Oleh: Amir Machmud NS
// hanya ada dua pilihan/ memburu atau diburu/ sepak bola menyajikan wajah-wajah ganas sang pemburu/ ia ketengahkan pula wajah-wajah yang diburu/ bukankah ini hakikat kompetisi/ larilah ayo berlari/ kejarlah daku kau kutangkap// (Sajak “Perburuan”, 2021)
DALAM atmosfer perburuan hanya ada dua kemungkinan: terlecut, atau tersandung. Aksioma itu berlaku sebagai konfigurasi keadaan, baik untuk yang tengah memburu maupun yang sedang diburu.
Kondisi terlecut memuat elemen motivasi dan konfidensi, sedangkan ketersandungan menggambarkan ketergopoh-gopohan, mental terbeban, atau bahasa Jawa mengistilahkannya sebagai kemrungsung.
Manchester City dan Atletico Madrid. Dua tim dalam kondisi diburu para rival di Liga Primer dan La Liga itu pun terhinggapi suasana hati. City telah membuktikan lolos dari kejaran Manchester United, bahkan The Red Devils-lah yang akhirnya tidak mampu mengatasi beban sebagai pemburu.
Maka dengan melenggang, City tak harus berjuang sampai pertandingan-pertandingan terakhir liga ketika MU tak mampu mempertahankan konsistensi spirit pengejaran. Beban meraih angka penuh untuk seluruh laga sisa, tampaknya mempengaruhi performa Harry Maguire dkk yang bahkan menyerah dari Leicester City dan Liverpool.
Di La Liga, penentuan raihan trofi antara Atletico Madrid, Real Madrid, dan Barcelona berlangsung “gila”. Semula, Barca yang dalam posisi ketiga klasemen tetap difavoritkan karena mendeposit satu laga dari tujuh pertandingan terakhir, membuang kesempatan itu karena kalah dari Granada, seri melawan Atleti dan Levante.
Kenyataan laju Barca harus ditentukan oleh hasil dua tim lain untuk tetap mempertahankan asa juara, adalah bukti cekaman mental pada saat-saat menentukan. Bukankah ini bentuk sikap kemrungsung dalam filosofi perburuan?
* * *
KLIMAKS kompetisi seperti di Liga Primer memang tidak terlampau menggambarkan puncak ketegangan, karena selisih angka besar yang dikantungi The Citizens. Juga karena inkonsistensi Pasukan Old Trafford selepas tengah musim.
Kondisi ini memberi gambaran City lebih pantas meraih gelar. Dari sisi permainan, Pep Guardiola mampu mentransformasi ideologi sepak bola ofensif yang berbasis keindahan. Memang belum seindah Barcelona pada 2008-2013, namun City telah menjelma sebagai kiblat baru sepak bola indah ala Guardiola.
Barcelona sendiri, walaupun tetap bersaing di level puncak hingga akhir, belum sama sekali tertutup peluang. Akan tetapi, walaupun mampu meraih Copa del Rey, Blaugrana menghadapi realitas ketidakkonsistenan. Konflik di dalam manajemen yang merembes ke lapangan sejak musim lalu, ikut membuat kemrungsung atmosfer penampilan tim. Masih beruntung pelatih Ronald Koeman bisa menyaksikan Lionel Messi dkk tidak hancur-hancuran di tengah musim.
Medan “perburuan” di Liga Inggris dan Spanyol musim ini mengetengahkan kejadian-kejadian ekstrem. Juergen Klopp dan Liverpool, yang demikian kuat pada dua musim sebelumnya, dihadapkan pada instabilitas mental. Klopp tidak banyak mengubah formasi pemain, namun terjadi pernak-pernik yang signifikan mempengaruhi performa.
Virgil van Dijck, Jordan Henderson, dan Diogo Jota cedera. Trio Roberto Firmino, Sadio Mane, dan Mohamed Salah tidak setrengginas dua musim terakhir. Thiago Alcantara belum nyetel dengan irama The Reds. Selain terpuruk di liga, Liverpool juga gagal di Liga Champions, Piala FA, dan Piala Liga. Sisa akhir musim ini akan menentukan apakah mereka mampu meraih tiket zona Eropa musim depan.
Kehancuran Tottenham Hotspur yang semula memberi harapan di tangan Jose Mourinho, ikut mewarnai suasana Liga Primer. Padahal secara individu, The Lilywhites mengapungkan dua pemain sangat berkelas: Son Heung-min dan Harry Kane.
Di Spanyol, selain Barca yang dirundung masalah internal, Madrid juga menghadapi kondisi adaptasi yang masih dibangun Zinedine Zidane. Mereka gagal melanjutkan langkah di babak semifinal Liga Champions. Namun, penampilan tim secara keseluruhan cenderung membaik. Ketiadaan Cristiano Ronaldo bukan lagi persoalan bagi kolektivitas yang kini tampak dalam permainan Los Blancos.
Justru klub yang diperkuat Ronaldo, Juventus-lah yang kini tampak kehilangan stabilitasnya. Bukan sekadar lantaran faktor pelatih baru Andrea Pirlo, tetapi juga rival mereka, Internazionale Milan melejit bangkit di bawah Antonio Conte dengan spirit “perburuan” yang luar biasa.
Bukankah sepak bola, dari berbagai aspeknya, membangun analoginya sebagai ajang perburuan? Dia memilah posisi klub-klub, antara sang pemburu dan yang sedang diburu.
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jateng