Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM
Sejak awal Islam, terma bid’ah telah menjadi bahan dan lahan perdebatan. Berpangkal dari sabda Nabi saw. yang menyatakan bahwa semua (?) bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat tempatnya di neraka.
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan: والمراد بقوله کل بدعة ضلالة ما احدث و لا دلیل له من الشرع بطریق خاص و لا عام۔. Yang dimaksud dengan kullu bid’atin dhalaalah adalah suatu inovasi (hal baru) yang tidak berdalil baik via dalil khusus atau dalil umum (Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarah Bukhari, Vol. 13, hlm. 254).
Dalil umum misalnya perintah Allah SWT untuk berzikir yang banyak (اذکرواالله ذکرا کثیرا). Karena perintahnya umum, pertanyaannya berapakah zikir yang banyak itu? Bisa tiga, tujuh, seratus, seribu dst. Bisa zikir jahr, bisa zikir sirri dan sebagainya.
Menurut Imam Nawawi sebagai pensyarah sahih Muslim, bahwa lafal kullu bid’atin dhalaalah کل بدعة ضلالة memiliki makna unik, yaitu:…ان الحدیث من العام المخصوص۔ Artinya, lafal umum dengan makna khusus (Imam Nawawi, Syarah Muslim , volume 6, hlm. 155).
Mana ada lafal “Umum (semua) dengan makna khusus (sebagian)”? kata penyanggah bid’ah hasanah. Kemudian bagi yang mengakui ada bid’ah hasanah menjawab:”Dalam lain contoh kasus, bahasa yang begini selalu ada. Misalnya orang berkata.
“Tutup pintu itu, nanti air hujannya masuk semua”. Mustahil kalau semua air hujan bisa masuk via pintu seukuran itu? Dalam bahasa ushul namanya mengucap semua dengan maksud sebagian, اطلاق الکل لارادة ا لجزء۔ dan sebaliknya ada ucapan sebagian dengan maksud semuanya.
Seperti orang yang berkata:”Lama bener kamu tidak tampak batang hidungmu”. Apa mungkin batang hidung bisa jalan-jalan menampakkan diri? Dalam usul hal ini disebut اطلاق الجزء لارادة الکل۔
Hukum Bid’ah
Tetapi kalau ada orang berkata “semua racun itu mematikan”, tentu benar. Seperti hadits “setiap yang sesat adalah di neraka”. Sedangkan kalau semua bid’ah itu sesat, berarti Abu Bakar ra. dan Umar ra.sesat karena mengkodifikasi Al-Qur’an dan jamaah tarawih 20 rakaat.
Begitu juga ilmu nahwu, sharaf, ushul fiqh yang untuk mendisain ibadah dan seterusnya. Demikian pun disain trilogi (trinitas?) yaitu tauhid uluhiyah, rububiyah, asma dan sifat juga bid’ah karena Nabi Muhammad sAW tidak mengajarkannya.
Kalau alasannya trinitas tersebut mengambil dari Al-Qur’an, apa dikira wujud, qidam, baqa’ dst. tidak dari Al-Qur’an?
Sungguh pernah terjadi musykilah hukum bid’ah ini. Kalau kullu bid’atin dhallalah dimaknai “semua-bid’ah”, mengapa Umar bin Khatthab ra.menyebut jamaah salat tarawih 20 rakaat dengan kata “sebaik-baik bid’ah?” Berarti ada bid’ah yang terbaik, baik, agak baik dst. Meskipun ditakwil orang dengan makna lughawi (bahasawi), tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Mau istilahi mau lughawi, bid’ah itu hal yang belum ada lalu diadakan. Kalau salat tarawihnya sudah ada sejak Nabi saw.setidaknya metode dan tekniknya sebagai bid’ah juga. Karena ibadah mahdhah itu landasan ideal, struktural dan operasional diperoleh dari Allah SWT via Nabi saw.
Juga kalau “semua bid’ah itu tersesat” bagaimana Abu Bakar ra. mengamini ide Umar b Khatthab ra. yang telah ia ingkari dengan mengucap “Kenapa kau lakukan hal yang belum pernah dilakukan Rasulullah saw alias bid’ah ketika mengkodifaksi Al-Qur’an?”(کیف تفعل شیاء لا یفعله رسول الله صلی الله علیه و سلم)۔ Kalau bukan karena bid’ah, beliau takut apa dengan ucapan itu?
Maka logislah kalau mayoritas salafus saalih dari Imam Syafii, dan seterusnya mengakui adanya bid’ah hasanah. Memang ada yang menamakan “maslahah mursalah” terhadap kodifikasi Al-Qur’an tersebut. seperti Imam Malik.
Akan tetapi substansinya sama, yaitu mengadakan sesuatu yang belum pernah ada di zaman rasul, menjadi ada. Kalau dibilang hal itu bukan hal ibadah, ternyata kita sering beribadah menyusun cara dan kata sendiri. Seperti orang berdoa (الدعاء هو العبادة
Penulis Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo