Oleh : Wahono
DUNIA perminyakan Nasional kini berpaling ke Blok Cepu. Bermula dari ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) melalui Mobil Cepu Limited (MCL) yang berganti nama menjadi ExxonMobil Cepu Limited (EMCL), sebagai operator Blok Cepu, berhasil memroduksi 220.000 Barrel Oil Per Day (BOPD).
Ketika masih bernama MCL, operator Blok Cepu ini bertugas mengembangkan Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Lapangan Banyu Urip, Jambaran, Kedung Keris, Alasdara, Cendana dan Kemuning. Namun (saat ini), EMCL memilih berkonsentrasi penuh di Lapangan Banyu Urip dan Kedung Keris.
Lapangan-lapangan itu berlokasi di wilayah perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Pada 2004-2005, di Blok Cepu diyakini terdapat kandungan minyak 450 juta barel. Dan ternyata, temuan terbaru cadangan minyaknya mencapai 823 juta barel, belum termasuk cadangan gas alam yang sangat besar.
Penemuan minyak dan gas bumi (migas) darat besar di tengah kontroversi dan maraknya aksi demo (ketika itu-red), bisa jadi sebuah bias besar yang memberikan harapan baru bagi warga masyarakat Blora, Bojonegoro, Jateng, Jatim dan Indonesia.
Cerita terbarunya, Aliansi Masyarakat Sipil Blora (AMSB) segera melakoni sidang lanjutan permohonan Judicial Review (JR) Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2004, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, terkait DBH Migas yang dinilai tidak adil untuk rakyat Blora.
Didukung MAKI
Catatan perjalanan panjang AMSB dalam memperjuangkan Dana Bagi Hasil (DBH) migas Blok Cepu untuk Blora, Jawa Tengah, sudah diawali dengan sidang pertama digelar di ruang rapat Fakultas Hukum (FH) Universitas Surakarta (UNS), Selasa (11/8/2020) lalu.
Sidang yang digelar secara virtual di kampus FH UNS itu, dihadiri warga Blora yang didukung oleh sejumlah pihak. Antara lain ahli migas, aktivis pejuang DBH migas, para tokoh Blora, didukung Boyamin Saiman dan kawan-kawan dari Masyarakan Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Menurut Ketua AMSB yang juga mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Blora, Seno Margo Utomo, permohonan JR melalui Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 33 Tahun 2004, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah itu harus terus berjalan.
”AMSB sudah menyiapkan bukti serta saksi-saksi ahli. Kami pun sudah siap dengan gelaran lanjutan sidang JR DBH Migas oleh MK,” ungkap Seno.
Kajian terkait update data revenue (cadangan) dari Plan of Development (PoD) migas Blok Cepu sampai 2020 yang meningkat dari 450 juta menjadi 823 juta barel, juga sudah disiapkan.
Seno bersama para pejuang DBH Migas Blok Cepu (MSB) berharap, permohonan JR ini bisa gol. Karena Blora masuk WKP, dan ikut dalam Participating Interest (PI) Blok Cepu. Namun ternyata DBH dari Blok Cepu nol rupiah (Rp 0).
Sementara Bojonegoro (Tahun Anggaran 2019), mendapat kue dari DBH Migas Blok Cepu Rp 2,7 triliun. Termasuk daerah lainnya di Jatim, yang berjarak ratusan kilometer dari Blok Cepu, juga mendapatkan DBH puluhan miliar rupiah.
Lantaran dinilai tidak adil dalam pembagian DBH Migas Blok Cepu itu, AMSB berjuang mengajukan permohonan JR ke MK, terkait UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Salah satu kepala sumur (well head) di lokasi BU Project saat Blok Cepu sebelum berproduksi. Di bawahnya tersimpan cadangan minyak raksasa (832 juta barel). Foto: SB/Wahono
140 Tahun
Kembali ke Blok Cepu yang kini menarik dibahas itu. Secara tidak langsung juga imbas dari kekayaan alam berupa hutan jati yang mulai rusak dari dampak pencurian, perusakan, dan penjarahan besar-besaran di awal masa reformasi.
Produksi hutan negara (kayu jati) yang terus merosot, bahkan kontribusinya juga cenderung menurun itu, ternyata di bawahnya (di bawah hutan jati-red), terdapat cadangan (kandungan) migas yang sangat besar.
Lalu dari sejarah perminyakan di Blora itu dimulai? Siapa orang pertama yang mengebor perut bumi hingga keluar migas? Berikut petikan sejarah perminyakan yang digali jajaran Pusat Pendidikan dan Pelatihan Minyak dan Gas Bumi (Pusdiklat Migas), kini bernama PPSDM Migas di Cepu, Blora.
Untuk menggali sejarah pencarian minyak bumi Cepu, Blora, dapat ditelusuri ke belakang lebih dari 140 tahun lewat (sekitar 1871), yakni semasa penjajahan Pemerintah Belanda.
Arsitek besar menemukan minyak di Cepu, diawali oleh seorang pengusaha Belanda, Yan Reering, bermula dari lereng Gunung Ciremai, Jawa Barat (1871). Dia melakukan penggalian empat buah sumur, dan menghasilkan minyak secara komersial.
Pencarian minyak bumi di negara berbendera murah putih ini, hanya berselisih 12 tahun dengan kejadian penting di Amerika Serikat pada 1859, ketika kolonel Drake di Titusville, Pennsylvania, melakukan pemboran sumur pertamanya.
Selama 12 tahun sesudah usaha Reering, seorang inspektur perkebunan di Langkat (Sumatera Utara), AeilkoYans Zijlker, menemukan rembesan-rembesan minyak semula diinformasikan oleh penduduk setempat.
Setelah diketahui bahwa minyak itu mempunyai kualitas yang baik, kemudian dia meminta konsesi kepada Sultan Langkat, dan memperoleh daerah atau wilayah diinginkannya.
Sumur pertama yang digali di Telaga Said ternyata tidak memberikan hasil. Sumur yang menghasilkan minyak bumi secara komersial pertama di Indonesia adalah di Telaga Tunggal Nomor 1, dibangun di atas daerah konsesi itu pada 15 Juni 1885, dan tercatat sebagai permulaan dari sejarah perkembangan industri perminyakan di Indonesia.
Adrian Stoop
Sumur Telaga Tunggal Nomor 1 itu menjadi termasyur di seluruh dunia, kemudian merupakan sumur yang terus menghasilkan sampai masa produksi lebih dari 50 tahun, dan digali hanya pada kedalaman 121 meter.
Diawali oleh keberhasilan Ziljker itu, kemudian ditemukan minyak secara komersial di Kruk, Jawa Timur 1887, Sanga-Sanga, Kalimantan Timur 1897, Ledok, Cepu, Kabupaten Blora l901 (1893 belum komersial-red). Lalu ada pula di Pemusiman, Tarakan pada 1905, Talang Akar, Pendopo, Sumatera Selatan 1921.
Untuk mengolah minyak bumi yang ditemukan itu, didirikanlah beberapa kilang pengolahan. Antara lain di Wonokromo (1890), Pangkalan Brandan (1891), Cepu (1894), Balikpapan (1894) dan Sungai Gerong (1926).
Adanya penemuan-penemuan minyak di Indonesia tersebut, mengakibatkan tumbuhnya perusahaan-perusahaan minyak dan bisnis asing di dalam negeri.
Adrian Stoop, bekas pegawai Ziljker kemudian mendirikan Dortsche Petroleum Maatschappij di Surabaya, yakni setelah berhasil menemukan minyak. Dia segera membangun pabrik pengilangan minyak di Wonokromo pada 1890.
Pengilangan ini merupakan pengilangan minyak yang pertama di Pulau Jawa. Dengan berhasilnya pemboran di Cepu, Blora, Jawa Tengah, maka didirikan pabrik pengilangan di tempat itu pada 1894.
Pada era 1890-an, Koninklije Nederlandsche Petroleum Compagnie didirikan atas usaha Ziljker, bersama-sama temannya di Den Haag, Belanda. Perusahaan itu kemudian mengambil alih konsesi Telaga Said.
Usaha perusahaan itu pertama-tama adalah memroduksi, mengolah dan memasarkan minyak bumi. Dibangun pula tangki-tangki penimbunan serta fasilitas pelabuhan di Pangkalan Susu. Tempat ini kemudian terkenal sebagai pelabuhan ekspor minyak pertama di Indonesia.
Perusahaan asing lainnya, Shell Transport and Trading Co, yang memperoleh konsesi daerah Sanga-Sanga, Kalimantan Timur dari Sultan Kutai 1888. Lima tahun kemudian atau pada 1893, Lapangan Sanga-Sanga ini mulai berproduksi. Namun produksi secara komersial baru terjadi pada tahun 1897, yang mendorong didirikannya pengilangan minyak di Balikpapan (1894).
Salah satu dari banyak fasilitas di BU Project (proyek Lapangan Banyu Urip), di Jalan Raya Cepu-Bojonegoro KM-16, Desa Bonorejo, Kecamatan Gayam, Bojonegoro, Jatim. Foto: SB/Wahono
Lapangan Terbesar
Kedua perusahaan, Koninklije Nederlandsche Petroleum Compagnie dan Shell Transprot and Trading Co, pada 24 Februari 1907, bergabung menjadi satu dengan nama The Koninklije Shell Group, yang kemudian terkenal dengan sebutan Shell.
Perusahaan itu kemudian mendirikan perusahaan yang terdiri dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), Aziatic Petroleum dan Saxon Petroleum Company. BPM bergerak di bidang produksi, Aziatic di bidang pemasaran dan Saxon di bidang pengangkutan minyak.
Selanjutnya, perusahaan migas Dortsche Petroleum Maatschappij di Jawa Timur yang semula bekerja sendiri, akhirnya dibeli BPM. Sehingga seluruh industri minyak di Indonesia pada waktu itu berada di bawah pengawasan The Koninklije Shell Group, termasuk di Blora dan Bojonegoro (sebagian kini Blok Cepu).
Disusul pada 1912, perusahaan Amerika Serikat, Standart Oil of New Jersey mulai masuk ke Indonesia, dengan mendirikan cabang organisasinya, Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM).
Daerah konsesinya meliputi wilayah Talang Akar, Pendopo dan Sumatera Selatan. Diawali dengan penemuan ladang minyak pada 1921, bahkan tercatat sebagai lapangan terbesar di Indonesia sebelum perang dunia kedua.
Untuk memroses minyak di daerah ini, selanjutnya Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij, mendirikan pengilangan minyak di Sungai Gerong.
Sejarah perminyakan mencatat, pada 1933 Standard Oil of New Jersey menggabungkan seluruh usahanya yang ada dalam Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM), berbentuk usaha patungan. Mulai 1947, statusnya diubah menjadi PT Standart Vacuum Petroleum Indonesia (Stanvac).
Untuk menghadapi persaingan dari perusahaan minyak Amerika Serikat, maka grup minyak Belanda dan Inggris dimana BPM bertugas mencari sumber maupun usaha
produksi, pada 1921 mendirikan perusahaan campuran antara BPM dan pemerintah Kolonial Belanda, dengan pembagian saham sama besar 50%-50%.
Lantas perusahaan migas campuran dengan saham sama rata (50-50) itu, diberi nama Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij (NIAM).
Shell dan Stanvac
Perusahaan minyak Amerika Serikat lainnya, Standard Oil of California, pada 1930 membentuk cabang perusahaan di Indonesia yang diberi nama Nederlandsche Pasific Petroleum Maatschappij (NPPM).
Perusahaan itu memperoleh konsesi di wilayah Sumatera Tengah. Kontraknya ditandatangani pada 1936, untuk wilayah kerja Rokan Blok.
Pada tahun yang sama (1936), Standard Oil of California mengadakan kerja sama dengan Texas Company (Texaco), sehingga NPPM dimiliki dua perusahaan Amerika Serikat itu, selanjutnya dikenal dengan nama California Texas Oil Company (Caltex).
Bahkan Caltex dengan percaya diri menggali sumur eksplorasi pertama di Rokan Blok, Sebanga, 65 km sebelah utara Pakanbaru, Sumatera Tengah (1939).
Hasilnya menunjukkan tempat itu memang terdapat minyak. Tetapi sebelum Caltex melaksanakan pemboran, meski segala persiapan untuk itu sudah dilakukan, perang dunia kedua pecah, dan tentara Jepang menduduki Sumatera.
Jadi pemerintah pendudukan Jepang itulah yang meneruskan usaha yang disiapkan Caltex, yang pada 1943 strukturnya sekarang bernama Minas, menemukan minyak pada kedalaman 700 meter. Perang Dunia Kedua usai, lantas lapangan migas berkembang jadi salah satu dari 25 lapangan minyak terbesar di dunia.
Untuk eksplorasi di daerah Irian Jaya (Papua-red), beberapa perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia telah mendirikan perusahaan campuran. Ketika itu dipegang Nederlansche Nieuwe Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM).
Adapun pemegang sahamnya Shell, Stanvac dan Caltex. Operasi mulai dilakukan oleh Shell, karena sebelumnya telah melakukan survei di daerah Irian Jaya (kini bernama Papua) sejak 1928. Daerah konsesi diberikan kepada NNGPM pada 1935, di dekat Sorong.
Menjelang PD II, industri minyak di Indonesia dikuasai Shell dan Stanvac. Caltex pada waktu itu belum memulai produksinya. Daerah operasi Shell dari Sumatera Utara melebar sampai Provinsi Papua, kecuali Sumatera Tengah.
Sedang operasional Stanvac terbatas di Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Pemasaran di dalam negeri, juga dikuasai kedua perusahaan itu dengan Shell sebagai pemegang jaringan pemasaran.
Kilang minyak eks PT Humpuss Patragas di dalam kompleks Pusdiklat Migas, Cepu, Blora, yang sempat mangkrak belasan tahun. Foto: SB/Wahono
Diambilalih RI
Perkembangan selanjutnya, Jepang bertekuk lutut pada Sekutu, disusul Bangsa Indonesia seacara heroik memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Dalam memperjuangkan dan usaha mempertahankan kemerdekaannya itu, para pejuang kemerdekaan RI berusaha merebut lapangan, juga pengilangan dan persediaan minyak dari tangan bala tentara Jepang.
Perjuangan yang gigih, membuat tentara Jepang menyerah pada September 1945, bahkan seluruh tambang minyak yang berada di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, diambil alih Pemerintah RI.
Kemudian disusul pembentukan perusahan minyak nasional pertama, Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI). Sementara di Sumatera Selatan, Palembang dan Jambi, para pejuang kemerdekaan itu mendirikan Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri)
Di Pulau Jawa, pemerintah RI mendirikan Perusahaan Tambang Minyak Nasional (PTMN). Bahkan Perusahaan ini diberi kekuasaan penuh untuk mengelola seluruh perminyakan di Jawa Tengah.
Hanya saja, kegiatan dari PTMN ini terbatas pada lapangan minyak Shell di Kawengan, Ledok, Nglobo, pengilangan di Jambi dan Mangunjaya.
Namun setelah agresi Belanda Kedua 1948, kegiatan Permiri terhenti. Meski demikian, lapangan Ledok dan Nglobo tercatat dalam sejarah perminyakan, sebagai awal ditemukannya ladang minyak di wilayah Cepu, Blora.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, telah didirikan tiga buah Perusahaan Negara di bidang perminyakan. Masing-masing PN Pertamin (PP 3/1961) pada 13 Februari 1961, PN Permina (PP 198/1961) 5 Juni 1961, PN Permigan (PP 199/1961) 5 Juni 1961.
Dengan dibubarkannya PT Permigan pada 1966, maka tinggal dua buah perusahaan negara bidang pertambangan minyak dan gas bumi yang beroperasi di Tanah Air, PN Pertamin dan PN Permina.
Kemudiann dengan Undang-Undang Nomor 8/1971 pada 15 September 1971, didirikan Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Negara, disingkat Pertamina yang diharapkan sebagai sarana untuk meningkatkan serta menjamin suksesnya pengusahaan minyak dan gas bumi yang waktu itu dipegang PN Pertamina.
Sejarah perminyakan mencatat, Blora dikenal sebagai ladang minyak sejak Koloni Belanda berkuasa di Indonesia. Setidaknya sudah lebih dari 125 tahun, setelah ahli minyak asal Belanda Andrian Stoop (eks pegawai Zijlker) berhasil menemukan sumber minyak yang pertama di Desa Ledok, Kecamatan Sambong, Blora (1893).
DOH Jabati
Melihat Blora memiliki kandungan migas dalam angka yang besar, saat itu pemerintah Belanda semakin bersemangat menambang migas di banyak lokasi. Seperti di Kecamatan Cepu, Sambong, Randublatung, Jiken, Kunduran, Ngawen, Jati dan lokasi lain di Blora.
Sebagaimana diketahui, migas adalah sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui. Berbeda dengan industri hutan milik PT Perhutani (Persero), berupa kawasan tanaman jati, yang apabila rusak, dicuri atau dijarah bisa diproduksi lagi dengan sistem penanaman dan penghutanan kembali.
Dari sifat migas yang tidak bisa diperbaharui itu, menjadikan ratusan sumur (lapangan) migas di Blora eks Belanda, kini menganggur. Tinggal sekitar 100 sumur minyak tua yang masih bisa diproduksi secara tradisional, tetap dibawah Pertamina Cepu.
Pemerintah melalui Pertamina Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Timur (DOH Jabati), adalah dengan mencari sumber-sumber baru, melakukan survei dan eksplorasi migas di Blora.
Cukup lama Pertamina mencari sumber (cadangan) migas di kawasan perbatasan Jateng-Jatim, yang kini populer disebut Blok Cepu. Toh kenyataannya, tidak menemukan hasil yang signifikan. Demikian juga dengan PT Humpuss Patra Gas (HPG) pemilik Blok Cepu sebelum dipegang ExxonMobil.
Adakah yang salah dalam usaha pencarian minyak dan gas bumi oleh Pertamina sendiri, khususnya di Blok Cepu (Blora, Bojonegoro, Tuban) itu? Pengamat Peminyakan Nasional, Kurtubi, pada sekitar 2006 menjawab tegas, tidak ada yang salah.
Soal mengapa harus ExxonMobil yang berhasil menemukannya ? Menurut Kurtubi, semua kembali pada biaya, sarana dan prasarana.
Selama ini Pertamina, termasuk juga PT HPG saat menguasai Blok Cepu masih dengan teknologi Seismik 2-D. Sementara ExxonMobil bekerja dengan teknologi canggih terbarunya 3-D (Tiga Dimensi).
”Teknologi Seismik 3-D itu biayanya gede, ya terserah Pertamina hanya dengan 2-D terus atau mencontoh ExxonMobil dengan terknologi canggih,” ungkap pengamat migas ini.
Salah satu rumah eks peninggalan Belanda yang dinamai Warga Cepu-Blora sebagai Loji Klunthunk ini, termasuk bukti sejarah asal mula migas di Jawa.( Foto: SB/Wahono)
Giant Field
Juga menurut pakar geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Koesoemadinata, yang paham sejarah Blok Cepu ini menjelaskan, semenjak diambil alih oleh PT HPG dari Pertamina dalam bentuk kontrak Technical Asisstance Contract (TAC), dia kagum melihat hasil coring (pengambilan contoh batuan inti pemboran) dari sumur Banyu Urip-1.
”Seluruh core dilumuri oleh minyak disekujur tubuh batuan inti. Ini kenyataan sungguh menakjubkan. Blok Cepu bisa jadi merupakan giant field,” ungkapnya di buletin Pertamina.
Pada 1980-1990, daerah Cepu diambil dan dikuasai Pertamina Unit III dan pertama kali melakukan survei seismik sekitar pertengahan akhir 1980-an (seri lintasan 87.CPU clan 89.CPU), dan menemukan beberapa prospek ditindaklanjuti dengan pengeboran satu sumur eksplorasi.
Daerah di luar WKP Cepu kemudian dioperasikan dengan cara partnership menjadi Joint Operating Body (JOB), antara PT Stanvac Indonesia di sebelah barat (Gundih Block) dan Petromer Trend di timurnya (Tuban Block).
Akhirnya kini dioperasikan JOB Pertamina-Petro China, dengan temuan penting ladang minyak di sumur Mudi (1993-1994). Meski hanya perangkap terumbu dalam Forma Kujung.
Wilayah Kerja Cepu diambil oleh PT Humppus Patra Gas (HPG) 1990, sebagai TAC, kecuali lapangan tua Kawengan, Ledok dan Nglobo yang sampai saat ini tetap dipegang Pertamina.
Pada awalnya yang diincar oleh PT HPG adalah Enhanced Oil Recovery (EOR) dari lapangan-lapangan tua itu, maka jenis kontrak adalah TAC.
Pemboran pertama oleh PT HPG, berlokasi di Nglobo Utara-1, diikuti empat pemboran konfirmasi, untuk selanjutnya dinyatakan sebagai penemuan baru yang akan segera dikembangkan.
Namun penemuan lapangan yang dinamai lapangan Kemuning itu, dirundung masalah teknis pemboran, dan belum sempat diproduksi.
Hingga pada 1995, PT HPG mengeluarkan biaya yang telah melampaui komitmennya, maka diputuskan untuk membiayai pemboran eksplorasi “prospek dalam” dengan melakukan farmout pada perusahaan multinasional (menawarkan 49% interest), dengan iming-iming prospek menggiurkan.
Pemboran eksplorasi berikutnya yang diusulkan adalah Banyuurip-1 (1998), memang merupakan prospek ranking satu dari PT HPG. Dengan objektif Formasi Kujung (terumbu) dan lokasi pemborannya pun telah ditentukan oleh PT HPG.
Pemboran di lapangan Banyuurip-1 (BU-1) dilaksanakan pada Agustus 1998 dalam suasana maraknya reformasi. Perubahan sejarah perminyakan di Blok Cepu seluruh kegiatan operasi pemboran akhirnya diambialih MCL, anak perusahaan ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI). Sementara waktu itu Exploration Manager tetap dari PT HPG.
Secara mengejutkan, MCL juga menghentikan pemboran, begitu mata bor akan menembus terumbu pada Formasi Kujung. Alasannya, ada tanda-tanda gas H2S (gas beracun), sehingga perlunya dilakukan persiapan peralatan khusus untuk menanggulangi kemungkinan ada pencemaran lingkungan.
lalu pemboran dialihkan ke prospek Cendana, yang juga dihentikan di atas tubuh terumbu Formasi Kujung. Pemboran baru dilanjutkan hampir tiga tahun kemudian (2001) di lokasi yang sama.
Ketika itu MCL sebagai operator yang telah mengantongi 100% interest dalam TAC Blok Cepu ini. Dan kemudian melakukan uji produksi dengan hasil 5.000 BOPD, dan Banyuurip-1 dinyatakan sebagai sumur discovery, yang dalam siaran persnya disebut sebagai giant oil field.
Dalam berbagai kepentingan, minyak merupakan komoditas yang sangat penting dan bernilai strategis. Sayangnya, minyak merupakan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak bisa diperbaharui (non-renewable resources), dengan proses pembentukannya perlu waktu ratusan tahun dengan sekali diproduksi langsung habis.
Kulit Gelam
Dalam kondisi cadangan minyak Nasional semakin memprihatinkan, muncul kabar menggembirakan dari perbatasan Jateng-Jatim, yang lebih populer dengan nama Blok Cepu (Cepu Block).
Di wilayah ini, di perbatasan Blora-Bojonegoro (Jateng-Jatim), ditemukan cadangan minyak darat oleh Mobil Cepu Ltd (MCL) anak perusahaan ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI), memprediksi ada 250 juta hingga 600 juta barel, dan temuan terakhir 823 juta barel.
Dengan mengawali survei-survei njelimet (3-D), padat modal (berbiaya tinggi) dan risiko kerja yang tinggi pula, MCL-lah sebagai kontraktor Pertamina dalam Technical Assistance Contract (TAC) di Blok Cepu.
Sebenarnya, temuan cadangan migas itu (Blok Cepu-red), sudah terkatung-katung sejak 2002, dan baru triwulan pertama 2006 kembali jelas siapa pemegang operatornya.
Sampai pada April 2006, anak perusahaan ExxonMobil, MCL (kini bernama ExxonMobil Cepu Limited atau EMCL-red), pihak yang disebut penemu ladang minyak darat di Blok Cepu itu, masih berkantor di Kota Kecamatan Cepu, Blora.
Kantor itu ditempati sejak kegiatan penting MCL di tiga kabupaten di Jateng dan Jatim. Semua diawali kegiatan survei seismik 3-D (eksplorasi), dengan tujuan utama mendapatkan gambaran geologi di bawah permukaan bumi yang lebih lengkap dan terperinci.
Cakupan area seismik di Blok Cepu seluas 1.220 km2, berada di wilayah (daerah) yang sebelumnya dikuasai Grup Humpuss (Humpuss Patra Gas dan Humpuss Pengolahan Minyak), dengan jadwal kegiatan seismik MCL dimulai awal 2000 hingga Februari 2002.
Temuan kandungan minyak darat di Lapangan Banyu Urip (Perbatasan Jatim-Jateng), diprediksikan sebagai temuan terbesar kedua di Indonesia (250-600 juta barel), setelah temuan Caltex di Riau, Sumatera sebesar 650 juta barel.
Prediksi cadangan migas 250-600 juta barel itu, nantinya bisa dieksploitasi minimal 125.000 -170.000 barel minyak per hari. Sebuah angka yang cukup besar dibandingkan kondisi saat itu, dimana Pertamina Cepu hanya mampu menyedot 2.100-2.300 barel perhari, dari sedikitnya 150 sumur dangkal (tua) eks Belanda.
Lantas bagaimana kehidupan warga masyarakat di wilayah Blok Cepu ? Inilah PR yang rumit memanjang di depan mata.
Kenyataan selama ini, bahkan sudah lebih dari 125 tahun minyak bumi Blora disedot, toh tingkat kehidupan warga sekitarnya banyak yang mengenaskan, hidup pas-pasan dengan rumah berdinding dari gelam (kulit) kayu jati.
Wahono, wartawan SUARABARU.ID, tinggal di Blora, Jateng.