Oleh Dr KH Muchotob Hamzah MM
Sesungguhnya tidak ada orang yang terlepas dari kesalahan dan kekeliruan, termasuk para mubaligh se alim apapun. Kesalahan tersebut bisa karena lupa meskipun dia seorang alim, atau termasuk di bawah standar yang berlaku baik tersebab IQ atau penguasaannya.
Hal ini juga berlaku pada semua lahan perjuangan (jihad), sektor dan profesi, sehingga terkadang kita dengar ada dokter yang malpraktek yang berakhir dengan kematian pasiennya.
Kesalahan dan kekeliruan itu sangat mungkin pada orang yang berkecimpung di lahan jihad khususnya dakwah atau tabligh.
Apalagi dalam Islam yang kitab sucinya berbahasa Arab. Karena tidak ada Al-Qur’an bahasa Indonesia atau lainnya. Yang ada hanyalah terjemahnya. Oleh karena itu tidak afdhal kalau dakwah atau tabligh tidak melafalkan kitab suci atau hadits nabi yang berbahasa Arab itu.
Jangankan banyak salah baca, kurang bertajwid saja audien sudah kesah. Konsekuensinya, si mujahid dakwah ini harus belajar Al-Qur’an dan hadits yang berbahasa Arab dengan perangkat-perangkatnya.
Ada perintah nabi saw. dalam hadits sahih, “ballighuu ‘annii wa lau aayatan” artinya, …apapun yang didengar atau dilihat dari nabi saw., hendaklah ditularkan pada orang lain (HR. Bukhari nomer 3202). Ini sering dipakai dalil untuk penceramah (muballigh-daa’i) dalam ceramahnya meskipun pengetahuan agamanya minim.
Hadits ini sejalan dengan hadits deklarasi hak-hak asasi manusia (declaration of human rights) yang beliau sampaikan pada haji Wada’, “… orang yang mendengar seruanku (Nabi saw.) hendaklah menyampaikan kepada orang yang tidak datang (HR. Bukhari nomer 4049).
Maka bisa dimisalkan, orang yang seumur-umur hanya pernah melihat atau mendengar satu kali bahwa nabi saw. mengatakan atau berbuat, maka orang ini diperintahkan untuk mensiarkan kepada orang lain meskipun tahunya hanya satu-satunya hadits itu. Tetapi ini bukan perintah untuk juru dakwah atau juru tabligh yang bergulat dengan lahan perjuangan ini.
Orang ini wajib menekuni ilmu-ilmu yang akan didakwahkan dan ditablighkan, karena kalau tidak menekuninya dikhawatirkan “dhalluu wa adhallu”, sesat dan menyesatkan (HR. Muslim, Syarah an-Nawawi 16/223-224).
Lisaanul Qaum
Bagi mereka yang bergulat di jalan dakwah dan tabligh, Allah SWT. berfirman lebih kurang maksudnya: “…untuk menjadi pemberi ingat terhadap kaumnya yaitu mad’uu hendaklah tafaqquh fi ad-diin”, maksudnya fiqh atau faham terhadap agama via kitab suci dan ilmu-ilmunya (QS. 9/122).
Di samping itu juga fiqih terhadap “lisaanul qaum” sebagaimana semua rasul fasih dengan bahasa kaumnya (QS. 14/4). Kalau kaumnya berbahasa Arab ya rasulnya berbahasa Arab juga. Para wali di Jawa faham lisanul qaum ketika umat masih belum tahu tentang musyrik, munafiq, kafir.
Maka para wali hanya mengatakan “ojo lakoni, ora elok” artinya: jangan dijalani, itu tidak baik. “ojo koyo ngono, ora elok” jangan begitu, tidak baik. Ternyata dengan ungkapan sederhana itu, orang takut berbuat musyrik, munafiq dst.
Ketika kaumnya masih menggunakan kendaran onta, lisanul qaum-nya tentu berbeda dengan kaum yang telah menggunakan kapal terbang atau bahkan roket.
Karena banyaknya orang yang terpanggil untuk menjadi juru dakwah dan tabligh, sementara umat kebanyakan belum bisa membedakan kriteria muballigh dan da’i yang kredibel dan menguasai masalah, maka sangat urgen-lah sertifikasi oleh yang berwenang secara bijaksana.
Artinya diberikan serifikasi bukan atas alasan selain karena keahlian dan kemaslahatan umat. Karena keahlian adalah diktum dari Nabi SAW sendiri.
Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka nantikanlah saat kehancurannya (HR. Bukhari).
Selanjutnya, Allah SWT. perintah kepada umat agar bertanya kepada ahlinya (QS. 16/43). Meskipun tafsir Jalalain mengartikan ahli tentang Taurat dan Injil, bisa dikembangkan sebagaimana keumuman hadits Bukhari di atas.
Bertanya penyakit kepada dokter. Bertanya konstruksi bangunan kepada insinyur. Bertanya agama kepada ulama, dst. Wallaahu A’lam bis-Shawaab!
Dr KH Muchotob Hamzah MM, Rektor Unsiq Jateng di Wonosobo