blank

Berbagi Pengalaman Perjalan di Vietnam

Oleh  : Dian Purnamawati

Sebagai penggemar film2 perang, ingatan saya tentang Vietnam ada 3 : Rambo, Chuck Norris dan Sungai Mekong. Adegan yang paling saya ingat  ketika itu adalah bagaimana satu orang Rambo Amerika bisa mengobrak abrik markas ratusan tentara Vietnam. Baru sekarang setelah besar saya ngeh, sehebat apapun Rambo, pada akhirnya tetap harus kalah dan pulang ke negara asalnya

 

PERJALANAN saya ke Vietnam bersama teman2 traveller dimulai satu tahun sebelumnya ketika sedang ada Big Sale dari Air Asia..dan yesss… dapatlah tiket Jakarta – Ho Chi Minh PP seharga Rp.1.400.000/pax. Cukup murah bila dibandingkan saat normal yang bisa mencapai 2 juta rupiah sekali jalan.

Persiapan yang dilakukan pertama kali sebelum berangkat adalah mengecek suhu disana. Ini penting karena Vietnam adalah Negara dengan 4 musim (panas, semi, gugur, dingin) dan saya tidak ingin salah kostum. Di beberapa tempat seperti Sa Pa malah turun salju pada saat musim dingin. Namun tujuan jalan kami tidak sampai kesana, hanya ke Ho Chi Minh dan Hanoi saja. Dan Alhamdulillah setelah mencari tahu, kedatangan kami pas masuk musim semi. Suhunya sekitar 17-19 derajat jadi saya hanya membawa 1 jaket tebal dan beberapa pakaian yang khusus untuk menahan dingin.

Setelah melakukan berbagai persiapan, menyewa apartemen untuk menginap dan mencari tahu tempat wisata melalu google, akhirnya waktu keberangkatan pun tiba. Penerbangan dari Jakarta dimulai pada pukul 19.00 dan kemudian transit di Malaysia untuk penerbangan esok paginya ke kota Ho Chi Minh. Begitu pesawat landing dan tiba di imigrasi, saya melihat antrian yang lumayan panjang. Setelah lebih dekat baru terlihat mengapa antrian begitu lama. Ternyata imigrasi disana sangat ketat. Sebelum sampai pada pemeriksaan, semua orang harus melepaskan sepatu termasuk kaos kaki. Tidak ada yang boleh mengenakan alas kaki selama pemeriksaan. Tas bawaan juga diperiksa dengan seksama dan detail.

Tiba di pintu kedatangan, saya agak kaget. Ternyata Vietnam ini sangat riuh. Berbagai tawaran taksi dan paket wisata saling berebut menawarkan dagangannya. Rasa-rasanya seperti di pasar baru Bandung. Saya segera mendatangi money changer untuk menukar dollar kemata uang  sana yaitu Dong, supaya bisa membeli paket data dan mengabarkan orang dirumah kalau saya sudah tiba dengan selamat. Setelah itu barulah memesan taksi menuju apartemen yang sudah dipesan sebelumnya.

Sepanjang perjalanan menuju apartemen, hal yang menarik perhatian saya adalah lalulintas yang semrawut. Motor menguasai jalan raya dan sebagian besar helm yang dikenakan masih helm bullet seperti prajurit perang tahun 1945. Persis seperti di Negara kita tahun 90 an. Sopir taksi juga melaju dengan kencang. Klakson saling bersahutan, macet, riuh dan ramai sekali. Bedanya hanya 1, disini tidak ada angkot. Kalau ada, entahlah seperti apa suasananya.

Setelah membersihkan tubuh, saya bersiap melakukan penjelajahan di kota ini. Tujuan pertama ke Ben Thanh Market, pasar yang cukup ikonik dan terkenal bagi wisatawan. Karena berjalan kaki, kami jadi tahu pengendara motor disana sudah mirip Valentino Rossi. Pandai meliuk liuk kiri kanan. Beberapa kali kami hamper keserempet padahal jalan sudah minggir banget. Yang nyerempet Cuma ngelengos malah ada yang bablas. Yang diserempet sport jantung berkali-kali.

Ben Thanh market adalah pasar yang komplit. Selain menjual berbagai macam souvenir khas Vietnam, saya lihat disana juga buah dan sayuran.  Ada  3 mata uang yang diterima disana, Dong Vietnam, Ringgit Malaysia dan Dollar AS. Mengingat banyaknya cerita spam disini dan juga saya alami sendiri, Saya sarankan untuk langsung bertransaksi menggunakan Dong sehingga anda tidak perlu menghitung ulang lagi berapa kembalian yang seharusnya anda dapatkan.

Waktu itu karena nilai rupiah lebih tinggi dibanding Dong, maka saya agak kalap belanja disini. Banyak sekali souvenir cantik terutama tas dan dompet sulaman indah yang cukup murah bila dibeli dalam jumlah banyak. Pedagang disana cukup aktif   dan ternyata banyak yang bias  sedikit-sedikit berbahasa Melayu. Ternyata karena mereka sering bertransaksi dagang dengan warga negara Malaysia sehingga kemudian lama2 menjadi terbiasa menggunakan bahasa Melayu. Dompet kecil apabila dihitung rupiah hanya sekitar Rp. 5.000 saja, tapi itu tergantung kelihaian kita menawar, juga kuantitas yang kita beli. Teman saya mendapatkan harga jauh lebih mahal pada hal barangnya sama. Mungkin karena dia tidak menawar, mungkin juga karena belinya satuan.

Perjalanan malam di Ho Chi Minh diakhiri dengan makan malam. Karena saya dan rombongan mayoritas muslim, maka kami mencari restoran yang menunya ‘aman. Namun ternyata tidak mudah. Jarang kami temui orang Vietnam yang bisa berbahasa Inggris. Tapi teman saya nekat memesan French fries. Pada saat keluar dapur, kami terpingkal-pingkal karena yang keluar fried rice. Begitu dikomplen, pelayan satunya manggut-manggut tanda mengerti. Nasigoreng dimasukkan lagi. Ga lama keluar membawa nasi putih. Ketika ditanya dia bilang dengarnya white rice. Jadilah malam itu kami makan hanya dengan ‘white rice’.Pulangke apartemen segera kami masak Indomie yang dibawadari Indonesia.Sungguh menggelikan.

Esok paginya kami bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap ke Hanoi. Penerbangan kali ini menggunakan Vietnam Airlines Rp. 700.000 sekali jalan. Yang lucu, pada saat pesawat bersiap terbang dan sesaat di udara, penumpang yang rata2 warga asli, masih sibuk dengan handphone dan bahkan ada yang masih teleponan.Wahh..saya dan teman2 Cuma bisa celingukan was-was campur ngeri. Kemudian tidak lama saya tertidur juga karena badan masih terasa sangat lelah. Apalagiternyata jarak Ho Chi Minh ke Hanoi tidak dekat, hamper seribu kilometer dari utara keselatan.

Hanoi menyambut kami dengan angin cuaca yang cukup dingin. Suhu 17 derajat tapi hembusan angin membuat menggigil. Segera kami menghubungi taksi melalui grab  yang mengantarkan kami ketempat kami menginap disini.

Kota Hanoi buat saya adalah kota yang indah dan tenang. Suasanananya adem. Banyak penjaja bunga segar sepanjang jalan. Segera kami menuju Batavia Restoran, tempat makan ala Indonesia dan memang dikelola oleh orang asli Indonesia. Pilihan makanan yang bias dipesan disini ragamnya banyak, mulai dari nasi goreng, sate hingga sop buntut semua ada dan sangat enak. Harga makanan memang cukup mahal tapi ternyata porsinya banyak. 1 porsi rending berisi 3-4 potong daging. Jadi apabila anda berniat kesini lebih baik memesan 1 lauk untuk 2 orang, sehingga tidak berlebihan seperti saya kemarin.

Waktu itu kok ya dilalah saya sempat bertukar nomor whatsap pdengan pemilik Restoranini. Beberapa hari setelahnya -masih di Hanoi- anak sayasakit. Badannya lemas dan demam tinggi. Teman saya yang juga seorang dokter bilang kalau anak saya tidak apa apa, hanya kecapekan. Barang yang saya bawahanya minyak gosok, sama sekali tidak bawa obat turun panas. Hati saya rasanya kebat kebit ga karuan. Jadilah kemudian saya minta tolong ibu pemilik resto itu untuk membelikan obat demam di apotek. Alhamdulillah setelah mencoba obat yang tulisannya bahasa sana, kok anak saya cocok.  Demamnya berangsur-angsur hilang. Alhamdulillaaah….

Bersambung

Suarabaru.id