TENAGA dalam sedang viral. Namun bukan karena keajaibannya, melainkan ada yang membuat sayembara berhadiah bagi yang bisa membuktikan tenaga dalam itu menurut versi mereka.
Ketika ada yang skeptis dengan tenaga dalam, ada juga yang berpendapat beda. Bang Beni dari Panca Suci, Depok, menuturkan pengalaman masa mudanya. Beberapa kali dia mengalami perkelahian di jalanan.
Menurutnya, tenaga dalam itu jika untuk bela diri di luar gelanggang, pada tahap-tahap awal kadang ada pukulan atau tendangan masuk. “Tergantung situasi dan kondisinya,” tuturnya.
Ketika saya tanya, pengalamannya memanfaatkan tenaga dalam untuk beladiri di jalanan, Bang Beni menjawab, pernah!
Di antaranya, tahun 2000 saat naik kendaraan umum melintas lokasi yang di situ banyak wanita berpakaian seksi. Bang Beni menampakkan sikap tidak suka. Ternyata ekspresi wajahnya itu memancing perhatian tiga penumpang pria yang baru naik.
Mereka bertanya ketus dengan napas bau alkohol. “Kenapa kamu tidak suka ya?” Salah satu dari mereka lalu memukul wajahnya.
Pukulan pertama masuk telak, namun karena yang dipukul bersikap tenang tanpa ekspresi kesakitan, mereka kalap lalu memukul lagi, namun pukulan berikutnya selalu meleset.
Mereka berupaya menarik Bang Beni keluar dari dalam mobil, namun selalu gagal karena tidak mampu menyentuh tangannya, bahkan mereka terpental hingga penumpang lain ketakutan dan minta sopir tancap gas.
Kejadian lain, ketika dia mengobati ibu-ibu pedagang pasar yang saat berhadapan dengan pembeli, mulutnya tidak bisa bicara, dan ketika posisi tubuh dan wajahnya miring, dia bisa bicara. Kemungkinan dia kena sihir hingga pelanggannya makin sepi, karena sikapnya yang aneh itu oleh pembeli dianggap tidak sopan.
Saat mulai pengobatan, leher Ibu itu seperti tercekik dan sulit bernapas. Namun ketika Bang Beni menggunakan tenaga dalam dengan visualsasi seolah mencabut benda dari leher, pasien itu bisa bernapas dan berbicara normal.
Dia mengisahkan, awal kali belajar tenaga dalam di Padang, yang menegangkan itu saat tes mental. Oleh guru dia disuruh menangkap anjing lalu dimasukkan kandang selama tiga hari, dan selama dalam kandang itu anjingnya diberi makan tape. Efek makanan yang mengandung alkohol itu menyebabkan emosi anjing seperti anjing gila.
Pengalaman Penulis
Pengalaman saya beda lagi. Kelas II SLTA saya asisten pelatih tenaga dalam. Tradisi pada aliran kami, pelatih harus siap jadi sansak hidup dan siap dihajar anggota untuk “memancing” amarah. Karena uji coba tenaga dalam baru bereaksi ketika penyerang dalam kondisi “emosi”.
Tugas pelatih, selain melatih jurus dan pernapasan, yang berat itu sesi ujicoba “serang-pukul”. Pelatih harus siap meladeni anggota baru yang ingin merasakan efek pental melalui adu fisik, pukulan, tendangan, karena tidak semua anggota baru bisa “emosi” saat latihan serangan. Persentase yang mudah “marah” antara 30-an persen. Yang 70 persen kelompok emosi tanggung dan yang tidak bisa.
Sayembara Tenaga Dalam
Saya menyimak tayangan uji coba tenaga dalam oleh pesulap berambut merah di youtube. Melihat cara memukulnya masih disertai kesadaran, maka walau yang dipukul itu sosok suhu sekalipun, ya tidak bakalan tenaga dalamnya bereaksi meleset atau mental.
Standar umum yang saya lakukan saat melatih, uji coba bagi penyerang pemula, jika dia bukan tipe mudah “kalap” diawali dengan pancingan emosi dengan adu pukulan dan tendangan ringan. Bahkan pelatih boleh melakukan pancingan dengan memukul bagian tubuh yang tidak membahayakan.
Karena sering menghadapi anggota yang belajar “menghadirkan amarah” saya menemukan rumus mendeteksi kadar emosi penyerang itu dari ekspresi wajah dan gerak tubuhnya. Mereka yang kadar emosinya dibawah 50 persen, posisi kuda-kudanya masih kokoh.
Ketika emosi meningkat, bagian wajah, mata, mulai memerah, liar, dan hilang keseimbangan kuda-kudanya. Dan jika kadar emosinya meningkat, posisi kuda-kuda dan langkah mulai goyah hingga berat untuk melangkah maju.
Boleh Mencoba?
Era 80-an, ketika masih aktif melatih di tetangga wilayah yang warganya dikenal keras dan bernyali, saya sempat kaget. Saat latihan di lapangan terbuka, ada warga pulang dari ambil rumput izin mau mencoba. Dan kejadian seperti itu terjadi beberapa kali.
Cara melayaninya, ketika sudah mulai menyerang, hindari dulu, lakukan pancingan emosi dengan pukulan dan tendangan ringan agar emosinya naik. Ketika ekspresi wajah mulai memerah disertai teriakan liar saat memukul, hampir dipastikan dia mulai bisa dipengaruhi tenaga dalam.
Pengalaman saya, uji coba standar itu selalu berakhir baik dan aman. Tidak berbuntut dendam, bahkan karena sudah merasakan sebagian dari sensasi tenaga dalam, mereka kemudian mengajak teman-temannya bergabung.
Perguruan kami, pada gelombang pertama, siswanya hanya 10. Pada gelombang kedua pendaftar membludak. Itu berawal ketika ada anggota yang sopir angkutan umum. Saat menunggu penumpang di depan pasar, dia diserang orang sakit jiwa.
Penyebabnya, orang itu naik mobil hingga penumpang pada turun. Saat dipaksa turun, sopir malah diserang, namun beberapa kali pukulan meleset, bahkan dia pun terkapar di aspal jalan raya. Melihat adegan riil, mementalkan “musuh” tanpa meneyentuh, tanpa iklan pun perguruan kami sampai nolak-nolak pendaftar.
Kesimpulannya? Tenaga dalam itu ada, namun tidak bisa diandalkan sepenuhnya, karena keberhasilannya perlu faktor penunjang. Yaitu, rajin berlatih, saat ada bahaya tetap mempertahankan ketenangan dan pintar-pintarnya “memainkan” emosi penyerang.
Masruri, praktisi dan konsultan metafisika tinggal di Sirahan Cluwak Pati