blank
Ilustrasi Pancasila. Foto : SB/dok

Oleh Idham Cholid

Beberapa waktu lalu, dalam diskusi kebangsaan memperingati hari lahir Pancasila, 1 Juni 2021, di Wonosobo, muncul pertanyaan menarik. Di antaranya, kenapa sampai saat ini masih ada yang mempertentangkan agama dengan dasar negara? Lalu, bagaimana seharusnya kita menempatkan Pancasila?

Kita tak memungkiri, pertanyaan tersebut sebenarnya juga muncul sebagai respons terhadap ramainya pemberitaan tentang Test Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK akhir-akhir ini. Selain itu, harus pula diakui memang masih ada persoalan berkaitan dengan sikap sebagian kalangan masyarakat terhadap ideologi bangsa tersebut.

Maka, sudah semestinya apabila kita melakukan refleksi diri baik sebagai pribadi, warga masyarakat, maupun sebagai bangsa dan negara dalam arti yang seluas-luasnya. Sehingga peringatan yang kita selenggarakan tiap tahun itu akan menemukan hikmahnya.

Sudah Final

blank
Ilustrasi Pancasila. Foto : SB/dok

Al-Maghfurlah KH. Ahmad Shiddiq (w.1991) pernah memberikan ilustrasi menarik berkaitan dengan sikap kalangan muslim khususnya terhadap ideologi dan dasar negara. “Ibarat makanan, Pancasila sudah kita nikmati puluhan tahun, kenapa masih dipersoalkan?” Demikian Rais Aam PBNU 1984-1991.

Pernyataan yang cukup mengejutkan pada awal 1980-an itu tak lepas dari adanya pro-kontra di dalam menyikapi kebijakan pemerintah tentang pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Yang dipertanyakan sejatinya, bukan sekadar “keengganan” menerima Pancasila sebagai asas tunggal, tapi konsistensi terhadap Pancasila itu sendiri sebagai dasar dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.

Kita tahu kemudian, melalui Muktamar 1984 di Situbondo, NU saat itu tampil sebagai pelopor, diikuti kemudian oleh Muhammadiyah pada 1986, juga ormas lainnya. Kepeloporan tersebut tentu tak lepas dari komitmen para kiai di dalam menjaga dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Sikapnya tegas, Pancasila sudah final.

Bagi NU, negara berdasarkan Pancasila merupakan perwujudan dari Mu’ahadah Wathaniyah (perjanjian kebangsaan) atau yang sering diistilahkan Wapres KH. Ma’ruf Amin dengan Darul Mitsaq (negara kesepakatan). Begitu pula Muhammadiyah, menyebutnya sebagai Darul ‘Ahdi was-Syahadah (negara perjanjian dan kesaksian atau pembuktian). Kedua ormas terbesar itu mempunyai sikap yang sama, menerima Pancasila bukan dengan alasan pragmatis tetapi karena kesadaran historis, juga berlandaskan pada prinsip keagamaan.

Sejarah mencatat, tampilnya tokoh-tokoh Islam dalam perumusan dasar negara tersebut. Ada Ki Bagus Hadi Kusumo dari Muhammadiyah dan KH. Wahid Hasyim dari NU, juga yang lain. Bahkan ketika terjadi perdebatan dan pertentangan antara kalangan nasionalis dan Islam berkaitan dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (yang disepakati pada rapat BPUPKI, 22 Juni 1945), tokoh-tokoh Islam itulah yang secara khusus berkonsultasi dengan Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Konon, Bung Karno sebagai Ketua Panitia Sembilan yang memintanya.

Di kalangan NU khususnya, fakta tersebut bukan sekadar cerita biasa, tetapi menjadi landasan yang membentuk kesadaran bahwa penerimaan terhadap Pancasila memang telah diteladankan oleh para pendahulunya. Sangat masyhur, misalnya, kisah tentang Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy’ari melakukan istikharah dan memohon petunjuk Allah Swt, yang kemudian memfatwakan: “sudah cukup rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, demi keutuhan bangsa dan negara.”

Dapat dikata, itulah behind the scenes dari kisah dihapusnya tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” dalam sila pertama. Karena itulah, sekali lagi, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara sebenarnya sudah final.

Perdebatan yang paling krusial tentang itu telah difinalkan dulu hingga pada 18 Agustus 1945 ketika UUD 1945 ditetapkan, terutama menyangkut kedudukan agama. Bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan didasarkan pada agama tertentu saja. Perdebatan juga pernah dimunculkan kembali pasca reformasi, yaitu saat amandemen UUD 1945. Setidaknya sudah empat kali dilakukan –sejak 1999 sampai 2002– namun selalu kandas di tengah jalan, karena tidak mendapatkan dukungan mayoritas umat Islam. Terutama NU dan Muhammadiyah, sangat tegas menolaknya.

Dalam konteks yang lebih luas, yang menarik sebenarnya bagaimana hubungan antara agama dan negara itu diwujudkan. Berkaitan dengan hal tersebut, sampai saat ini pun tak jarang masih ada yang memperdebatkannya. Pemahaman yang tidak utuh dan tuntas atas masalah itu akan sangat memengaruhi, tidak hanya cara pandang dan positioning kita terhadap Pancasila, tetapi juga dalam perlakuan dan pengamalannya.

Saling Menopang

blank
Idham Cholid, Pembina Kompak Wonosobo. Foto : SB/Muharno Zarka

Lazim dipahami selama ini bahwa dalam prakteknya ada tiga model relasi antara agama dan negara. Yaitu, integralistik, skularistik, dan simbiotik.

Pada model integralistik, di mana agama dan negara menyatu, dipraktekkan di negara-negara agama (relegius states) yang mengintegrasikan antara keduanya, seperti Arab Saudi dan Iran. Meskipun hal itu juga tak bersifat ketat. Dalam beberapa hal terjadi “skularisasi” dengan adanya legislasi berkaitan dengan aturan operasional tertentu yang mengadopsi dari negara Barat, seperti Undang-undang tentang Perdagangan Internasional, tentang Imigrasi, dan lain-lain.

Demikian pula di negara-negara dengan model skularistik, yang memisahkan antara agama dan negara. Ada yang memisahkannya secara tegas seperti USA dan Perancis. Namun ada pula yang masih menjaga keterlibatan negara dalam urusan agama, misalnya dengan menghadirkan pendidikan agama di sekolah, keberadaan partai agama, pendanaan dari negara untuk agama, dan adanya pajak gereja. Bahkan ada pula di sejumlah negara Eropa yang hingga kini masih tetap mengakui secara resmi lembaga gereja (established chruch) dalam kehidupan bernegara, seperti di Inggris, Yunani, juga negara-negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia, dan Finlandia).

Turki adalah salah satu negara yang cukup menarik dalam praktek relasi itu. Model integralistik (kekhilafahan) digantikan dengan model skularistik dengan sistem Republik yang memisahkan secara tegas urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan. Revolusi kaum muda Turki yang dipelopori Mustafa Kamal telah merubah secara drastis. Pada 1923 sistem Khilafah yang telah berlangsung ratusan tahun dihapus, Islam tak lagi menjadi agama resmi negara, syariah sebagai hukum tertinggi negara pun ditanggalkan.

Revolusi Turki pada 1920an itu tampaknya telah menjadi pemicu polemik dan perdebatan yang cukup panjang pada dasawarsa-dasawarsa awal abad 20, berkaitan dengan hubungan antara agama dengan negara. Pengaruhnya sangat besar, tanpa kecuali juga di Indonesia. Bahkan hingga kini sisa-sisa yang memimpikan sistem Khilafah kembali ditegakkan juga masih ada. Terutama sebagian kalangan yang menempatkan Islam sebagai doktrin ideologis.

Namun yang mesti dipahami, founding fathers bangsa dengan segala kearifannya telah menyepakati Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasar Pancasila. Dalam konteks ini, ihwal relasi agama dan negara memang tergolong unik. Bukan integralistik, dimana negara diatur dengan agama tertentu, juga tidak menganut model skularistik. Di Indonesia yang terjadi adalah hubungan simbiotik. Ada yang menyebutnya dengan istilah “intersectional” atau persinggungan antara agama dan negara (Masykuri Abdullah, 2013).

Dalam kerangka itulah kita mesti memahami bahwa antara agama dan negara harus saling menopang. Tidak saling mendominasi. Paradigma ini, dalam kajian Islam tentang negara, sebenarnya sejalan dengan konsep negara yang dikembangkan Abu Zayd Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami yang populer dengan Ibnu Khaldun (w.1406 M).

Sosiolog dan sejarawan Islam yang sangat diakui di Barat itu menjelaskan konsep negara dalam pemikiran politiknya secara universal dan fleksibel. Bahwa negara merupakan institusi yang mempunyai tanggungjawab besar untuk mengayomi seluruh kepentingan rakyatnya. Di sini, apapun bentuk negaranya tidak dipersoalkan. Penentuannya lebih didasarkan sesuai dengan cita-cita suatu bangsa yang bersangkutan.

Adapun agama, diposisikannya sebagai pandangan dunia, yang menjelaskan tentang kehidupan dan peradaban sesuai petunjuk Tuhan, sehingga kehidupan akan menjadi lebih bermakna. Dalam hal-hal tertentu agama juga berperan secara “legitimatif” untuk mengokohkan sistem kenegaraan. Namun tetap, penekanan agama lebih sebagai sumber kekuatan moral, bagaimana mengisi etika politik kebangsaan dan kenegaraan dengan moralitas agama.

Dalam kerangka saling menopang itu, terutama berkaitan dengan penerimaan Pancasila sebagai dasar negara, NU telah memberikan teladan yang sangat baik. Kita lihat, bagaimana argumen yang digunakannya sebagaimana Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam yang ditetapkan Munas Alim Ulama, di Situbondo, pada 21 Desember 1983, sebagai berikut:

(1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

(2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat [1] UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, menceminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

(3) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

(4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk mewujudkan syariat agamanya.

(5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Dengan demikian, sudah semestinya kita menempatkan Pancasila secara benar, sebagai dasar yang menyatukan seluruh kepentingan bersama warga bangsa. Apalagi negara kita dianugerahi pluralitas dan kebhinnekaan, baik etnis maupun agama, maka Pancasila harus dijauhkan dari sekadar menjadi alat legitimasi kepentingan golongan. Apalagi hanya menjadi alat kekuasaan.

Dalam perspektif yang saling menopang itu, posisi agama terhadap dasar negara bukanlah oposisional. Pandangan ideologis yang menghendaki formalisasi Islam –ini juga berlaku untuk agama yang lain– haruslah dikikis karena hanya akan membuat benturan antara agama dengan negara. Namun demikian, tak sepatutnya pula kita membuka sikap “opsional” antara agama dan dasar negara.

Maka, jika masih ada pertanyaan “memilih al-Quran atau Pancasila” misalnya, dengan alasan dan kepentingan apapun, menurut saya sangat kontra-produktif. Hal itu tidak akan semakin mengokohkan semangat kebangsaan dan keberagamaan, tetapi justru malah merapuhkannya. Sekali lagi, jangan benturkan Pancasila dengan agama!

Kalisuren, 19 Juni 2021

Idham Cholid
Ketua Umum Jayanusa; Pegiat Gerakan Moral Pancasila