Oleh Pramudito Damarjati
SEBETULNYA sudah lama iparku itu hidup di kota, tapi sampai sekarang ia masih sering lupa mengunci pintu rumah. Ketika malam, kerap kedapatan masih terbuka atau menyisakan celah yang membikin cahaya menyembul ke depan pintu.
Pernah suatu kali ia bercerita, bapak mampir siang-siang, di jam-jam selepas tengah hari. Tahu pintu terbuka tanpa penjagaan, sementara pemilik masih tidur di kamar, bapak marah. Mungkin bukan marah. Tapi Ngeleke. Beliau ngendika, “Kalau-kalau penat kerja mau istirahat, ada baiknya pintu dikunci.”
ketika kemalingan pun ia tak seperti orang yang lazim dilanda kepanikan. Tahu-tahu jendela sudah dibobol ketika pulang ke rumah. Keesokan harinya berembug, tapi tidak dalam suasana wajarnya kemalingan, tapi suasana hangat yang tak wajar sama sekali. Entah tak ingin sekeluarga khawatir atau bagaimana, yang jelas peristiwa itu terasa aneh dan lucu.
Maka pada suatu kesempatan, aku bertanya ke Iparku itu, apakah sengaja atau memang lupa soal pintu depan. Jawabnya sederhana sekali, “Karna di desa memang begitu.”
Sepintas, aku langsung terpikir sebuah gelombang modernisasi, dimana ia membangun sekat, menciptakan senjang sosial yang melebar. Memang, kota merupakan basis utama modernisasi yang sukses menggeser sikap dan pandangan budaya.
Hal ini dibuktikan dengan menganggap pintu terbuka sebagai ketidakwajaran. Yang sesungguhnya, di desa, orang wajar saja keluar masuk ke rumah orang lain.
Itulah pergesekan budaya yang mencolok sekaligus menohok. Manusia-manusia modern semakin hidup dalam alur perlombaan yang sengit. Melebarkan jurang ketimpangan antara orang-orang yang kalah dan menang.
Ironis. Mengetahui bahwa orang semakin kesini, makin gelisah dan curiga terhadap orang lain. Sementara di desa iparku sana, orang benar-benar tak memiliki alasan jadi maling, karena mereka selalu sibuk berbagi dan memberi dalam bingkai kebersamaan.
Aku membayangkan Iparku itu, semula hidup dalam lingkar keluarga yang tiap sore berkelakar di teras rumah dengan saudara dan tetangga. Saling bertegur salam dan menanyakan kabar. Kemudian seketika ketela goreng selesai mentas dari minyak panas, kopi-kopi menemukan tempat yang pas di sela perbincangan.
Orang-orang menjumput tela goreng, menyeruput kopi atau panas wedang jahe. Melanjutkan senda gurau sampai titik matahari perlahan turun dari balik pohon-pohon kelapa, meredup habis ditutup maghrib. Di sanalah bersemayam kehangatan, dimana manusia menjadi selayaknya manusia, “manungsani manungsa”.
Namun pada suatu masa, Iparku dengan cepat hidup dalam suasana yang sama sekali berbeda : Kota. Tempat yang sesungguhnya mewakili belantara dari pada wajah peradaban.
Dengan senyum-senyum simpul yang dingin dan asing. Tangan manusia yang hanya akrab dalam kesepakatan “win to win“. Nasib saling beradu tak kenal lawan main. Sapaan rasanya tak pantas di kota, kalau bukan diucapkan para pegawai kepada bosnya atau pembeli kepada pelanggan.
Maka tak heran jika manusia senantiasa hidup dalam bayang kegelisahan, berusaha melindungi diri dan tak ambil peduli pada siapa pun. Kecurigaan bapak terhadap pintu adalah segelintir resah dari ribuan orang yang diselimuti rasa yang sama.
Bahwa sesungguhnya wajah kekotaan adalah ekspresi manusia yang paling purba : keji, banal dan serakah. Mau tak mau, arah pandangan kita ini perlu direnungi kembali. Di hentikan sejenak.
Jadi mari duduk dan belajar bagaimana cara menggoreng ketela di atas wajan panas, kemudian ditiriskan bersamaan dengan wedang kopi atau jahe yang mengepulkan aroma nikmat.
Mari belajar bicara, bertegur sapa, bergurau tanpa melihat arah waktu yang berjalan terburu-buru. Mari menjumput tela goreng tanpa sungkan terhadap siapa saja.
Di tengahi dengan seruput kopi. Barangkali jadi pengantar yang pas akan perjumpaan manusia terhadap dirinya sendiri. Memasuki ruang-ruang kelakar yang paling otentik.
Menumbuhkan lagi kemesraan sejati. Bukan antara kota dan desa. Namun manusia kepada manusia.
Pramudito Damarjati, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW Salatiga.