blank
Pebalap Mercedes Lewis Hamilton memakai kaus bertuliskan 'Black Lives Matter' di sisi lintasan sebelum balapan Formula Satu F1 GP Inggris di Sirkuit Silverstone, Inggris, Minggu (2/8/2020). Antara

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Salah satu daya tarik olahraga adalah ketika Anda membeli tiket atau menyalakan televisi untuk beberapa jam, itu menawarkan jeda dari kekacauan yang melanda di dunia luar sana.

Akan tetapi pada 2020, mulai dari lapangan sepak bola Liga Inggris hingga lapangan keras tenis di U.S. Open, para atlet membawa diri mereka di garda terdepan memperjuangkan kesetaraan rasial yang telah menjadi gerakan global.

Black Lives Matter menghiasi lapangan NFL dan NBA. Para atlet mengepalkan tangan ke atas sembari berlutut.

“We Race as One” menjadi pesan kesetaraan yang disampaikan Formula 1 di musim yang juga terganjal pandemi ini.

Tim juara dunia Mercedes, yang didukung satu-satunya pebalap berkulit hitam di F1 Lewis Hamilton, bahkan mengganti livery khas berwarna perak mereka menjadi hitam sebagai komitmen mempromosikan keberagaman tahun ini.

Ada momen mengheningkan cipta di turnamen golf PGA dan kegemparan di balapan NASCAR Cup ketika seutas tali simpul jeratan gantung diri ditemukan di garasi Bubba Wallace, satu-satunya pebalap keturunan Afrika-Amerika di seri tersebut.

Protes yang terjadi di Amerika Serikat menyusul kematian George Floyd, pria kulit hitam yang meninggal karena kebrutalan polisi Minneapolis pada Mei, kemudian diikuti insiden penembakan warga kulit hitam lainnya, Jacob Blake di Kenosha, Wisconsin, menjadi pemicu gerakan global yang menyatukan tak hanya masyarakat pada umumnya, tetapi juga atlet di seluruh dunia.

Ketidakadilan Rasial

Ketika Tommie Smith dan John Carlos menaiki podium Olimpiade Meksiko 1968 tanpa sepatu dan mengacungkan kepalan tangan yang dibalut sarung tangan hitam ke udara sebagai protes setelah merebut medali emas dan perak lari 200 meter, mereka pulang ke Amerika Serikat dipermalukan dan mendapat ancaman pembunuhan.

Hampir 50 tahun kemudian giliran Colin Kaepernick yang menjadi sasaran. Mantan quarterback San Francisco 49ers itu menjadi target ujaran kebencian karena melakukan protes dengan berlutut pada 2016 sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan rasial dan kebrutalan polisi.

Presiden AS Donald Trump melabeli protes seperti itu tindakan tak patriotik dan menyebut mereka yang melakukan itu dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan sebagai seorang kepala negara.

Pembawa acara Fox News Laura Ingraham menyuruh nama terbesar di NBA dan aktivis terkemuka, LeBron James, berhenti ikut campur di politik serta “diam dan dribel”.

Para atlet mendapati suara mereka bukan sebagai individu pada 2020 namun sebagai kelompok yang mendorong tujuan bersama dan selamanya mengubah dinamika antara mereka, pemilik tim, dan para fan.

Satu tahun sebelumnya para atlet melakukan protes di bawah ancaman hukuman dan tindakan balasan tapi tahun ini mereka melakukan hal itu dengan, sebagian besar, mendapat dukungan dari liga dan induk olahraga mereka.

Badan sepakbola dunia FIFA telah lama tak menyukai pertunjukan seperti itu namun pada Juni presiden Gianni Infantino mengatakan para pemain yang melakukan protes terhadap kematian George Floyd di lapangan “pantas mendapat aplaus dan bukannya hukuman”.

Komisioner NFL Roger Goodell lebih jauh mengatakan bahwa liga itu membuat kesalahan dengan tidak mendengarkan para pemain lalu dia mendorong mereka untuk bersuara dan melakukan protes secara damai.

Protes di olahraga

Setelah berbulan-bulan arus protes kematian Floyd, gerakan atlet bersatu muncul pada Agustus menyusul penembakan Blake.

Klub NBA dari Wisconsin Milwaukee Bucks memulai boikot ketika mereka menolak turun ke lapangan untuk laga playoff mereka dan sejumlah tim lain mengikuti langkah itu sebagai bentuk solidaritas atlet.

Protes serupa merambat ke liga bisbol MLB, liga sepak bola MLS, dan liga basket putri WNBA setelah juara Grand Slam tiga kali Naomi Osaka menarik diri dari turnamen ketika mencapai semifinal.

Satu pekan berselang di U.S. Open Osaka menggunakan panggung terbesar tenis itu untuk memperlihatkan kepada dunia masalah ketidakadilan rasial dengan mengenakan masker wajah, yang berbeda di tujuh pertandingannya, bertuliskan nama-nama perempuan kulit hitam yang menjadi korban kebrutalan polisi.

“Telah lebih dari 50 tahun sejak atlet seperti Muhammad Ali, John Carlos dan Tommie Smith serta Original 9 dari tenis putri berdiri bersama dan menggunakan olahraga mereka, suara mereka dan aksi mereka untuk mengubah kemanusiaan,” kata pelopor tenis dan pegiat hak perempuan Billie Jean King seperti dikutip Reuters.

“Tongkat estafet telah diserahkan dan Naomi telah menerimanya.”

Jelang tutup tahun, para atlet telah mewujudkan suara mereka, mendorong liga-liga untuk bergabung dengan mereka di hampir setiap olahraga untuk memperkenalkan program keberagaman.

Sementara beberapa sekedar di mulut, mereka yang serius berkomitmen tak segan mengeluarkan uang untuk mendukung program tersebut seperti pebasket legendaris NBA Michael Jordan yang berjanji menyumbang 100 juta dolar dalam 10 tahun kepada organisasi-organisasi yang mendedikasikan diri untuk memperjuangkan keadilan rasial.

“Kami telah ditindas (sebagai keturunan Afrika Amerika) selama bertahun-tahun,” kata Jordan, yang juga pemilik Charlotte Hornets.

“Itu menelan jiwa kita. Kita tidak bisa menerimanya lagi. Ini adalah titik kritis. Kita harus berdiri.

“Kita harus menjadi masyarakat yang lebih baik dalam hal ras.”

Ant/Muha