blank
Ilustrasi calon tunggal melawan kota koson. Foto: Puskapik.com

blankOleh : Umi Nadliroh

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 23 September 2020, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota telah menetapkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota dalam pilkada serentak tahun 2020. Terdapat 738 pasangan calon yang mendaftar yang tersebar di sembilan provinsi, 224 kabupaten, serta 37 Kota.

Dari data yang terhimpun, terdapat 647 pasangan calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik serta 66 pasangan calon yang melalui jalur perseorangan serta terdapat 25 pasangan calon tunggal.

Dalam tulisan sebelumnya, penulis mengangkat tema tentang “Menanti calon kepala daerah yang berintegritas” yang salah satunya meggambarkan tentang calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik lebih diminati ketimbang melalui jalur perseorangan. Hal ini menggambarkan betapa kuatnya peran dan posisi partai politik dalam mewarnai dan menentukan arah politik dalam Pilkada.

Salah satu dari fungsi partai politik adalah sebagai media pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara memiliki tanggung jawab besar untuk mewujudkan fungsi ini salah satunya melalui kegiatan pilkada.

Sehingga pilkada dalam perspektif partai politik, tidak hanya dimaknai sebagai proses seleksi para Kepala daerah, tidak hanya media partisipasi dan penjagaan iklim yang kondusif bagi persatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi juga memiliki fungsi sebagai pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat.

Dinamika Pilkada

Sejak tahun 2005, pilkada dilaksanakan secara langsung ditentukan, dinamika menjadi begitu cepat. Misalnya pilkada bisa diikuti jalur perseorangan, pelaksanaan secara serentak serta diperbolehkanya adanya calon tunggal. Ini semua menggambarkan dinamika dalam kegiatan politik lokal ini ke arah yang lebih baik.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, khususnya pasal 54c ayat (1) memperbolehkan Pilkada dengan satu pasangan calon. Undang-Undang ini menyebut bahwa Pilkada bisa dilanjutkan jika sampai masa perpanjangan pendaftaran, tak ada calon lain. Dan pasangan calon tunggal ini akan berhadapan dengan kotak kosong.

Data yang terhimpun, terdapat 25 pasangan calon tunggal dan Jawa Tengah merupakan daerah yang banyak terdapat pasangan calon tunggal, yaitu enam daerah, meliputi kabupaten Kebumen, Wonosobo, Sragen, Boyolali, Grobogan dan Kota Semarang. Dan dari sekian banyak pasangan calon tunggal ini terdapat 13 pasangan calon berasal dari inkumben atau petahana.

Pilkada Satu Pasangan Calon

Sebelum proses penetapan pasangan calon tunggal, setelah masa pendaftaran tanggal 6 September yang lalu, KPU kabupaten/kota yang yang pendaftarnya hanya satu pasangan calon, KPU Kabupaten/Kota melakukan perpanjangan pendaftaran. Diawali dengan melakukan sosialisasi bahwa ada masa perpanjangan pendaftaran.

Dan bila ini sudah dilakukan, maka, berikutnya adalah pembukaan pendaftaran kembali selama tiga hari. Namun jika sampai batas akhir perpanjangan pendaftaran hanya diikuti satu pasangan calon, maka kabupaten/kota tersebut Pilkadanya hanya diikuti dengan satu pasangan calon.

Mengapa tejadi pilkada dengan satu pasangan calon? apakah tidak ada calon yang layak untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota, ataukah sulitnya syarat yang harus dipenuhi terutama melalui jalur partai politik, atau mahalnya ongkos politik pilkada via jalur partai politik ini?

tau mungkin mereka takut risiko politik kalau harus berkompetisi dengan calon lain? Apa mungkin juga pragmatisme partai politik, dan mereka gagal melakukan pengkaderan? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sempat menggelitik dibenak kita di tahun 2020 ini.

Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 40 ayat (1) mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang perolehannya paling sedikit  20 persen memiliki kursi di DPRD,  atau 25 persen dari hasil pemilu terakhir yang bisa mengajukan bakal calon dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta walikota dan wakil walikota gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.

Apakah karena syarat ini dianggap berat, sehingga partai politik bergabung untuk mengajukan calon, karena mereka khawatir tidak cukup kursi, sehingga mereka melakukan koalisi besar dan akhirnya hanya ada satu pasangan calon.

Aksi borong habis kursi yang ada di DPRD, terutama bila ada calon petahana, dilakukan untuk mengamankan situasi pilkada, agar kemenangan bisa diraih tanpa ada kekhawatiran kalah dalam Pilkada karena tidak ada kompetisi.

Sementara, partai politik menjustifikasi, ketiadaan kader partai yang mumpuni dan layak untuk diajukan sebagai calon Kepala Daerah, yang menjadi kendala. Sehingga calon petahana yang ada, diajukan kembali pada Pilkada 2020 dan diusung ramai-ramai oleh partai politik yang ada. Kondisi yang demikianlah memunculkan calon tunggal dalam Pilkada tahun 2020.

Adanya peningkatan  jumlah pasangan calon tunggal dalam setiap perhelatan Pilkada serentak sejak regulasi ini ada, pilkada tahun 2015 calon tunggal hanya terdapat  tiga pasangan calon, pada pilkada 2017 terdapat embilan pasangan calon tunggal, pilkada 2018 sebanyak 16 pasangan calon dan pilkada 2020 terdapat 25 calon tunggal.

Tentu hal ini menjadi catatan penting dalam pelaksanaan demokrasi lokal ini. Yang pertama, memang secara regulasi tak melarang calon tunggal alias diperbolehkan dalam pilkada, tetapi sesungguhnya demokrasi itu memberikan ruang untuk berkompetisi secara adil dan jujur, serta sehat kepada para pasangan calon, baik yang diusung oleh partai politik atau calon dari jalur perseorangan bukan untuk melawan kotak kosong.

Yang kedua, menguatnya oligarki partai dan pragmatisme partai politik. Tidak bisa dipungkiri dominasi partai atas Pilkada, hal ini bisa dilihat dari Pencalonan Pilkada yang didominasi oleh partai politik.

Para calon Kepala Daerah lebih percaya diri saat mendaftar dari jalur partai politik ketimbang jalur perseorangan. Sementara partai politik enggan untuk menyiapkan kader partainya untuk maju sebagai calon kepala daerah dan lebih memilih calon yang memiliki popularitas dan yang memiliki modal, dan mereka inilah para petahana pilkada.

Keyakinan meraih kemenangan bila mengusung petahana inilah mengabaikan fungsi partai politik itu sendiri. Partai politik lebih rela calon yang diajukannya melawan kotak kosong ketimbang melawan calon dari partai politik lain atau dari calon perseorangan.

Perlu Perubahan Regulasi

Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi telah memperbolehkan calon tunggal maju dalam pilkada karena tak ada calon lain yang maju. Dan saat itu saat itu Undang-Undangnya berbunyi, bila  dalam pendaftaran hanya ada satu pasangan calon, maka pilkada akan ditunda sampai pada pilkada  serentak berikutnya. Karena pertimbangan itulah, akhirnya Mahkamah Konstitusi memperbolehkan Pilkada dengan calon tunggal. Dan akhirnya kebuntuan demokrasi bisa teratasi untuk melindungi hak publik dalam memilih kepala daerah.

Meningkatnya calon tunggal dalam pilkada, tidak membawa pelaksanaan demokrasi lokal lebih baik. Sehingga perlu dibatasi ruang munculnya calon tunggal dalam pilkada. Misalnya perlu perubahan regulasi pilkada agar mengatur batas maksimal dukungan partai politik dalam mengajukan calon, sehingga partai politik tidak bisa  secara mayoritas mengajukan calonnya dan yang akhirnya menutup peluang terjadinya calon tunggal.

Dan partai lain, tentu akan membentuk koalisi baru dalam pengajuan calon.  Selama ini yang diatur dalam Undang-Undang, terkait dukungan, hanya batas minimalnya yaitu paling sedikit  20 persen yang memiliki kursi Di DPRD, batas maksimalnya tidak diatur. Atau alternatif kedua adalah perubahan regulasi untuk menurunkan persentase dukungan dari partai politik, tidak 20 persen, melainkan 15 persen.

Alternatif-alternatif inilah yang memungkinkan banyak calon dalam pilkada, khususnya dari jalur partai politik.Yang tentu akan menjawab kebuntuan dan kerumitan demokrasi lokal. Dan pada perkembangannya karena peluang mengajukan calon pilkada itu terbuka dan syaratnya tidak berat, membuat partai politik akan berbenah, melakukan pengkaderan, menyiapkan kader yang bisa diandalkan. Semoga dalam Pilkada serentak berikutnya ada perubahan regulasi dan dinamika yang terjadi dalam pelaksanaan demokrasi lokal ini. Semoga

Umi Nadliroh, Anggota KPU Pati 2008-2018, Dosen PKN STAI Pati