blank

OleH : Hadi Priyanto

blank

Tidak masuknya Jepara sebagai daerah yang dinyatakan harus melakukan Pemberlakuan Pembatasan  Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran  (Covid-19) di Jawa Tengah dapat dibaca. Juga  mengkonfirmasi bahwa pengambil kebijakan melakukan pengendalian  virus ini dengan lebih menggunakan pendekatan wilayah  administrasi dan kurang memperhatikan wilayah epidemiologi Covid-19.

Padahal daerah Muria Raya seperti Kudus,  Pati, dan  Rembang serta wilayah Semarang Raya yang berdekatan dengan Jepara, yaitu  Demak dan Grobogan dimasukkan dalam daerah yang harus melakukan Pemberlakuan Pembatasan  Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran  Covid-19. Juga Jabotabek, Bali, Yogyakarta yang memiliki akses mobilitas yang tinggi dengan Jepara.

Padahal virus yang semakin mematikan dan penyebaran sangat cepat ini bukan   hanya endemik seperti penyakit malaria. Covid-19 juga bukan epedemi tetapi sudah dinyatakan secara internasional oleh WHO sebagai pandemi. Jepara sendiri sejak 3 Januari 2021 telah kembali ke zona risiko sedang.

Namun jika melihat data yang di rilis setiap hari oleh Satgas Penanganan Covid-19, angka Jepara sampai tanggal 9 Januari 2021  masih menunjukkan tingkat yang mencemaskan. Angka itu nampak pada jumlah akumulatif warga yang terkonfrmasi mencapai 4.561 orang.

Dari jumlah tersebut 3.277 orang  dinyatakan sembuh,  305 orang (6,69 %) meninggal  dunia dan 976 orang (21,46 %) masih dalam kondisi terinfeksi. Dalam portal resmi satgas  juga diumumkan, kasus probable 104 orang  dan 102 orang (98,08 %) meninggal. Sementara kasus suspek 2.613 orang  dengan staus 2.284 orang ( 87,41 %) discarded dan kasus suspek saat ini 329 orang (12,59 %).

Daya tampung rumah sakit di Jepara untuk merawat pasien yang masih dalam status positif juga  sangat rendah. Setiap hari 50 % lebih warga Jepara yang terkonfirmasi Covid-19 dan memerlukan perawatan dirumah sakit rujukan, masih   dirawat di rumah sakit luar daerah.

Hal ini terjadi  sebab daya tampung rumah sakit rujukan Jepara yang terbatas.  Akibatnya jumlah warga yang harus menjalani isolasi mandiri dirumah juga sangat tinggi. Bahkan  dalam dua pekan terakhir masih    diatas 80 %

Sementara positif rate harian Jepara dalam 2 pekan terakhir juga masih sangat tinggi, sebab masih diatas 12 %. Bahkan pada tanggal 9 Januari mencapai angka 15,1 %. Sementara patokan WHO hanya 5 %.

Terlepas dari validitas data yang digunakan untuk menentukan kebijakan PSSB atau Pembatasan Kegiatan Masyarakat,  kebijaksanaan penentuan daerah mana yg perlu tindakan karantina wilayah yang epidemiologis seperti  ini pernah dilakukan  tahun 1970-an.  Saat itu malaria merajalela di Jawa Tengah.

Karena pendekatannya adalah wilayah administrasi, maka ketika dilakukan penyemprotan di Banjarnegara,  nyamuknya migrasi ke Wonosobo. Sebaliknya ketika Wonosobo disemprot, nyamuknya kembali ke Kedu, Temanggung, dan Purworejo.

Kalau pada epedemi malaria host nya adalah nyamuk yang bodoh,  lemah dan akalnya minimalis, pada wabah  Corona Virus Disease 2019,  host nya adalah manusia yang memiliki  banyak keinginan dan kepentingan. Karena itu   ditengah pandemi ini terus terjadi migrasi dan mobilitas penduduk yang  tinggi antara daerah. Juga  rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengikuti anjuran pemerintah, 3 M.

Abaikan trias epidemiologi?

Dalam berbagai literatur tentang hukum epidemiologi, dalam kasus penyebaran wabah  dikenal istilah trias epidemiologi. Dimana ada 3 kelompok yang saling mempengaruhi tingkat penyebaran wabah.

Kelompok pertama adalah  agen atau pembawa virus yang bisa warga / manusia  yang dalam status OTG hingga mudah menularkan pada warga yang lain sebab yang bersangkutan tidak dalam kondisi sakit. Sedangkan kedua adalah tuan rumah virus yang disebut host. Host pada covid-19    juga manusia yang  bisa dengan mudah  menularkan pada warga yang lain.   Ketiga adalah lingkungan yang bisa berujud biologi, sosial dan fisik yang meliputi geografi dan demografi.

Kebijakan tersebut mengkonfirmasi bahwa wilayah kesehatan, utamanya dalam menghadapi penyebaran Corona Virus Disease 2019 di Jawa Tengah  dilakukan dengan mengikuti wilayah administrasi pemerintahan dan kurang memperhatikan wilayah epidemiologi.

Padahal jika trias epidemiologi ini dipahami, akan lebih tepat mengadopsi pengelolaan wilayah seperti pengelolaan pengairan/ irigasi, wilayah  listrik negara atau bahkan  wilayah  perkebunan yang melintasi wilayah administrasi sebuah daerah.

Kini berdasarkan surat Gubernur Jawa Tengah tertanggal 8 Januari 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat dan Antisipasi Peningkatan Kasus Covid-19 di Jawa Tengah, menempatkan Jepara sebagai suatu daerah yang dikepung  3 daerah  di ring pertama yang menyelenggarakan pembatasan kegiatan yaitu Demak, Kudus dan Pati. Sedangkan di ring kedua ada Rembang, Grobogan dan kota Semarang.

Sementara di ring terluar yang memiliki akses mobilitas yang tinggi dengan Jepara adalah kawasan Jabotabek. Daerah-daerah dikawasan  ini justru melakukan  PSSB lebih ketat.

Jika dilihat dari trias  epidemiologi, mobilitas manusia baik dalam posisi sebagai agen maupun   host antar wilayah sangat berpengaruh pada tingkat penyebaran Covid-19. Sebab agen yang membawa   virus covid-19 akan menyertai mobilitas manusia.

Oleh sebab itu, agar penanganan   dan pengendalian kasus penyebaran Covid -19 di Muria Raya Blora, Rembang, Pati, Kudus dan Jepara dalam berlangsung integratif maka baik jika dipertimbangkan :

Pertama; Gubernur Jawa Tengah memperluas wilayah di Muria Raya  yaitu Jepara dan Blora untuk menjadi daerah yang harus melaksanakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Bisa juga  Bupati mengajukan surat usulan untuk memasukkan daerahnya sebagai daerah yang harus melaksanakan pembatasan kegiatan masyarakat.

Kedua; Sungguh-sunguh melakukan penguatan protokol kesehatan berupa operasi justisi untuk menumbuhkan konsistensi masyarakat dalam menjalankan 3 M yaitu memakai masker, mencuci tangan dan menghindari kerumunan.

Ketiga ; penegakan protokol kesehatan pada kegiatan sosial masyarakat seperti hajatan, kegiatan keagamaan dan kegiatan sosial lain sebaiknya tidak hanya mengandalkan pada satgas desa tetapi juga perlu diperkuat dengan satgas kecamatan  dan kabupaten.

Keempat; melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap mobilitas penduduk dari daerah lain yang saat ini masih berada pada zona risiko tinggi .

Kelima; menambah kapasitas perawatan di rumah sakit untuk pasien terkonfirmasi Covid-19 serta membangun tempat karantina terpusat untuk menghindari penyebaran virus ini ditengah-tengah keluarga. Akibat kondisi ini banyak faslitas kesehatan tahap pertama yang tidak dapat merujuk pasien bergejala yang seharusnya dirawat di rumah sakit rujukan.

Keenam; validasi data yang digunakan untuk mengukur tingkat risiko Covid – 19, mulai angka kematian yang tidak boleh hanya menampilkan data warga yang dimakamkan dengan protokol pemakaman covid-19. Tetapi juga harus memasukkan data warga yang menolak pemakaman protokol Covid-19.

Juga  pencatatan kasus termasuk yang berada di lingkungan industri yang saat ini melakukan karantina dan perawatan mandiri, tenaga kesehatan yang terinfeksi Covid-19, juga penguatan trecing dan testing terhadap seluruh wilayah termasuk Karimunjawa.

Terkait dengan validasi data ini saya teringat apa yang disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin  di acara Mata Najwa 6 Januari lalu. Menurut Menkes, ” jika kita mau tinadakan yang benar, diperlukan data yang benar. Jika data tidak benar, maka tindakan yang dilakukan  juga dipastikan tidak benar”.

Semoga bermanfaat

Penulis adalah Wartawan SUARABARU.ID di Jepara