Oleh : Hadi Priyanto
Keberadaan desa Troso konon tidak bisa dilepaskan dari kehadiran Ki Senu dan istrinya. Ia salah seorang keluarga bangsawan dari Mataram yang pindah ke Jepara saat Mataram berhasil menguasai kota ini setelah Pangeran Arya Jepara berkuasa menggantikan Ratu Kalinyamat.
Ki Senu memilih tidak kembali ke Mataram tetapi membuka hutan dan tinggal di daerah ini karena tanahnya sangat subur. Beberapa orang yang tinggal dipadukuhan kecil ini juga sangat baik dan memiliki sikap saling tolong menolong. Kehadiran Ki Senu beserta istri dan keluarganya ini tentu disambut oleh warga setempat dengan senang hati.
Sebab Ki Senu dikenal memiliki pengetahuan yang luas, pintar, bijaksana dan suka menolong. Ia juga kemudian menjadi tempat orang bertanya dan minta nasehat jika menghadapi persoalan. Nyi Senu juga dikenal sangat baik dan senang memberikan bimbingan kepada para istri warga setempat.
Karena kebaikan hati Ki Senu dan juga sikap warga yang baik dan ramah, padukuhan ini kemudian menarik perhatian warga dari wilayah lain. Mereka mulai berdatangan ingin tinggal di padukuhan ini. Setelah meminta ijin Ki Senu, mereka membuka kemudian membuka hutan yang ada.
Ki Senu dengan musyawarah juga menentukan tempat yang boleh dibuka. Masing-masing orang mendapatkan jumlah lahan sama. Sebagian besar menggunakan lahan untuk rumah dan juga untuk bertani.
Setelah berapa tahun tinggal tinggal di padukuhan ini, Ki Senu berkenalan dengan Datuk Gunardi yang sedang melakukan syiar Islam di Kerso setelah melakukan perjalan laut yang sangat jauh. Konon ia melakukan syiar Islam setelah selesai berguru di Pesantren Ampel. Datuk Gunardi sendiri berasal dari Singaraja Bali.
Setelah beberapa tahun melakukan syiar Islam di Kerso, sebelum meninggalkan perkampungan itu Datuk Gunardi membangun sebuah masjid. Masjid itu sekarang dikenal sebagai Masjid Wali. Masjid yang memiliki kubah kecil mirip botol yang terbuat dari perak ini memiliki empat tiang yang terbuat dari kayu.
Setelah dari Kerso, Datuk Gunardi menuju perkampungan Ki Senu yang telah dikenalnya. Sebab di perkampungan itu banyak yang belum memeluk agama Islam.
Konon pakaian yang dikenakan Ki Senu dan istrinya saat menyambut Datuk Gunardi adalah jenis pakaian keluarga kerajaan yang dikenakan secara khusus saat menyambut tamu kehormatan yang selama ini tidak pernah dipakainya. Sebab Ki Senu sangat menghormati Datuk Gunardi yang telah melakukan syiar Islam. Pada pertemuan ini Ki Senu berjanji akan membantu Datuk Gurnardi dalam melakukan syiar Islam.
Karena pakaian itu sangat indah, hingga orang yang melihatnya sangat kagum dan diam-diam meniru membuatnya. Melihat keinginan warga, Ki Senu justru mengajarkan cara membuat kain sulaman yang baik. Namun oleh Datuk Gunardi kain sulaman itu diberikan motif-miotif tenun dari Bali. Pakaian karya Ki Senu dan Datuk Gunardi itulah yang konon kemudian berkembang menjadi Tenun Troso.
Setelah merasa berhasil melakukan syiar di padukuhan yang ditempati Ki Senu tinggal Datuk Gunardi membangun masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Datuk Ampel.
Berpindah Tempat Syiar
Setelah itu Datuk Gunardi meneruskan perjalanan syairnya ke wilayah yang lain. Ia kemudian menetap di sebuah padukuhan yang kemudian dikenal dengan nama padukuhan Singorojo. Sebab Datuk Gunardi berasal dari Singaraja Bali dan banyak yang memanggilnya Datuk Singorojo.
Datuk Singorjo juga kemudian berkenalan dengan RA Semangkin, salah satu keponakann Ratu Kalinyamat. Bahkan beberapa saat sebelum membuka padukuhan Mayong, ia cukup lama tinggal di padopokan Datuk Singorojo.
Sementara padukuhan Ki Senu terus berkembang. Karena hasil pertaniannya sangat baik, masyarakat padukuhan ini menjadi sejahtera. Ini pula yang kemudian menarik orang untuk datang dan bermukin di sini, hingga padukuhan ini semakin luas dan memiliki banyak penduduk.
Sementara Ki Senu yang usianya telah sanget tua, akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan disebuah tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Makan itu kini dikenal dengan Makam Dowo yang berada di sebelah selatan makam Nogosari.
Asal Nama Desa
Namun ada pula yang beranggapan, nama desa Troso berasal dari kisah perjalanan Ratu Kalinyamat yang membawa jasad suaminya, Pangeran Hadlirin yang terbunuh seusai menghadap Sunan Kudus. Ia menghadap Sunan Kudus bersama Ratu Kalinyamat untuk meminta keadilan atas terbunuhnya Sunan Prawoto. Namun saat di jalan mereka dihadang oleh orang-orang Arya Penangsang.
Dalam kondisi luka parah, Pangeran Hadlirin dibawa pulang oleh Ratu Kalinyamat dengan prajuritnya. Namun akhirnya nyawanya tidak tertolong. Ia meninggal dalam perjalanan saat menuju pesanggrahan Mantingan.
Karena perjalanan cukup jauh, prajurit yang memikul jenazah Pangeran Hadirin merasa kelelahan. Jalannya juga mulai pelan dan bahkan kadang sempat terhenti. Namun karena mereka merasa memiliki kewajiban untuk membawa jasad secepatnya sampai Mantingan, pimpinan prajurit memberikan semangat, teruso … teruso atau teruslah … teruslah. Harapannya para prajurit kembali memiliki semangat dan kekuatan untuk meneruskan perjalanan hingga Mantingan.
Dari kata teruso…teruso inilah kemudian lama kelamaan berubah menjadi truso yang artinya juga sama, teruslah. Untuk memudahkan lafal pengucapan, akhirnya dari truso berubah menjadi Troso. Akhirnya desa yang puluhan tahun kemudian dibuka oleh Ki Senu, dikenal sebagadi desa Troso.
Sebab ditempat tersebut para prajurit yang memikul jenasah Pangeran Hadirin mengalami kelelahan, tetapi semangatnya bangkit karena ada perintah pimpinan prajurit teruso….teruso, yang kemudian berubah menjadi truso dan terakhir berubah menjadi Troso. (*)
Penulis adalah Ketua Lembaga Pelestari Sejarah Jepara dan Wartawan SUARABARU