blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

Di tubuh PDI-P Jateng, sangat tiba-tiba sekali (Sabtu, 22 Mei)  terjadi “gempa lokal Semarang”  bermagnitudo sangat tinggi; namun diharapkan jangan menimbulkan tsunami politik.

“Gempa dahsyat” itu bersumber di kedalaman sana, dan jika mau dianalisis pemicu utamanya terletak pada, apa yang disebut Kebat kliwat. Analisis terpenting dan mendasar berupa pertanyaan awal:“Sapa sing kebat kliwat kuwi?”

Pertanyaan penting dan mendasar itu biarlah dianalisis dan dijawab oleh pihak internal PDI-P, – aku ora melu-melu, sapa ta aku iki? – , namun untuk barangkali dapat membantu menganalisis dari sisi budayanya, mari kita kupas kebat kliwat ini secara lebih dingin, tidak perlu tiba-tiba “ngegas” sampai menimbulkan gempa lokal, dan ana rembuk dirembuk, aja terus “gebuk.”Ngisin-isini!!!

Kebat, ucapkan seperti Anda mengatakan “Semat membeli kebab, sebab …” dan artinya ialah rikat, banter. Barang siapa jalan ataupun larinya dapat mendahului orang lain, ia dapat disebut kebat; demikian juga cara berpikir maupun omongannya.

Salahkah orang kebat seperti itu? Tidak. Lha wong mlaku nganggo sikile dhewe, mlayu ya nganggo sikile dhewe; tidak ada yang salah, dan orang lain yang rumangsa ketinggalan, ya jangan marah/tersinggung. Memang menjadi masalah, – dan ini yang sedang terjadi di tubuh PDI-P (Jateng sajalah?) – apabila yang dirasa kebat tadi, menjadi kebat kliwat.

 Kebat kliwat menjadi idiom sangat pas dan menarik dalam kasus “dheweke  ora diundang”  dalam sebuah agenda kegiatan partai yang sangat penting tur nyolok mata. Mengapa? Karena “dheweke” dianggap wis kebat kliwat. Siapa yang menganggap wis kebat kliwat, sajake dhuwurane.

Kebat kliwat bermakna rerikatan, (kepara) kesusu nanging ora kebeneran; intinya bagaikan saling adu cepat, lalu ada salah satu pihak yang menjadi terdahulu, namun justru karena itu ada pihak (pihak-pihak?) yang merasa ora seneng, ora kebeneran, ora karenan.

Itulah yang disebut tata krama, dan pihak yang dkata-katai kebat kliwat pasti dianggap sudah melanggar tata krama, malahan bisa jadi disebut sebagai murang tata. Lamun sira banter aja dhisiki, lamun sira pinter, aja minteri; rupanya sedang berlaku nasihat ini kepada siapa pun dalam tubuh PDI-P.

Sing Kwbanteren Sapa?

Pertanyaan awal harus dijawab nih, yakni “Jan-jane sing kebanteren ya sapa” siapa sih yang beradu lari dan ada pihak yang lalu sudah merasa dikalahkan?

Jangan-jangan jawabannya: Ohhhhh jebule sing playune banter kuwi medsos. Jasa dan kecepatan medsos memang luar biasa, ora ana sing isa ngalahke.

Baca Juga: LN = LL

Akan tetapi, siapa pun, – lebih-lebih “wong dhuwuran” – ,  hendaklah jangan terlalu gegabah, apalagi “termakan” oleh medsos.

Besar kemungkinannya, wong dhuwuran dalam tubuh PDI-P Jateng (mung Jateng??) saat-saat ini sedang kemropok; namun ingatlah, sia-sia saja kemropok Anda terhadap medsos, karena zamane wis tekan Bung, yakni kita justru harus pandai-pandai menggunakan medsos searif mungkin daripada memusuhi atau kemropok sing ora tumanja.

 Kalau sedang terjadi “tuduh-menuduh” kebat kliwat, silakan saja, asalkan alasane maton. Pihak yang merasa murang tata, sadarilah betapa  langkahmu memang kudu direm.

Sebaliknya, pihak yang barangkali  sedang “menuduh” mbok carane aja ngisin-isini; bukankah masih ada cara lain yang lebih kesatria sebagai ungkapan sangat elegan atas pemeo satria piningit.

Lebih dari itu, jagalah “gempa lokal” ini tidak berpotensi menimbulkan tsunami politik. Mosok ahli-ahli politik seperti jenengan-jenengan kudu diwuruki: Awas lho, banyak orang mengintai? Ayo ndang wawuh!!!! (Hehehehehe….jangan-jangan aku sing kebat kliwat).

(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)