Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Baru-baru ini, Menteri Kesehatan RI menegaskan bahwa dalam sejarah, , tidak pernah ada/terjadi pandemi hanya berlangsung dalam hitungan satu tahun saja.
Tegasnya, pandemi (apa pun) keberlangsungannya akan “bertahun-tahun” dan untuk menghadapinya, berarti sangatlah bergantung pada dua hal utama; pertama, upaya keras dan cerdas dari sisi kesehatannya; dan kedua, sikap ikhlasnya masyarakat dalam berperan serta aktif menghadapi pandemi itu.
Seperti diketahui, kerja keras dan cerdas yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah saat ini ialah pemberian vaksin (vaksinasi) kepada warga masyarakat.
Dalam deru-derapnya vaksinasi ini, salah satu permasalahan yang muncul ialah penolakan oleh sebagian anggota masyarakat; padahal seperti dikatakan di atas, perpaduan kerja keras dan cerdas Pemerintah sangat perlu didukung oleh sikap ikhlas masyarakat untuk menerimanya.
Mengapa masyarakat harus berpartisipasi aktif berlandaskan sikap ikhlas dalam gerakan vaksinasi Covid-19 ini? Salah satu jawabannya telah disebutkan, yakni karena sering ada penolakan, dan cara menolaknya terkait sikap ngemping lara, genjah pati.
Contohnya, ada orang atau bahkan mungkin sekelompok orang “sengaja” menolak vaksinasi dengan berucap: “Urip-mati kuwi gumantung sing Maha Kuwasa, ngapa divaksin barang?
”Ungkapan berupa sikap hidup seperti contoh ini tidaklah salah, namun kalau dalam faktanya terjadi ada banyak orang menderita karena terkena Covid-19, urusannya menjadi sangat panjang dan membawa serta masalah-masalah kehidupan lainnya.
Namanya wabah itu berjangkit ora milih-milih, siapa saja berpotensi kena: sing sugih, sing mlarat, sing urip di rumah magrong-magrong susun pitu, ataupun yang tempat tinggalnya biasa-biasa saja.
Dalam ketidakpastian semacam itulah, maka wajar dan harusnya diterima secara ihklas ketika Pemerintah mengerjakan secara keras dan cerdas kegiatan yang pasti-pasti saja, yakni vaksinasi.
Dengan kata lain, siapa bakal terkena Covid-19 tidak seorang pun dapat memastikannya, tetapi kalau siapa saja menerima vaksinasi, dapatlah dipastikan bahwa dia/mereka akan semakin baik imunitas dirinya.
Ngemping Lara
Bacalah ngemping sebagaimana Anda mengucapkan sempit ataupun pelit; dan bagi Anda yang hobi ngemil emping Limbangan, nah begitu itulah mengucapkan ngemping.
Adapun arti ngemping ialah jaluk utawa nempil. Kalau ungkapannya ngemping lara, ya…berarti orang itu jaluk lara. Mungkin ada yang menyanggah: “Kok isa, ora gelem divaksin diarani jaluk lara?”
Baca Juga: Sapa Bakale Tiba Kasur, Sapa Tiba Malang?
Jawabe gampang wae, ya kalau imunitas dirinyanya tidak tinggi, padahal sedang ada wabah virus Corona gentayangan goleki wong sing rendah imunitas dirinya; tidaklah mustahil orang itu terkena Covid-19. Makanya ora usahn gemping lara, jaluk utawa nempil (sithik) lara Covid-19. “Gelema divaksin!!”.
Lebih miris lagi ngemping lara …. Diteruske dadi genjah pati, Ucapkan genjah itu nggenjah, dan lafalnya seperti Anda mengatakan sewa tenda merah, sedangkan arti genjah itu ada tiga (3).
Pertama genjah itu berarti enggal awoh (lan akeh). Para petani sangat akrab dan tahu persis mana bibit padi genjah, mana bibit pari jero, yaitu padi yang lama panennya. Kedua, genjah berarti sulaya, nyimpang; dan ketiga, genjah bermakna dhisiki utawa gege.
Makna ketiga inilah yang terkandung dalam ngemping lara, genjah pati: Menantang atau bahkan minta sakit, ben mati pisan ora apa-apa. Jadi, genjah pati bermakna juga dhisiki utawa gege kersane sing Maha Kuwasa.
Dalam konteks gerakan missal vaksinasi saat ini, alangkah baiknya dibuang jauh-jauh sikap ngemping lara genjah pati, karena memang sama sekali tidak ada keuntungan apa pun jika
Anda menolak divaksin. Sebaliknya, jika Anda menerima dan bersedia divaksin, keuntungan paling jelas ialah tingkat imunitas tubuh Anda membaik. Mosok emoh makin sehat karena makin imun?
Ayo Lurrrrrr…kersa divaksin nggih!!!