TEMANGGUNG (SUARABARU.ID) – Memasuki bulan Ruwah, seblum Ramadan tiba, masyarakat Jawa biasa melakukan tradisi sadranan atau nyadran.
Begitu pula yang dilakukan masyarakat Dusun Klebakan dan Dusun Kepatran, Desa Soropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung.
Masyarakat di dua dusun tersebut melakukan tradisi nyadran dengan sayur dan lauk-pauk, menggelar doa dan makan bersama di sekitar pemakaman umum Setengu atau sekitar 300 meter dari Dusun Klebakan pada Jumat (12/3).
Upacara nyadran tersebut, dilaksanakan dua bulan menjelang Ramadan yakni setiap tanggal bulan Rajab (penanggalan Jawa), tepatnya di hari Jumat dan bertepatan dengan hari pasaran Paing.
Masyarakat dusun setempat membawa nasi lengkap dengan dan sayurannya untuk dibawa ke makam tersebut di acara sadranan.
Setelah berkumpul di suatu tempat tanah yang lapang di komplek pemakaman. Tradisi sadranan dimulai dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh kaum (pemuka agama) setempat, yakni Asmu’i.
Biasanya, usai berdoa dengan beralaskan pelepah daun pisang yang di tata di atas tikar, mereka menggelar makanan yang dibawa dari rumah. Seperti nasi tumpeng, ingkung ayam dan aneka sayuran.
Namun karena masih di masa pandemi covid-19, acara makan bersama tersebut ditiadakan. Sebagai gantinya, makanan yang dibawa dari rumah dan dimasukkan dalam cething (bakul/tempat nasi) yang terbuat dari plastik kembali dibagi-bagikan sebagai nasi berkat.
Tak Ada Makan Bersama
Menurut salah satu sesepuh Dusun Klebakan, R Ananta Kusuma, tidak adanya makan bersama di aera pemakaman Setengu tersebut juga untuk mengantisipasi agar nasi yang telah digelar di atas pelepah daun pisang, tidak ada sisanya.
“Dulu, saat makan bersama nasi dan aneka sayurannya digelar di atas pelepah daun pisang dan sisanya cukup banyak, sehingga mubazir. Kini, polanya diganti dengan nasi dan sayuran dimasukkan ke dalam cething plastik dengan tujuan jika ada sisa bisa diberikan ke orang-orang yang kurang beruntung,” ujarnya.
Ia menambahkan, tradisi nyadran yang dilakukan di pemakaman umum Setengu tersebut, telah dilakukan secara turun-temurun dan hingga saat ini masih tetap dilestarikan.
“Tradisi nyadran di pemakaman umum Setengu ini sudah ada sejak nenek moyang kami, dan masyarakat di sini masih melestarikan tradisi tersebut,” katanya.
Ia menambahkan, doa-doa yang dipanjatkan dalam nyadran tersebut ditujukan untuk arwah para leluhur masyarakat Dusun Klebakan dan Kepatran yang dimakamkan di pemakaman umum tersebut.
Selain itu, doa-doa tersebut juga dipanjatkan untuk dua orang tokoh yang diyakini sebagai cikal bakal Dusun Klebakan dan Kepatran. Dua tokoh tersebut yakni Kiai Jalaludin ( Kiai Jala) yang merupakan cikal bakal Dusun Klebakan dan Kiai Mantran ( cikal bakal Dusun Kepatran).
Ananta menjelaskan, tradisi nyadran tersebut merupakan ungkapan syukur atas berkah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa dalam satu tahun ini. Selain itu, juga suatu kebersamaan ini yang dirindukan dan jarang ditemui di kota besar.
“Kami juga ingin mengajarkan pada anak-anak untuk selalu hidup rukun dan tidak melupakan leluhurnya. Selain itu, tradisi nyadran ini juga untuk lebih mempererat persaudaraan,” paparnya.
Yon-wied