blank
Prof Dr Muladi

Oleh Widiyartono R

TELAH kembali ke haribaan sang Khalik. Telah berpulang seorang putra bangsa, Prof Dr Muladi Kamis, 31 Desember 2020 sekitar pukul 06.45 hari ini. Prof Muladi, Solo, 26 Mei 1943. Meninggal dalam usia 77 tahun.

Muladi adalah sosok fenomenal, yang selalu dikenang para mahasiswanya. Semasa menjabat Rektor Universitas Diponegoro, Muladi melakukan banyak perubahan. Sebagai rektor, dia tidak harus berada di menara gading. Tidak perlu ada cara-cara resmi protokoler, seorang mahasiswa untuk ketemu rektor.

‘Rektor Gali’

Bahkan pernah suatu ketika, Muladi diundang mahasiswa untuk berdialog. Bukan di ruangan kelas, bukan di gedung pertemuan atau bahkan hotel. Muladi diundang lesehan di Auditorium Imam Bardjo, bahkan tanpa alas tikar.

Saya juga hadir dalam acara tersebut. Seorang aktivis mahasiswa memandu acara itu. Dengan entengnya si mahasiswa ini berucap, “Kami bangga sebagai mahasiswa Undip yang kini punya rektor ‘gali’!”

Gali dalam bahasa Semarangan adalah preman. Tetapi si mahasiswa yang tahu betapa egaliternya sang rektor, maka dia berani menyebut Muladi sebagai “gali”.

Tentu tidak bermaksud menyamakannya dengan preman. Tetapi gebrakan-gebrakan yang dilakukan semasa menjadi rektor memang tidak biasa. Tegas, tidak ingah-ingih. Sebagai rektor, dia tidak elitis, tetapi benar-benar dekat dengan mahasiswa.

Sebagai mahasiswa yang membutuhkan waktu lebih lama untuk kuliah, saya sempat menikmati menjadi mahasiswa yang rektornya Prof Dr Muladi. Bahkan, yang bertanda tangan di ijazah saya juga Prof Dr Muladi. Sementara teman-teman angkatan saya adalah rektor sebelumnya.

Waktu itu, pertengahan 90-an, Komnas HAM adalah lembaga baru. Dan, Muladi yang menjadi Ketua Komnas HAM-lah yang bertanda tangan di ijazah saya. Ini juga merupakan sebuah kebanggaan. Ijazah ditandatangani “rektor gali”.

Saya bisa lulus kuliah pun karena ketegasan Prof Muladi. Saya kuliah selama 14 tahun 3 bulan, sebuah masa yang panjang. Kalau teman-teman seangkatan bergelar Drs, saya langsung S2, maksudnya S.S. atau sarjana sastra.

Ketika kuliah sudah memasuki tahun ketujuh, peringatan setiap semester datang. Isinya ancaman “Bila tidak menyelesaikan skripsi maka harus mengundurkan diri”. Dan, setiap semester saya menandatangani surat pernyataan di atas meterai yang isinya “bersedia mengundurkan diri” itu. Tetapi nyatanya ancaman itu tidak pernah dieksekusi.

Maka saya pun menikmatinya, lebih menekuni kerja sebagai wartawan dibanding menyelesaikan skripsi. Bahkan pada tahun 1992, tahun kesebelas saya kuliah, kembali muncul ancaman itu. Dan, saya jawab dengan menulis pernyataan kesediaan menyelesaikan skripsi. Tetapi saat tenggat menyelesaaikan skripsi justru ada bencana tsunami di Flores. Saya memilih pergi ke Maumere meliput tsunami, karena yakin “nggak bakalan di-DO”.

Dieksekusi Muladi

Tetapi tahun 1995, ancaman yang disampaikan universitas memang tidak main-main. Rektor Prof Muladi benar-benar mengancam, bila tidak menyelesaikan studi harus DO. Karena ancaman Prof Muladi ini sangat serius, maka saya pun harus menyelesaikan skripsi yang tertunda selama 10 tahun itu. Dan akhirnya lulus.

Kalau saja tidak ada ancaman yang kemudian dieksekusi oleh Prof Muladi, barangkali saya tidak pernah menyelesaikan kuliah. Setidaknya ada tiga teman sekampus yang seangkatan dengan saya akhirnya lulus dan ijazahnya ditandatangani rektor yang juga Ketua Komnas HAM itu. Saya harus berterima kasih pada Prof Muladi.

Yang menyenangkan dari Prof Muladi adalah cara dan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos. Padahal dia kelahiran Solo. Orang Solo dikenal sebagai sosok yang tidak suka bicara terus terang. Tetapi berbeda dengan sosok ini.

Suatu ketika, Prof Muladi diangkat menjadi Menteri Kehakiman, sehingga harus meninggalkan jabatan rektornya. Kemudian yang terpilih menggantikannya adalah Prof Ir Eko Budihardjo MSc. Dalam sebuah acara lepas sambut di Auditorium Imam Bardjo, Prof Muladi menyebut apa yang harus dikerjakan Prof Eko berat.

Apalagi memang Muladi sudah dikenal malang-melintang di berbagai bidang. Tak hanya di kalangan kampus, tetapi juga politik, dan berbagai organisasi. “Nggenteni wong pinter kuwi abot (Menggantikan orang pintar itu berat),” katanya yang ditujukan pada Prof Eko.

Itulah ceplas-ceplosnya Muladi, terang-terangan. Tetapi orang tidak akan menyebutnya sombong, karena Muladi memang sembada.

Sedangkan Prof Eko Budihardjo dalam sambutannya mengatakan “kesialan dirinya”. Di Undip menjadi anak buahnya, kemudian ketika Prof Muladi jadi menteri, kakaknya yang bekerja di Departemen Kehakiman yadi anak buahnya juga. “Ini sialnya keluarga saya, saya dan kakak saya harus jadi anak buah Pak Muladi,” katanya yang tentunya disambut gelak tawa hadirin.

Ya, sangat banyak yang bisa dikenang dari Prof Muladi. Apalagi cerita-cerita masa mudanya, yang ternyata “bukan anak pintar” karena dua kali tidak lulus sekolah. Sebenarnya bukan masalah pintar atau tidak pintar, tetapi Muladi memang dikenal sebagai anak nakal. Dan, kala itu, sebagai anak polisi yang dikenal dengan sebutan “anak kolong” memang jadi aneh kalau tidak nakal. Rata-rata anak polisi zaman dulu memang nakal-nakal.

Dan, Prof Muladi kini telah memenuhi panggilan sang Khalik. Dia telah meninggalkan jejak kehidupan yang menjadi inspirasi orang banyak. Sugeng kondur Prof. Tuhan sudah menyediakan tempat terbaik untuk orang baik seperti Panjenengan.

Widiyartono R, wartawan SUARABARU.ID.