Oleh : Umi Nadliroh
Tak terasa tahapan Pilkada tahun 2020 semakin dekat, tanggal 9 Desember 2020 telah di tetapkan sebagai Hari Pemungutan suara yang sebelumnya sempat ditunda karena adanya Covid 19. Kini tahapan pilkada Tahun 2020, tinggal menyisakan beberpa tahapan lagi, yaitu tahapan kampanye (sedang berjalan, karena tahapannya dimulai 3 hari sejak ditetapkan sebagai pasangan calon sampai H-3 pemungutan suara ) serta tahapan coblosan.
Hajatan demokrasi tingkat lokal yang sempat diusulkan untuk ditunda kembali ( karena situasi dan kondisi Covid yang belum reda), mewarnai perbincangan Pilkada 2020, termasuk bahasan pencalonan menambah hangat perbincangan, tak terkecuali pasangan calon yang mendaftar melalui jalur perseorangan atau jalur independen.
Sejak adanya regulasi yang memberikan ruang kepada calon melalui jalur perseorangan dalam perhelatan demokrasi lokal hingga pelaksanaan Pilkada tahun 2020, jumlah calon yang mendaftar melalui jalur perseorangan terus mengalami penururan. Pilkada serentak tahun 2015 misalnya, yang diikuti oleh 269 daerah, terdapat 135 pasangan calon yang mendaftar melalui jalur perseorangan. Pilkada serentak 2017 diikuti oleh 101 daerah dan terdapat 68 pasangan calon melalui jalur perseorangan. Begitu pula pada pilkada serentak tahun 2018 diikuti 171 daerah yang melaksanakan Pilkada, terdapat 69 calon perseorangan. Sementara, pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 terdapat 270 daerah, yang mendaftar melalui jalur perseorangan sebanyak 203 dan yang memenuhi syarat hanya 70 pasangan calon.
Rumitnya syarat dukungan yang harus dipenuhi oleh bakal calon perseorangan disinyalir menjadi penyebab utama tidak lolosnya para bakal calon perseorangan. Ketentuan dalam Undang-undang Pilkada Nomor 10 tahun 2016 khususnya Pasal 41 yang mengatur tentang syarat dukungan yang harus dipenuhi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan wali kota dan wakil wali kota serta penyebaran dukungan diseparo lebih wilayah dalam provinsi atau kabupaten/kota. Bukti dukungan berupa fotokopi KTP dan tanda tangan yang harus diverifikasi secara administrasi dan faktual oleh KPU, menambah deretan sulitnya pendaftaran jalur perseorangan.
Calon perseorangan yang digadang sebagai calon alternatif dalam pilkada, yang tidak melulu dari partai politik, akhirnya redup dan tenggelem, karena jalur perseorangan ini tidak diminati oleh calon karena beratnya syarat yang harus dipenuhi serta tingkat keterpilihannyapun sangat kecil. Lihat saja Pilkada serentak 2015 yang diikuti 135 calon dari perseorangan, keterpilihannya hanya mencapai 9,63 persen. Pilkada serentak 2017 yang diikuti oleh 68 calon perseorangan prosentase keterpilihannya 3,53 persen dan Pilkada serentak tahun 2018 yang diikuti oleh 69 calon perseorangan prosentase keterpilihannya hanya 2,22 persen.
Peluang Keterplihan Calon Perseorangan Pilkada Tahun 2020
Bagaimana calon perseorangan pada Pilkada Tahun 2020 ini ? bagaimana peluang keterpilihan mereka pada Pilkada di masa pagebluk ini ?
Harapan baru sebenarnya, saat regulasi ini mempersilahkan calon perseorangan maju dalam Pilkada, karena dapat menaikkan kompetisi dalam Pilkada. Di samping sebagai ajang kompetisi, calon dari jalur perseorangan juga dapat meningkatkan minat pemilih datang ke TPS, di tengah ketidakpercayaan terhadap partai politik, calon independen atau calon perseorangan ini sebagai terapi atas oligarki dan sentralisasi partai politik. Dan keberadaann calon perseorangan dalam Pilkada dinilai dapat meningkatkan kualitas dari demokrasi lokal.
Namun, pada babak berikutnya ketentuan syarat untuk maju melalui jalur ini semakin terjal dan rumit. Karena apabila syaratnya mudah, akan membuka peluang keterpilihan calon perseorangan. Sehingga, untuk bisa lolos menjadi calon, seseorang harus mampu mengantongi dukungan dari masyarakat yang sudah memiliki hak pilih berdasarkan jumlah DPT tertentu. Serta dinilai berdasarkan penyebarannya atau jumlah dukungan lebih dari 50 persen jumlah kabupaten (calon gubernur dan wakil gubernur) atau kecamatan (calon bupat dan wakil bupati).
Setelah syarat dukungan terpenuhi, mereka baru bisa mendaftar kembali setelah dapat tiket “Lolos” serta memenuhi syarat calon yang lain. Dan calon perseorangan ini harus berjuang kembali untuk memenangi Pilkada.
Melihat prosentase keterpilihan calon perseorangan dalam Pilkada serentak sebelumnya, prosentasenya masih sangat kecil, dan kemungkinan hasil Pilkada tahun 2020 juga sama.
Yang perlu dilakukan oleh calon di masa kampanye ini adalah tetap menjaga komunikasi dengan pemilih yang telah memberi dukungan. Kedua, melakukan kampanye yang efektif untuk memperkenalkan program dan visi misi calon. Di tengah pandemi ini calon perseorangan bisa membentuk komunitas-komunitas kecil sebagi relawan dan membantu untuk menyebarkan program dan visi misi calon perseorangan. Meyakinkan pemilih bahwa calon perseorangan adalah calon yang terbaik, kepentingan maju dalam Pilkada memang benar-benar murni untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Meyakinkan bahwa calon perseorangan adalah calon yang bersih dan jujur. Ketiga, menggerakkan seluruh sumber daya yang ada untuk memperoleh dukungan agar dipilih serta dapat memenangi Pilkada, termasuk membentuk tim wilayah sampai tingkat RT/RW untuk mengawal dukungan dari pemilih.
Berdasrkan data, bahwa terdapat 203 calon perseorangan yang mendaftar ke KPU provinsi dan kabupaten/kota dan yang lolos memenuhi syarat sebagai calon hanya 70 pasangan calon dari perseorangan pada Pilkada tahun 2020 dan yang lolos memenuhi syarat hanya dari kabupaten dan kota (calon bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakilnya). Berapa persen keterpilihan mereka ? tinggal bagaimana taktik strategis para calon independen ini untuk memenangi Pilkada. Ada satu persepsi bahwa calon perseorangan adalah calon yang berpihak kepada rakyat, calon non partai dan calon yang bersih. Asumsi positif ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mendokrak perolehan suara dan menaikan elektabilitas, bukan malah sebaliknya karena merasa tidak memiliki mesin politik, sehingga penuh dengan keterbatasan yang mengakibatkan perolehan suaranya kecil.
Menurut pendapat Rafael Raga Maran, Prinsip demokrasi (termasuk pilkada) sesungguhnya adalah memuat prinsip-prinsip dasar yang sama dan adil, sehingga konteks persyaratan calon dalam pilkada, khususnya calon perseorangan ini dinilai terlalu berat dan dinilai tidak adil dalam kompetisi dengan partai politik.
Ke depan perlu revisi Undang-Undang pilkada khususnya yang mengatur tentang syarat dukungan calon perseorangan dalam pilkada, terkait dengan jumlah dukungan dan sebaran dukungan. Karena sesungguhnya calon perseorangan itu memenuhi 2 kali persyaratan untuk untuk memenangkan Pilkada. Yaitu memenangkan dalam pemenuhan persyaratan sebagai bakal calon karena harus mengumpulkan sekian dukungan dari pemilih dan syarat penyebarannya) dan yang kedua memenangi hasil pilkada pada tahapan pemungutan suara.
Khusus untuk memenuhi syarat dukungan dan sebaran yang telah ditentukan dalam Undang-undang, seorang bakal calon harus turba ke lapangan untuk mencari dukungan, meminta fotokopi ktp serta tanda tangan pendukung. Tidak cukup sekali untuk meyakinkan masyarakat yang telah memiliki hak pilih dan memperoleh dukungan. Sehingga butuh waktu yang relatif lama untuk mempersiapkan syarat dukungan ini. Mengelompokkan dalam wilayah tertentu, per desa atau kelurahan. Sehingga butuh Sekitar 1 tahun untuk menyiapkan administrasi syarat dukungan ini, agar dapat memenuhi syarat sebagai calon.
Minimnya informasi terkait dengan tata cara pencalonan dari jalur perseorangan ini, sehingga banyak bukti dukungan berupa foto kopi ktp yang tidak memenuhi syarat secara administrasi maupun faktual, karena syarat dukungan itu harus diverifikasi secara administrasi dan diverifikasi secara faktual. Sehingga untuk memenuhi rasa keadilan dan memberikan fasilitas pelayanan serta memberikan advokasi kepada masyarakat yang akan maju dijalur perseorangan, maka perlu dibentuk konsursium atau lembaga yang memberikan advokasi kepada bakal calon perseorangan, terhadap tata cara dan teknis pengajuan syarat bakal calon perseorangan, khususnya syarat dukungan dan sebarannya. Karena pada prinsipsipnya letak ketidakadilan calon yang diusung oleh partai politik dan calon perseorangan terletak pada besarnya syarat dukungan. Partai politik memiliki mesin partai dari pusat sampai bawah, mereka juga mendapat anggaran dari pemerintah untuk kegiatan partai, sehingga untuk menggerakkan kegiatan pilkada tidak menjadi masalah, tapi bagaimana dengan calon perseorangan, dia harus kerja sendiri, bergerak sendiri, meyakinkan pemilih untuk memperoleh dukungan (sebagai syarat dukungan) dan dukungan untuk memilihnya pada saat pemungutan suara atau coblosan.
Di samping itu, perlu terobosan baru, agar jalur perseorangan banyak diminati oleh calon, yang pertama, kurangi besaran syarat dukungan dan juga jumlah sebaran dukungan. Kalau melihat wilayah sebaran dukungan separo lebih wilayah yang ada, artinya seorang calon perseorangan itu didukung oleh pemilih yang di separo wilayah, itu terlalu luas dan berat, seperempat wilayah itu angka yang ideal. Yang kedua, calon perseorangan bisa diajukan oleh ormas yang memiliki keanggotaan yang jelas (dibuktikan dengan kartu anggota ormas), memiliki struktur sampai desa atau kelurahan. Ormas tersebut bisa mendeklarasikan dan mengajukan bakal calon perseorangan. Dengan bukti dukungan berupa fotokopi anggota dan tanda tangan. Sehingga dengan kemudahan syarat itu diharapkan jalur perseorangan ini diminati banyak calon dan peluang keterpilihanyapun sama dengan calon yang diusung oleh partai politik. Dan bila itu terjadi, partai politik akan berbenah, melakukan kaderisasi dengan baik, peduli dengan konstituen, memperjuangkan kepentingan rakyat, karena kalau tidak berbenah, khawatir akan ditinggalkan oleh rakyat, karena mereka akan berpaling kepada calon perseorangan. Sehingga partai politik dan kelompok masyarakat (tokoh masyarakat/tokoh organisasi) sama-sama berikhtiar untuk mempersiapkan calon kepala daerah yang berkualitas dan berintegritas. Semoga.
Umi Nadliroh, Anggota KPU Pati 2008-2018, Dosen Pancasila STAI Pati