Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga
Cerahkanlah Seninmu hari ini dengan “Jangan lupa terus bahagia, apa pun situasinya.”
SENIN lalu, telah kita kupas tentang silih cidra yang berintikan pada kondisi saling balas-membalas menipu, –genti genten ngapusi– , sebagai upaya untuk membalas dendam atau lebih sadisnya memalukannya.
Hari ini kupasan kita terfokus ke cidra ing ubaya yang lebih menekankan pada mblenjani janji. Janjine lunga ora ana sewulan, jebul ditunggu dan ditunggu berbulan-bulan, Sri tidak datang-datang. Itulah cidra ing ubaya, janji tinggal janji namun tidak ditepati, bikin jengkel.
Seperti kita ketahui, cidra itu berarti ora setia, ora nuhoni, dapat juga berarti apus-apus, sedangkan ubaya itu artinya janji. Maka maknanya, cidra ing ubaya ialah mblenjani janji, seperti terlukiskan oleh janji Sri yang ternyata pergi berbulan-bulan padahal janjinya hanya pergi selama sebulan.
Dampak cidra ing ubaya bikin jengkel, atau mungkin bisa memuncak ke emosi(onal); namun tidak akan sefatal dampak dari silih cidra. Pada silih cidra, orang bisa menjadi sangat malu, gagal total tujuan yang akan diraihnya, dan mungkin saja ada kerugian materi karena diingkari oleh orang yang kemarin-kemarin pernah janji macam-macam.
Jangan percaya?
Bagaimana sikap terbaik terhadap janji seseorang, atau kalau saya sendiri harus dan perlu berjanji? Apakah terhadap janji orang kita sebaiknya curiga melulu agar nantinya tidak kecewa ketika janji itu ternyata kosong/bohong?
Atau sebaliknya, kita percaya saja kepada setiap orang yang berjanji? Jawaban atas beberapa pertanyaan ini ada pada bagaimana pengalaman masing-masing orang selama ini.
Ada orang yang punya pengalaman serba pahit karena setiap kali mengalami kekecewaan atas janji orang lain; tetapi sebaliknya ada orang yang hampir tidak pernah mengalami kekecewaan atas janji seseorang.
Mereka yang mempunyai pengalaman pahit, pasti cenderung tidak percaya atas omongan (apalagi janji) orang lain, apa pun dan siapa pun dia yang berjanji itu. Mereka sudah “pasang kuda-kuda” seraya beranggapan bahwa semua yang diomongkan dan/atau dijanjikan itu pemanis mulut belaka. Bersikap curigakah? Mungkin akan sampai ke sikap curiga kalau pengalaman pahitnya itu ternyata beruntun.
Sebaliknya, orang yang boleh dikatakan mulus-mulus saja tanpa pernah merasa diblenjani apalagi diapusi akan bersikap terbuka saja terhadap omongan atau pun janji seseorang. Dan memang, orang yang bersikap seperti itu nyatanya tidak pernah menderita karena diblenjani utawa diapusi. Mujur.
Kaitannya degan Pilkada
Tahapan Pilkada sudah sampai pada penerimaan dan penetapan calon, dan menuju ke Rabu, 9 Desember 2020 (hari pemilihan) akan ada banyak pihak yang berjanji dan berjanji, baik janji itu diucapkan oleh calonnya sendiri maupun mungkin oleh tim suksesnya. Pendek kata tinggi gunung seribu janji akan kita dengar dan lihat.
Saat inilah kita mencermati apa isi janjinya, bagaimana janji itu dikemas, dan apakah ada strategi atau cara-cara tertentu ditawarkan untuk meraih janji itu. Kampanye yang bagus pasti kampanye yang tidak sekedar janji melainkan selalu memberi solusi dan contoh sukses; dan sebaliknya.
Baca Juga: Silih Cidra, Duh…
Kampanye yang mung cidra ing ubaya, pasti isinya ngalor-ngidul tidak terukur apalagi mengandung solusi. Terhadap mereka yang mung janji asal janji, pasti banyak orang sudah akan bergumam sebagai responnya: “Ah, akeh tunggale.”
Apakah Pilkada harus selalu dibumbui seribu janji? Kampanye itu substansinya sebetulnya berjualan, dan yang dijual itu pokok pikiran membangun selama lima tahun ke depan. Sulitnya membangun pokok pikiran, mendorong orang lalu menempuh model main janji, dan karena sering sulit terkontrol, jadilah obral janji, dan kelak jebule mung mblenjani wae anane.
Oleh karena itu, pesan sejak jauh-jauh sebelum masa kampanye itu tiba, rumuskanlah pokok pikiran membangun secara sederhana saja, konkret dan terukur selama lima tahun ke depan berikut cara-cara mencapainya. Dengan cara seperti itu, kampanye akan terkontrol dan tidak akan dicap tukang janji atau tukang mblenjani janji.
Harapannya memang, kualitas Pilkada dalam segala aspeknya meningkatkan demokrasi, bukannya sebaliknya. Hanya penuh janji pasti tidak akan meningkatkan kualitas apa pun dan siapa pun.
Tolok ukurnya gampang, yakni kalau hanya begitu-begitu saja sama dengan lima tahun atau sepuluh tahun lalu, yah…cidra ing ubaya saja. Prosesnya mungkin sudah ditandai silih cidra, dan kampanyenya penuh cidra ing ubaya, waduh……..komplet apus-apusnya. Jangan begitu ah…!!!
(JC Tukiman Tarunasayoga, Pengamat Kemasyarakatan)
.