ADA guru sepuh mengajarkan ilmu perlindungan diri dan menerapkan ketentuan mahar yang unik kepada calon murid. Yaitu menggunakan patokan angka 12 (dua belas). Calon murid dari kalangan bawah, pada tahun 90-an memberi mahar Rp. 12.000,00.
Dari kelas menengah Rp.120.000,00 dan yang lumayan kaya memberi Rp.1.200.000. Jika yang mau belajar itu misalnya anak Raja, Sultan, konglomerat, atau anak ketua partai, maharnya bisa Rp 12 Juta,bahkan Rp 120 Juta.
Tradisi itu diberlakukan untuk menghargai kedua pihak. Hak Guru dan calon murid sama-sama diperhatikan. Sebab, bagaimanapun yang paling tahu kemampuan yang akan belajar itu adalah calon murid itu sendiri.
Makna Ro-Las
Tradisi mahar serba 12, atau dalam bahasa Jawa disebut “Ro-las” (Dua Belas) mengandung arti rasa welas. Pemberian mahar “Rolas” itu sebagai tali asih murid kepada gurunya. Cara itu lebih manusiawi karena calon murid tidak dipaksa atau terpaksa mengikuti “wani piro”!
Angka 12 itu dihubungkan dengan filosofi titik kulminasi matahari. Jam 12 menurut kepercayan lama diyakini sebagai “sambekala” (Ada yang menyebut Sambikala) yang artinya halangan atau kecelakaan.
Dipilihnya angka 12 justru itu untuk familiar dengan angka yang diyakini identik dengan “kesialan” itu. Karena pada sesungguhnya angka 12 itu justru diyakini sakral. Nabi Muhammad SAW lahir 12 Rabiul awal. Ada dikaitkan dengan kedatangan Imam ke 12, Al Mahdi yang ada ada dalam ajaran syiah dan sunni.
Itulah bijaknya para mursyid zaman dulu. Terlepas makna angka 12, yang pasti dibalik itu ada kebijakan yang lebih manusiwi bagi pencari ilmu, sehingga tidak ada kebijakan “harus atau wajib” yang tidak boleh diubah atau ditawar.”
Zaman Nabi
Mungkin ada yang bertanya, apakah pada zaman Nabi SAW dan empat sahabat itu ada tradisi mahar ilmu? Dikalangan ahli hikmah, mahar itu terinspirasi riwayat saat sahabat Nabi saat mengobati orang disengat hewan (ular/serangga) lalu yang mengobati diberi upah domba. Dan Nabi SAW pun minta bagian dagingnya.
Idealnya, dalam proses belajar ilmu itu disesuaikan kondisi yang mau belajar dan siapa yang mengajar, agar konsep itu bisa disebut ideal. Dan pertukaran biaya itu juga bisa menjadi standar motivasi calon siswa.
Tradisi itu bagus karena ilmu menjadi sesuatu yang dihargai dan disakralkan dengan tetap mempertimbangkan kemampuan yang akan belajar. Hanya mereka yang berani membayar yang siap menghargai dirinya, sekaligus itu bukti kesungguhan dalam belajar.
Mahar
Mahar dalam bahasa Arab, secara terminologi adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai bentuk ketulusan hati. Mahar juga disebut dengan istilah yang indah : shidaq, yang berarti kebenaran. Jadi dari sisi yang lain, makna mahar lebih dekat kepada syariat agama untuk menjaga kemuliaan suatu peristiwa suci.
Pentingnya mahar itu, dalam guyonan saya, orang berijazah ilmu itu seperti akan menikah. Sebelum ada mahar “aurat” atau aurad, (amalan : wirid, mantra) belum boleh dibuka. Setelah ada mahar, walau itu cincin perak, jika disepakai, sudah sah! Aturannya memang begitu.
Sebab jika belum ada mahar dan ijab kabul, maka “aurat atau aurad”-nya belum boleh dibuka. Jika sudah dilakukan, yang demikian itu termasuk kategori “zina ilmu”. Mboten pareng!
Mahar Jawa
Dalam tradisi Jawa juga ada penentuan mahar yang unik berdasarkan weton atau hari kelahiran murid sesuai kalender Jawa. Misalnya, neptu hari dan pasaran Ahad (5), Senin (4), Selasa (3), Rabu (7), Kamis (8), Jumat (6), Sabtu (9) dan Pasaran Kliwon (8), Legi (5), Pahing (9), Pon (7) Wage (4).
Sama-sama belajar ilmu yang sama, jumlah tirakat dan mahar bisa berbeda. Mereka yang lahir pada hari Sabtu Pahing, tirakat atau amalan wiridnya berarti 9+9=18 hari, dan yang lahir Selasa Wage tirakatnya 3+4=7 hari.
Penentuan mahar juga menggunakan pedoman neptu hari kelahiran. Yang terendah, yang lahir Selasa Wage, memberi mahar berjumlah tujuh (7), yaitu Rp.7.000,- dan yang lahir Sabtu Pahing maharnya Rp.18.000,00.
Ketentuan mahar bersifat lentur. Jika siswa dari kalangan mampu, nominalnya berubah, yang semula Rp.180.000,- bagi kalangan bawah, berubah menjadi Rp.1.800.000,- dan itu tergantung kemampuan dan keikhlasan yang akan belajar.
Modal Nekat
Sebenarnya belajar ilmu di negeri ini jika dihitung dengan “kalkulasi bisnis” tidak ada istilah mahal. Standar mahar atau biaya belajar itu relatif murah, terutama bagi mereka yang mudah menyerap materi pelatihan, dan yang pintar mengemas manajemen ilmu.
Tahun 90-an ketika tenaga dalam sedang booming, ada anak muda dari Jatim minta privat tiga hari. Selesai pelatihan, dia memberi bayaran lebih. Ketika saya tanya dapat uang dari mana? Dia mengaku, dua bulan sebelumnya sudah pasang spanduk menerima pendaftaran siswa baru di daerahnya.
Ketika uang sudah terkumpul, dia baru berangkat belajar. Saya tidak tahu pasti, yang model ini, termasuk cerdas atau orang super nekat ya! Dan, Anda pun boleh saja meniru cara ini.
Yang saya alami juga hampir sama. Tahun 1980 awal kali melatih tenaga dalam, saya bermodal nekat. Awalnya saya bergabung pelatihan di tingkat cabang. Ketika proses belajar belum selesai, saya sudah dizinkan melatih di anak-cabang. Pertimbangannya, di perbatasan Pati – Jepara saya banyak teman dari kalangan beladiri.
Saat saya sudah melatih, publik belum tahu kalau saya saat itu belum menyelesaikan tingkat dasar dan juga beluk “dibuka” (hatam). Begitulah! Dalam kondisi tertentu, terkadang kita perlu berpedoman pada falsafah, ”Tuhan bersama orang-orang yang nekat.”
Pembersihan Rupang Di TITD Liong Hok Bio, Awali Rangkaian Imlek 2572
Masruri, praktisi dan knsultan metafisika tinggal di Sirahan, Cluwak, Pati