blank
Thiago Alcantara. Foto: dok/Liverpoolfc.com

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// dalam imajinasi/ ia hadir dan memberi/ melambungkan mimpi/ terbang ke langit angan/ membawa ide tentang keindahan/ untuk membelah kebekuan/ yang mencairkan kekakuan/ ia fantasista/ masih diterimakah dalam fasih permainan/ agar sepak bola tak melulu keras dan kekar?//
(Sajak ‘Fantasista’, 2021)

ROBERTO Baggio, Il Divyne Ponitail (Il Divin Codino).

Nama ini pernah menyihir Italia dan dunia pada era sepak bola 1990-an, terutama setelah gelaran Piala Dunia. Baggio adalah jawaban kerinduan publik Italia terhadap kehadiran sosok bintang sekaliber Paolo Rossi atau Gianni Rivera.

Predikat “Malaikat Berkuncir” menggambarkan betapa besar peran kehadiran Baggio dalam tim-tim yang dia bela. Tetapi tahukah Anda, sejatinya setiap pelatih selalu membutuhkan konsep khusus untuk “mengorbankan” taktik konservatif, memberi ruang kepada pemain setipe Baggio? Namun, juga tak setiap pelatih bersedia berkompromi dengan jenis pemain seperti itu.

Simaklah satu suku kata ini: fantasista. Inikah karakter bermain yang “berbeda” itu?

Komik manga karya Michiteru Kusaba menguraikan, fantasista bukanlah posisi, apalagi peran. Dalam calcio Italia kita mengenal trequartista atau regista yang merujuk posisi dan peran. Sedangkan fantasista merupakan label yang melekat kepada seorang pemain dengan kualifikasi tertentu.

Manga ini merupakan komik sepak bola paling populer di Jepang setelah Kapten Tsubasa ciptaan Yoichi Takahashi yang terbit sejak 1981. Agak berbeda dari Tsubasa, manga Fantasista banyak menguraikan tentang lika-liku taktik dan imajinasi permainan sepak bola.

Kusaba mengisahkan tentang kesulitan bocah bernama Teppei Sakamoto untuk beradaptasi dengan permainan tim, justru karena dia adalah seorang pemain dengan teknik dan imajinasi liar.

Saat manga Fantasista beredar, media sedang membicarakan bintang-bintang sepak bola dunia yang bertipe “seniman”. Jenis ini bergulir dari Baggio ke Alessandro Del Piero, lalu Francesco Totti. Selanjutnya, sering disebut pula Andrea Pirlo dan Paulo Dybala, walaupun penyerang Juventus asal Argentina itu lebih banyak tenggelam dalam taktik pelatih yang tidak memberi ruang untuk imajinasi permainannya.

Dalam era sepak bola sekarang, nyaris sulit menemukan pemain berkarakter seperti mereka. Taktik pelatih lebih memberi peran pasti, dan setiap pemain harus tunduk pada doktrin taktikal, tidak boleh sekadar meluapkan naluri. Bahkan pemain sekaliber Lionel Messi, yang dalam masa kepelatihan siapa pun tidak diikat dengan peran dan posisi tertentu, kini harus mengikuti skema Ronald Koeman yang seolah-olah mencencangnya untuk tidak terlalu mengumbar seni dan kata hati.

* * *

SEPERTI itu pulakah jalan Thiago Alcantara? Bersama Liverpool, ia belum mampu mengekspresikan kelebihannya.

Sejak direkrut Liverpool dari Bayern Muenchen, Alcantara masih mencari-cari titik bermain yang pas, dan tak kunjung menemukannya. Dia tampak kesulitan dengan gaya pressing Juergen Klopp. Padahal dari curriculum vitae sebagai elemen penting Bayern saat menjuarai Bundesliga, Piala Jerman, Liga Champions, dan Piala Dunia Antarklub, logikanya pemain 29 tahun ini mudah nyetel dengan klub mana pun.

Dia belum sekalipun membukukan gol dan assist dalam 14 penampilan di Liga Primer. Padahal, semula diproyeksikan membuat lini tengah Liverpool makin hidup dan dinamis.

Daily Mail memberitakan, Thiago pernah mengungkapkan kekhawatiran tidak bisa melakukan pressing sebaik Jordan Henderson, Fabinho, atau Georginio Wijnaldum dalam taktik gegenpressing yang merupakan filosofi kepelatihan Klopp.

Legenda Liverpool Dietmar Hamann malah terang-terangan melihat Alcantara bukan tipe pemain yang cocok untuk The Reds. Gaya bermain yang stylish akan memperlambat pressing para pemain lainnya.

Analisis lain, pemain asal Spanyol itu tidak mengikuti laga-laga pramusim bersama rekan-rekannya, dan sempat terpapar Covid-19 yang menyebabkannya harus menepi beberapa bulan, sehingga mengalami keterhambatan dalam adaptasi.

Ketika bergabung dengan Bayern Muenchen pada 2013 era Pep Guardiola, banyak yang menyebut kemonceran Alcantara merupakan refleksi dari visi Pep. Di Barcelona, dia digadang-gadang sebagai The Next Xavi Hernandez yang berpredikat “The Puppet Master”, dalam kata lain seorang fantasista. Tetapi karena Xavi masih aktif bermain, Alcantara pun minim menit bermain. Betul juga, dia “meledak” di Bundesliga bahkan setelah ditukangi oleh pelatih pasca-Pep.

Alcantara masuk dalam kategori yang digambarkan dalam komik Teppei Sakamoto sebagai ”Sejumlah pemain yang apabila mereka menguasai bola, penonton akan berpikir apa yang selanjutnya bakal mereka lakukan?”

Kualitas imajinatif Alcantara mulai tampak ketika memimpin rekan-rekannya dalam tim Barcelona B, juga Tim Nasional Spanyol U-16, U-17, U-18, U-19, dan U-21. Bukan sekadar peran play maker, tetapi bahkan membawa “ide”, “seni”, dan imajinasi liar.

Dia berpotensi menjadi pembelian flop, padahal Liverpool merogoh kocek hingga 20 juta poundsterling. Apabila Klopp tidak memberinya ruang berpetualang dan hanya mendoktrin dengan skema pressing yang tidak cocok dengan sentuhan seninya, masa depan Alcantara betul-betul bermasalah.

Pelatih boleh jadi mengukuhi filosofi bermain tanpa menghiraukan gaya setiap pemain. Namun ketika Alcantara bisa berdaptasi bersama Bayern Muenchen yang cenderung memainkan speed and power game pasca-Pep Guardiola, artinya yang dibutuhkan Alcantara adalah ruang berimprovisasi dengan modal tekniknya. Toh, bukankah Xavi Hernandez dengan permainan penuh imajinasi (yang terkesan lamban) pun bisa luwes di tengah kecepatan Andres Iniesta dan Leo Messi?

Kalau Alcantara tidak juga menemukan corak bermain yang nyetel dengan irama Si Merah, yang rugi bukan hanya dia sendiri. Juergen Klopp yang mengambilnya dari Muenchen, tidak mendapat nilai tambah. Tim Nasional La Furia Roja juga bakal kehilangan, karena play maker andalannya tidak punya menit bermain yang cukup.

Kehadiran fantasista yang memberi “perbedaan” seperti pada era Baggio, Del Piero, Totti, atau Pirlo, boleh jadi tak lagi diakomodasi seorang pelatih yang lebih memilih menyiapkan skema taktik dengan posisi dan peran pasti.

Padahal, ibarat penyair yang membawakan puisi-puisi indahnya, fantasista dalam sebuah tim sepak bola adalah imajinasi yang menawarkan perbedaan.

Akankah Thiago Alcantara menguap di balik ego taktik dan tuntutan untuk meminggirkan naluri seni bermainnya?