Oleh : Indria Mustika, S.Pd, M.Pd.
Senyatanya nikah usia muda tidak bisa dipahami hanya sebagai sebuah persoalan tunggal. Sebab salah satu persoalan sosial ini bagaikan puncak gunung es. Ada banyak persoalan dibawahnya yang kerap kali kita abaikan. Kita kemudian merasa tertampar ketika angka pernikahan ini muncul ke publik.
Selanjutnya nikah usia muda akan dijadikan kambing hitam sebagai penyebab persoalan masyarakat dan bahkan bangsa pada masa depan. Kita kemudian mengabaikan fakta, bahwa sejatinya nikah usia muda hanyalah sebuah akibat dari ketimpangan sebuah pranata sosial dan sekaligus potret rekonstruksi sosial yang gagal.
Jika kita kemudian hanya memahami persoalan nikah muda sebagai sumber masalah, sejatinya kita seperti tersesat di jalan yang terang. Sebab kita hanya melihat persoalan itu seperti melihat puncak gunung es. Kita tidak mau mengerti apa yang sebenarnya ada di dasar dan punggung gunung es itu.
Sebenarnya dibawah tingginya angka pernikahan dini ada beberapa persoalan yang harus mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan dan kebijakan disemua tingkatan.
Pertama, ketimpangan status gender di masyarakat yang merendahkan posisi perempuan secara jujur harus diakui masih saja ada, kendati persamaan hak antara laki-laki telah dijamin undang-undang.
Namun kita tidak bisa menafikkan bahwa secara sosio kultural anak perempuan masih menjadi nomor dibandingkan anak laki-laki dalam sebuah keluarga. Demikian juga posisi dan kedudukan perempuan ditengah masyarakat. Bahkan dipemerintahan sekalipun.
Kedua, tingkat pendidikan yang rendah. Pernikahan dini juga tidak boleh hanya dipahami akan berdampak pada sulitnya sebuah daerah meningkatan angka indek pembangunan manusia. Namun juga harus dipahami bahwa pendidikan yang rendah, yang menjadi salah satu indikator pembentuk IPM, juga menjadi salah satu penyebab mengapa ada pernikahan dini.
Dengan angka rata-rata lama sekolah di Jepara hanya 7,33 tahun atau setara dengan kelas 1 SLTP dan angka drop out setiaptahun lebih dari 500 amak dari semua jenjang sekolah, sulit nampaknya mengurai persoalan nikah dini dengan mengabaikan sektor ini.
Apalagi wajib belajar 12 tahun masih harus melalui jalan panjang dan terjal. Sebab setiap tahun kita masih diperhadapkan pada data ada banyak anak lulusan SLTP tidak bisa lagi melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi.
Ketiga, kebijakan yang belum berpihak ke anak. Jepara boleh saja secara administratif menyandang predikat sebagai kota layak anak, namun senyatanya masih jauh panggang dari api. Ruang kreatif bagi anak, kurikulum sekolah, perlindungan terhadap hak-hak anak, dan bahkan politik anggaran masih harus diwujudkan dsemua jenjang pemerintahan dan bukan hanya berhenti pada retorika.
Keempat; nikah muda juga menjadi gambaran rendahnya kualitas kependudukan suatu daerah yang meliputi kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan.
Jika persoalan itu tidak terurai secara komprehansif, maka nikah muda dapat dipastikan angkanya terus bertambah. Sebab berdasarkan UU No. 16/2019 tentang perubahan atas UU No. 1/1974 tentang Perkawinan pada Pasal 7 disebutkan bahwa usia perkawinan laki laki dan perempuan adalah 19 tahun. Sedangkan batas sebelumnya untuk anak perempuan adalah 16 tahun.
Penyusunan peta jalan pembinaan anak dan remaja bisa saja menjadi solusi. Tentu saja penyusunannya harus melibatkan banyak pemangku kepentingan dan unsur masyarakat. Tujuannya agar agar dapat memahami persoalan secara utuh. Bukan hanya dibahas di ruang tertutup para birokrat
Peta jalan itu harus dapat menjawab persoalan secara nyata dan komprehensif hingga kita tidak mengulang kembali kesalahan, tersesat berjalan yang terang. (*)
Penulis adalah Sekretaris Yayasan Kartini Indonesia – Guru SMKN 2 Jepara, Ketua MGMP Tata Busana SMK Provinsi Jawa Tengah