blank
Foto: Manu Fernandez/Pool/AFP/Getty Images

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// tidak ada pesta yang tak berakhir// maka mereka memanfaatkan waktu// yang tinggal sedikit// senyampang kau masih di sini, La Pulga// mumpung aku masih berbaju Blaugrana, kata Messi// dan adakah kolaborasi di ujung pesta// memberi guratan kenangan luar biasa?//
(Sajak “Menjelang Perpisahan”, 2021)

MENGIKUTI aksi Lionel Andres Messi Cuccitini dari laga ke laga seperti menemukan ekspresi batin yang luar biasa. Pada sisa musim 2020-2021 ini, dia dan Barcelona seolah-olah tengah meluapkan pijar kegelisahan.

Leo Messi bagai membahasakan kata hati, “Oh, aku akan segera pergi…” Sementara itu, Barca ada dalam tarikan napas ketakutan, “Akankah dia benar-benar tidak lagi bersama kami?”

Kegembiraan La Pulga selalu tergambar dari raut penampilannya. Ada energi kata hati dalam tarian mautnya, dan gol demi gol adalah produk keceriaannya. Katakanlah, ketika hatinya suntuk, permainan Messi juga “murung”.

Lalu kalian amati-kah, bunga-bunga bermekaran di liga-liga dunia?

Calon-calon penerus kehebatan Messi menebar. Dari Phil Foden ke Erling Burt Haaland. Dari Thiago Almeda ke Dario Sarmiento. Dari Reinier ke Rodrygo Goes. Tapi garis bawahilah satu hal ini: predikat Messi dengan kemampuan alien masih terus melekat. Dribel, umpan, dan gol-golnya di La Liga tetap berbeda dari kelaziman pemain berlabel bintang lainnya.

Pekan lalu, umpan terobosan yang dituntaskan oleh Ousmane Dembele ke gawang Sevilla, dan gol technicy lewat proses individu yang sulit, masih memperlihatkan “itulah Messi”. Saya menangkap percik kegembiraan dalam gol itu. Dan, bukankah itu refleksi kata hati dalam bahasa gerak dan skill?

Diam-diam, kegelisahan terasa makin menerpa.

Tak lama lagi, Juni nanti, kebersamaan dengan Barca dalam ikatan kontrak profesional akan berakhir. Kalau tidak ada progres dalam negosiasi, artinya takkan ada lagi Messi di Camp Nou. Pada sisi yang lain, komunitas Catalunya pasti berpikir, betapa sentimentil perasaan yang menggumpal dalam waktu yang pendek, dan rasanya menjadi makin pendek.

Akan tiba jugakah waktu itu? Secara alamiah, atau lantaran tak ditemukan kesepakatan? Padahal, Barca tanpa Messi adalah “kekosongan sukma”.

* * *

BERBEDA dari kisah pemain bintang lainnya, ikatan Leo Messi dengan Barcelona adalah chemistry sejarah pertumbuhan. Sisi-sisi “hati”, “rasa”, dan “manusia” kuat mengikat.

Barca menemukan talenta luar biasa itu di Rosario, Argentina, 20 tahunan silam. Lalu pada September 2000 memutuskan membawa, mencurahkan semua komitmen untuk membesarkan anak usia 14 yang mengalami keterhambatan hormon pertumbuhan itu.

Ya, karena intuisi scouting mereka mengatakan, bakat si bocah adalah penemuan yang bakal menggegerkan dunia sepak bola.

Akademi La Masia menjadi saksi sejarah awal kebersamaan, sampai Barca betul-betul bergantung kepada pemain berwajah imut itu. Hubungan profesional dalam industri kompetisi yang kapitalistik pun, dalam konteks Messi, bergerak lebih emosional menjadi relasi personal.

Maka komplikasi hubungan di akhir kebersamaan Messi dengan Barca pada 2020 lalu, sebenarnya juga bisa ditafsiri sebagai ungkapan kegelisahan. Barca tampak tidak siap tanpa Messi, sebaliknya Messi belum membayangkan berkarier di luar Camp Nou, dengan iming-iming pendapatan segede apa pun, entah di Manchester City atau Paris St Germain.

Atau, kemelut skandal korupsi yang melibatkan Presiden Barcelona Josep Maria Bartomeu — yang notabene adalah “musuh” Messi, menjadi tanda sang ikon bakal bertahan?

* * *

PEKAN demi pekan, ketika kompetisi bergulir menuju akhir adalah perjalanan yang makin memperpendek kebersamaan, memperdekat keniscayaan sebuah perpisahan.

Ya, inilah hari-hari dengan sisa kegembiraan. Waktu pasti tiba. Makin dekat dan dekat. Lalu pesta akan berakhir pula.

Lionel Messi bertahan atau akhirnya pergi, bakal menjadi peristiwa besar sepak bola. Sebuah drama panjang akan berakhir, dan semua berdebar menunggu ending seperti apa yang terjadi.

Entah wajah dengan rona seperti apa yang nanti melintas dalam hari-hari Barca tanpa La Pulga. Wajah seperti apa pula yang mewarnai hati Leo Messi. Kemurungan, keceriaan, atau ekspresi samar yang takkan terbaca?