blank
Romelu Lukaku cs tertunduk lesu usai Inter Milan dipecundangi Bologna Juli 2020 lalu. Dalam keadaan begini, biasanya media "menghabisinya" dengan diksi-diksi yang "sadis". Foto: © AP Photo

blank

Oleh: Amir Machmud NS

// sejenak kita berjeda// menengok narasi-narasi dalam teks sepak bola// ia hidup dari imajinasi// ia berjalan ke arah emoji// menemukan makna dari kesenjangan// antara keunggulan dan wajah-wajah kemanusiaan// seperti apa wajah sepak bola dinarasikan?// (Sajak “Manusia-manusia Sepak Bola”, 2021)

SEPERTI lazimnya dua sisi kehidupan, sepak bola juga menghibur dan menghukum.

Ia bagai ayat qauniyah, menera bermacam tanda untuk kita simak dan baca. Ada bahagia, ada duka. Ada kegembiraan, ada kesedihan. Dikotomi yang pada sisi lain acap digambarkan dengan ungkapan kejam: di balik keingarbingaran pesta tersembul wajah-wajah muram. Di balik kejeniusan anak manusia tersimpan pula potensi kegelapan dalam kehidupannya.

Berita-berita pertandingan sepak bola tak jarang menarasikan gambaran ekstrem olahraga ini. Tim yang tidak “dianggap” dan mampu mengalahkan “sang raksasa”, misalnya, disebut sebagai the giant killer yang “menghukum” lawannya. Tim kuat yang bermain buruk lalu kalah bisa dinarasikan telah membiarkan diri “disiksa lawan”.

Dari diksi terbentuk narasi, lalu tersajikanlah makna. Begitulah, makna yang mengonstruksi persepsi manusia menjadi logika pesan dari keseluruhan narasi yang tersaji tentang sebuah laga kompetisi.

Lewat kekuatan narasi media yang membentuk makna, pertandingan sepak bola pun diam-diam menampilkan wajah bukan sekadar sebagai permainan sepak bola.

*   *   *

SEPAK bola, termasuk di dalamnya praktik jurnalistik mengenai cabang olahraga ini, realitasnya hanya merupakan refleksi dari dinamika kehidupan yang lebih besar.

Perkembangan pola komunikasi lewat narasi verbal kini sangat dipengaruhi oleh lompatan teknologi informasi. Berbagai platform IT, secara langsung maupun tidak langsung telah mengubah pandangan bagaimana kita memperlakukan teks dalam praktik penginformasian.

Kekuatan imajinatif teks bergerak ke penggunaan simbol-simbol emoji (emoticon). Dan, cara penyampaian pesan-pesan dari industri sepak bola pun memformula dalam tafsir-tafsir kekinian, sebagai gaya dalam melayani akses informasi publik. Dan, bukankah ini sebenarnya adalah pantulan imbas budaya pop?

Laga sepak bola tak lagi terilustrasi hanya lewat teks, tetapi bergerak ke dalam simbolisme utuh yang bernarasi melalui streaming, video, meme, dan emoji. Bahkan, unsur-unsur itu telah berkolaborasi secara konvergen menjadi bagian dari produk utuh jurnalistik.

Mindset manusia bahwa sepak bola memuat energi yang menghibur dan menghukum, pada sisi tertentu adalah pemahaman tentang realitas manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya.

Salah satu yang dieksploitasi dalam budaya pop adalah sisi-sisi dikotomik hidup manusia. Ada ceruk yang dikelola secara eksploratif, misalnya sejenius apa pun, sedahsyat apa pun, manusia (termasuk manusia sepak bola) selalu punya sisi gelap. Dalam penegasan sikap spiritual, hal itu digambarkan dalam ungkapan, “hanya nabi yang punya sifat maksum”, terjaga dari kemungkinan-kemungkinan itu.

Kesenjangan antara keunggulan skill dan realitas sisi-sisi manusiawi itulah yang dieksploitasi budaya pop sebagai ceruk. Dan, bukankah itu yang meneguhkan kehadiran dominasi ekonomi berbasis kekuatan media dalam kuasa industri kompetisi sepak bola?

Hanya dalam lipatan kemenangan dan kekalahankah kita menemukan kegembiraan dan hukuman? Hanya dari eksploitasi rasa kemanusiaankah kita mendapatkan totalitas wajah sepak bola sebagai kehidupan? Dan, itukah produk teks yang digali lalu dirakit dari sebuah pertandingan?

*   *   *

DALAM industri sepak bola, betapa cepat manusia terposisikan sebagai pahlawan, begitu cepat pula menjadi terpidana. Bahkan ketika seseorang itu meraih pencapaian yang termasuk extraordinary tetapi ia bukan sosok yang biasa mengelola performa dengan bla-bla-bla yang diminati media, bisa saja nilai kepahlawanannya akan direduksi dengan alasan apa saja. Ole Gunnar Solskjaer, taktikus Manchester United saat ini, contohnya.

Padahal bukankah tren mediatika seharusnya juga bisa men-setting figur-figur humble sebagai magnet yang punya posisi daya tarik tersendiri? Teori tentang faktor pembeda-lah yang seharusnya bicara.

Budaya pop membentangkan kemungkinan-kemungkinan itu dengan mengusung ruang bertema atas nama viralitas media. Bahkan kemurungan adalah magnet, dan apalagi berita-berita kisah sukses yang berbalut dramatika sisi hidup manusia.

Dalam sepak bola, semua indikator itu lengkap tersedia.

Di tengah ingar-bingar kompetisi, di antara manusia-manusia dengan aneka gaya dan capaiannya, media akan memilih menjumput ceruk tren untuk menggubah faktor pembeda. Mobilisasi itu berorientasi viral informasi dan pengunggahan potensi-potensi magnet pemberitaan demi tautan mesin pencari jaringan (web search engine).

Lalu di mana posisi pemain, pelatih, dan orang-orang sepak bola: sebagai korban, atau penangguk keuntungan dari tren seperti itu?

Pada titik dinamis jurnalisme sepak bola sekarang, tak lagi bisa diingkari, betapa perlombaan untuk mendapatkan ceruk dari kesenjangan antara keunggulan dan human interest merupakan pilihan untuk bersanding dengan kebutuhan elemen budaya pop.

Mereka yang berada di lingkaran sepak bola, sejatinya adalah “kata kunci-kata kunci” yang berkelindan membentuk permutasi kesalingbergantungan. “Key word” itu akan bergerak, ditemukan, dan menaut lewat sensitivitas sang mesin pencari.

Aku ada karena kamu ada. Kamu ada karena aku ada…

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng