Ilustrasi. Foto : SB/dok

Oleh Idham Cholid

Idham Cholid, Pembina Kompak Wonosobo. Foto : SB/Muharno Zarka

Apakah Gubernur akan kembali menerbitkan Surat Edaran? “Gerakan Jateng di Rumah Saja” yang hanya dua hari di akhir pekan itu, perlukah diperpanjang menjadi satu pekan, atau bahkan satu bulan?

Berderet pertanyaan mungkin tak langsung tersampaikan. Namun sikap “nggerundel” masyarakat sangat jelas, wabil-khusus para pedagang kecil yang mengais rezeki untuk sekadar mencukupi kebutuhan harian. Terlebih, para pedagang yang hanya berjualan mingguan.

Masalah yang utama sebenarnya bukan pada Surat Edaran itu. Justru, menurut saya, bagaimana kita harus merespons “musibah” (pandemi Covid-19) ini secara cerdas, dengan segala kompleksitas masalah ikutannya. Tentu, dengan selalu menempatkan kepentingan masyarakat, sekaligus prinsip mashlahat dan asas manfaat yang harus dikedepankan.

Takdir Tuhan

Soal pandemi, teman saya –guru besar biologi dan mantan Rektor sebuah Perguruan Tinggi Negeri– menjelaskan beberapa hal terkait hal tersebut. Tak lain, ini sekadar kilas balik.

Bahwa, katanya, sejak sebelum pandemi merebak, para peneliti biologi dan kesehatan telah menunjukkan bukti-bukti. Puluhan jurnal ilmiah terkait fenomena corona virus ter-“update” pun telah dipublikasikan. Bahwa apa yg akhirnya disebut Covid-19 itu nyata adanya dan memang perlu langkah nyata pula untuk mengatasinya.

Namun saat itu, menurutnya, hampir seluruh otoritas di dunia ini kurang responsive dan atau cepat tanggap. Bahkan teori “konspirasi” yang bersifat pseudo-science telah pula bertebaran di medsos.

Harus ditegaskan, pada situasi ini justru para pebisnis yang sebenarnya lebih cerdas mengambil “peluang” dan, pada sisi lain, ada pula yang memanfaatkan “momentum” di tengah situasi pandemi Covid-19 yang semakin tak terkendali itu.

Bagaimana dengan masyarakat? Jangankan masyarakat pada umumnya, para (pejabat) pengambil kebijakan sekalipun terlihat malah panik dan bingung.

Sekadar untuk pembanding saja. Menurut data pemerintah China –yang dilihat South China Morning Post– bahwa munculnya virus ini tepat pada akhir tahun 2019 di sebuah kota di China, yaitu Wuhan. Sangat meresahkan masyarakat disana. Gejala penyakitnya, mulai dari flu biasa hingga flu berat.

Kita semua saat itu, masih santai-santai saja. Dianggapnya, itu hanya penyakit biasa dan hanya khusus disana. Jangankan kita, Presiden USA Donald Trump sendiri saat itu hanya menganggapnya sebagai virus China. Bahkan, ada tuduhan jika virus itu “tercipta” oleh kerja khusus sebuah laboratorium di Wuhan.

Namun, penelusuran terkini oleh tim WHO terkait asal-usul virus corona di China itu telah usai. Tim WHO, setelah melakukan penelusuran ke berbagai tempat, mengungkapkan bahwa dugaan virus itu diciptakan di laboratorium tidak terbukti. Bahkan tidak ditemukan juga asal-usul virus itu di Wuhan.

China, sebagaimana kita tahu dari awal, sangat cepat merespons-nya. Langkah cerdas atasi itu harus ditiru. Kita semua melihat waktu itu, bagaimana pemerintah China bisa membangun sebuah rumah sakit khusus untuk karantina hanya dalam tempo seminggu lamanya.

Kita sendiri, (harus) bagaimana? Pertama, yakinilah bahwa pandemi Covid-19 nyata adanya. Ini adalah takdir Tuhan yang tak terelakkan. Tanpa menyalahkan siapapun, inilah “musibah” untuk kita semua agar ber-muhasabah (melakukan introspeksi diri). Bukankah setiap musibah yang menimpa karena ulah kita? (Qs.42:30). Bukankah semua kejadian telah ditentukan oleh-Nya? (Qs.64:11).

Kedua, menerima itu sebagai takdir yang harus diyakini, sekaligus haruslah diiringi dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Terlebih pemerintah, yang memang diberi “mandat” oleh negara untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” (Pembukaan UUD 1945). Selanjutnya, “proteksi” khusus terkait hal ini juga sangat jelas dan tegas disebutkan, sebagaimana dalam pasal 28A, 28G (1), 28H (1 dan 4), dan 34 (3) UUD 1945.

Sekali lagi, itulah takdir. Hanya disadari setelah kejadiannya benar-benar nyata dan tak bisa disangkal lagi keberadaannya.

Kebijakan Protektif

Jika masyarakat umum sampai saat ini masih agak panik dan bingung, dapatlah dimaklumi. Disatu sisi, bukan tak yakin lagi dengan pandemi Covid-19, justru mereka sangat meyakini itu.

Namun, pada sisi lain, terutama yang berada di lapisan bawah, mereka benar-benar “terhimpit” oleh keadaan. Situasi pandemi telah membawa ketidak-pastian. Mereka semakin tak menentu, harus bagaimana agar bisa bertahan?

Sementara, regulasi terkait pengendalian itu dinilai gampang sekali berubah. Sejak Juni 2020, pemerintah telah mencanangkan apa yang disebut dengan “new-normal” agar semua menerapkan adaptasi baru. Bukan sekadar “berdamai” dengan pandemi, tetapi lebih merupakan ikhtiar dengan langkah cerdas.

Bagaimana menciptakan “organisme” dalam mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya, sehingga dapat bertahan dalam menghadapi setiap ujian kehidupan. Terbukti, pada dasarnya masyarakat telah dan lebih mampu melakukan semua itu.

Di era new-normal ini pemerintah sebenarnya juga telah menetapkan kebijakan, terutama terkait upaya mengatasi dampak perekonomian UMKM di tengah pandemi Covid-19. Saya memahami, upaya itu juga ditujukan untuk para pedagang kecil, atau yang sering Presiden Jokowi sebut sebagai sektor informal.

Upaya itu, diantaranya: aktivasi usaha sesuai protokol Covid-19, atau yang populer dengan istilah prokes (protokol kesehatan); pelatihan dan pendampingan; serta on-board line. Upaya tersebut secara khusus dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.

Namun, entah kenapa, yang menonjol selama ini lebih pada usaha penerapan tertib prokes, hingga untuk kepentingan itu aparat TNI dan Polri juga dikerahkan sedemikian rupa. Tak salah memang. Namun, bagaimana dengan upaya yang lain? On-board line misalnya, cukupkah dengan sekadar menggencarkan kampanye “melawan” Covid-19 di papan reklame?

Kemudian upaya pelatihan dan pendampingan, dalam bentuk apa yang selama ini telah dilakukan, sementara aktivasi usaha sesuai prokes juga belum tampak ada “keseragaman” implementasinya.

Surat Edaran Gubernur Jateng yang disikapi pro dan kontra dikalangan Bupati dan Walikota beberapa waktu lalu, menjadi salah satu bukti lemahnya koordinasi pemerintah itu sendiri.

Tampak jelas, keseragaman implementasi kebijakan belum tercipta dengan baik. Maka wajarlah jika masyarakat, terutama mereka yang bergerak di sektor informal, semakin didera kebingungan.

Yang diperlukan saat ini adalah langkah lebih cerdas lagi. Tak lain, harus ada kebijakan protektif yang benar-benar melindungi masyarakat, terutama mereka yang bergerak di sektor informal khususnya, juga warga masyarakat pada umumnya.

Kebijakan protektif dengan keseragaman perlindungan untuk saat ini harus lebih diprioritaskan, meskipun penerapannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kearifan di setiap daerah.

Saat membuka Munas VI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Kamis (11/2/21), Presiden Jokowi tegaskan tentang prioritas kerja yang mesti dilakukan untuk pengendalian laju penyebaran virus Corona.

Yaitu percepatan vaksinasi, memperbanyak program padat karya, dan pemberian bantuan sosial bagi masyarakat lapisan bawah terdampak pandemi.

Meskipun pesan itu disampaikan di hadapan para Walikota, tapi sejatinya, hal tersebut untuk seluruh jajaran pemerintahan. Bahwa keseragaman dalam menerapkan kebijakan protektif harus segera dilakukan. Tanpa itu, masyarakat akan terus berada dalam ketidak-pastian.

Kita sepakat, seluruh kekuatan masyarakat mesti bersatu padu. Kita harus saling “respect.” Bersatu dalam keragaman pendapat, gagasan, dan pemikiran. Karena perbedaan adalah rahmat.

Pandemi global Covid-19 merupakan musibah sekaligus telah menjadi ujian nyata dan persoalan bersama. Yang pasti, tak ada solusi tunggal untuk mengatasinya.

Keragaman ide dan gagasan diperlukan, tetapi keseragaman kepedulian, terutama kebijakan protektif pemerintah harus lebih dikedepankan.

Idham Cholid,
Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (Jayanusa), Pembina Komunitas Pedagang Kecil dan Pelaku UMKM di Wonosobo