Untuk mengenang peristiwa tersebut kemudian oleh masyarakat Desa Tegalsambi diselenggarakan ritual Perang Obor, yang kemudian dikaitkan oleh masyarakat dengan acara sedekah bumi, sebagai bentuk ucapan syukur warga desa atas berkah dari Allah.
Jajan Kintelan
Ada banyak prosesi yang dilakukan dalam ritual Perang Obor mulai doa, kirap pusaka desa, penyembelihan kerbau sebagai sesaji, hingga pembuatan jajanan khas Kintelan, yang menjadi pembuka ritual Perang Obor dan sekaligus menjadi simbul persahabatan Ki Babadan dan Ki Gemblong. Jajanan ini biasanya dibuat sehari sebelum Perang Obor.
Karena itu Kintelan merupakan makanan khas dari desa Tegalsambi. Makanan khas ini biasanya dijadikan sebagai sajian dalam sedekah bumi dan sekaligus pembuka ritual Perang Obor dengan cara memberikan kepada tetangga dan saudara. Seolah jajanan Kintelan dan Perang Obor tidak terpisahkan.
Memang jajanan Kintelan ini hanya muncul setahun sekali. Sekilas makanan ini mirip klepon. Beda keduanya pada cara memasaknya dan pada enten-enten serta isiannya. Penyajian Kintelan tidak direbus, melainkan ditata dan dikukus bersama. Jarak keduanya seolah dekat agar saling menempel.
Perbedaan lainnya, jika klepon menggunakan parutan kelapa, sedangkan kintelan menggunakan areh. Kelapa yang dipakai pun yang sudah tua agar arehnya sedikit berminyak.
Ada makna yang tersirat dari makanan Kintelan ini. Bahan ketan sebagai bahan utamanya memiliki tekstur lengket. Maka ketan diartikan “kraketan” atau “ngraketke ikatan” atau mempererat ikatan.
Simbol ketan ini dimaknai mempererat persaudaraan antar sesama manusia yang diwujudkan dalam kegiatan Sedekah Bumi dan ritual Perang Obor. Hal ini juga ditandai dengan pembagian sajian kepada tetangga dan saudara untuk mempererat persudaraan.
Santan sebagai saus makanan Kintelan memiliki makna perjalanan hidup yang tidak mudah. Asal santan dari kelapa. Untuk menggapai kelapa tidaklah mudah. Butuh perjuangan untuk menggapainya dan ketika mengulitinya hingga dibelah dan diperas isi putih buah kelapanya. Seperti halnya dalam hidup. Untuk menggapai sesuatu yang indah sangat membutuhkan perjuangan.
Makna yang diharapkan ketika memakan Kintelan dengan saus santan, kita akan mengingat bahwa untuk mendapatkan kenikmatan dan gurihnya harus melalui proses yang tidak mudah.
Rasa manis gurih Kintelan ini berasal dari bahan tepung ketan, kelapa, gula Jawa, dan areh. Selain rasanya yang manis, kulitnya kenyal, juga gurih yang berasal dari areh kental berminyak.
Bahan untuk membuat jajananan Kintelan terdiri dari tepung ketan, kelapa tua, kelapa muda, gula merah, gula Pasir dan sedikit garam.
Sedangkan cara mebuatnya : Pertama, Kelapa tua dibuat santan, sisihkan yang kental untuk areh. Sisanya untuk adonan. Kedua, Parut kelapa muda untuk isinya. Parutan kelapa untuk isi ditambah gula merah disangrai di atas wajan. Sambil diaduk-aduk sampai rata dan kental, lalu ditaburi tepung ketan sedikit. Lanjutkan hingga matang.
Sedangkan Ketiga, buat bulatan enten-enten untuk isi. Keempat, tepung ketan diuleni dengan santan. Tambahkan gula pasir dan garam secukupnya. Jangan terlalu lembek. Kelima, ambil adonan ketan, lalu bentuk bulat dan pipihkan.
Isi dengan bulatan enten-enten di dalamnya. Keenam, kukus dengan alas daun pisang yang diolesi dengan minyak sayur selama kira-kira 10 menit. Ketujuh, angkat dan sajikan dengan diolesi areh (santan kental) diatasnya.
Penulis adalah Dosen Pembimbing Modul Budaya Nusantara Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka dari Unisnu Jepara