Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Bacalah gresek seperti Anda mengucapkan bebek. Nah, jadilah gresek-gresek seperti Anda mengucapkan bebek-bebek. Tentang gresek-gresek ini ada kosa-kata yang mirip artinya, yaitu golek-golek, meski kadar maknanya ada perbedaannya.
Golek-golek itu bermakna mencari-cari, seperti contohnya cari-cari alas an untuk membenarkan diri ketika terlambat dating pada suatu janji pertemuan. Golek-golek dalam arti cari-cari alas an sangat sering dilakukan oleh siapa saja, dan umumnya dilakukan dalam rangka “menutupi kekurangan,” apa pun kekurangannya itu.
Dalam contoh cari-cari alas an karena terlambat dating tadi, alasannya mungkin sekenanya, misalnya tadi tiba-tiba adatamu, atau ban mobil sebelah depan kanan kempes. Untuk zaman now, alasan paling mudah untuk “ditemukan” (dalam rangka golek-golek tadi) ialah macet.
Baca Juga: Sisan Gawe, Mentalitas Jago
Terlambat datang, alasannya macet; membatalkan janji bertemu alasannya macet; jangan-jangan kelak ada orang batal nikah gara-gara alasan macet.
Gresek-gresek lebih “parah” dari golek-golek, karena ada kecenderungan asal tujuan tercapai, alas an apa pun jadilah. Seperti orang cari hutang, ketika dijawab “Aku tidak punya uang cash nih;” dia lalu bilang: “Kalau begitu aku pinjam sepeda motornya saja.”
Ketika anak tuan rumah protes berhubung itu sepeda motor dia, pencari hutang itu gresek-gresek lalu bilang: “Yah…kalau begitu cincin yang kau pakai itu saja, atau pinjam barang sebulan dua bulan.”
Gresek-gresek ada nekadnya, cari-carinya menghalalkan berbagai cara, dan orang itu ada potensi “memaksakan” keinginannya. Dan kalau cara gresek-gresek seperti ini suatu saat berhasil, orang itu akan cenderung mengulangi lagi serta mengulang lagi.
Realitas Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, dalam segala bidangnya, pasti ada banyak orang yang memang mau bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja lugas; namun di sisi lain pasti dijumpai juga orang yang “aktivitas” hariannya mung gresek-gresek.
Modusnya selalu gresek-gresek; dan karena itu patut dipertanyakan: “Mengapa sih kau suka begitu?” Realitas social mengajarkan dan memberi signal jawaban atas pertanyaan ini yang sumber utamanya ada pada dua penyebab khas; pertama karena memang orang itu sedang (selalu?) berada dalam kesulitan hidup dan kebetulan pernah sukses ketika melakukan gresek-gresek pertama kalinya.
Kedua, – maaf seribu maaf – , secara sosial orang itu merasa “wis ora payu” lalu dalam rangka mengangkat derajad dirinya sendiri, menempuh modus gresek-gresek.
Gresek-gresek secara politis menarik disimak lebih lanjut karena memang umumnya terjadi atau dilakukan oleh orang-orang yang pernah bahkan sedang berkecimpung di bidang politik, dan disamping itu gresek-gresek politis cenderung cepat bergaung.
Di antara contoh gresek-gresek politis yang saat ini sedang terjadi ialah, melawan arus kebijakan partai politiknya dengan alasan yang bukan saja dicari-cari tetapi justru mengabaikan keahlian yang dimilikinya.
Khalayak tahu bahwa ia berlatar belakang kedokteran misalnya, lha kok gresek-greseknya justru “melawan” kebijakan di bidang kesehatan yang seharusnya ia lebih paham. Ada tokoh dikenal canggih di bidang ekonomi, sayangnya modus gresek-gresek yang dilakukannya justru seolah-olah ia mengingkari diri sebagai pakar di bidang itu.
Dampak terjelek gresek-gresek (politis), – sayang banget kalau sampai kesana – , ialah kelasnya menjadi ecek-ecek, lalu khalayak akan mengategorikan orang-orang semacam itu sebagai tokoh ecek-ecek. Sayang banget lho.
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)