Oleh Amir Machmud NS
//… kau punya semesta sendiri, ole gunnar solskjaer// tapi raihlah dunia seperti zidane memilikinya// kalian sama-sama punya selaksa cinta// ikatan hati yang tak terganti// rasa yang tak pernah terperi…// (Sajak “Jagat Cinta Solskjaer”, 2020)
OLE Gunnar Solskjaer adalah dia, dia yang bernama Ole Gunnar Solskjaer. Bukan Juergen Klopp, tak bisa pula menjadi Pep Guardiola. Namun apabila harus memilih, akan saya katakan, atas nama cinta, “Jadilah semestamu seperti jagat Zinedine Zidane”.
Simaklah lekat-lekat: Solskjaer adalah simplifikasi narasi tentang cinta, dedikasi, kerendahhatian, dan konsistensi. Lalu amati Zidane: bukankah dia simbol ruap cinta, dahsyat talenta, dan “makhluk langka”? Dan, satu keluarbiasaan lagi adalah kebersahajaan, yang seolah-olah menjadi counter culture Real Madrid sebagai “pusat kekuasaan”.
Semesta individu Solskjaer jelas tidak sedahsyat Zidane semasa bermain, namun keduanya sama-sama berkategori legenda klub. Pada masanya, Zidane salah satu Galacticos di Real Madrid, sedangkan Ole bagian dari barisan extra ordinary young guns di Manchester United penakluk dunia. Dia meraih sederet trofi yang terbendaharakan di lemari sejarah Teater Impian Old Trafford.
Zidane lebih bersinar dengan aneka penghargaan individu, tiga kali terpilih sebagai Pemain Terbaik FIFA dan sekali meraih Ballon d’Or. Sementara Ole Solskjaer lebih kental dengan predikat supersub, pemain reserve yang sering menjadi penentu di saat-saat buntu. Golnya pada detik akhir final Liga Champions 1999 dicatat sebagai prasasti Setan Merah. Dia sang pengganti yang sering mengukir keniscayaan dari sebuah ketidakmungkinan.
Satu lagi, performa unik “The Baby Face Assassin” menunjukkan betapa di balik “senyum bayi” Ole tersembul ancaman mematikan. Wajah tanpa dosa itu bahkan masih tercetak sebagai raut keseharian hingga dia menjadi “panglima” MU yang terkadang harus meluapkan murka di ruang ganti, saat ini.
Keduanya sama-sama melatih di bekas klub. Bedanya Zidane sudah bertabur trofi, sementara Ole masih harus berjuang membangun karakter permainan dan jatidiri. Zizou memberi gelar La Liga ketika Ole “Cuma” berjuang mengantar Harry Maguire dkk mendapat tiket Liga Champions.
Membandingkan keduanya secara apple to apple tentulah tidak tepat, tetapi mengimpikan Ole menapak jejak Zizou adalah keniscayaan. Kehebatan pada kedua sosok itu berkonteks apa, kapan, di mana, siapa, dan bagaimana. Kalau yang dirunut adalah jejak historis, rekor-rekor manajerial, dan mentalitas, tak ragulah untuk mendorong Ole mengikuti jalan Zidane.
* * *
ATMOSFERNYA seperti perlombaan ketika para legenda membangun bekas klub. Guardiola telah membuktikan chemistry bersama Barcelona, juga Luis Enrique. Carlo Ancelotti mencatat sukses ketika membesut AC Milan, Antonio Conte melambungkan Juventus, Roberto Di Matteo memberi trofi FA dan Liga Champions untuk Chelsea. Kini dunia juga menunggu seperti apa sentuhan Frank Lampard untuk Chelsea.
Di antara itu kita pernah mencatat kegagalan Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, dan Gennaro Gattuso saat mengarsiteki Milan, Santiago Solari bersama Real Madrid, bahkan Thierry Henry yang sedemikian identik dengan Arsenal pun angkat kaki lebih cepat tak mampu menyuntikkan ruh karismanya untuk The Gunners.
Sepengundur Alex Ferguson, MU belum benar-benar stabil. David Moyes yang direstui Fergie terdepak cepat. Ryan Giggs sebagai karteker gagal mengangkat performa tim karena hanya mendapat kesempatan kiprah di sejumlah laga. Louis van Gaal dan Jose Mourinho memberi sejumlah gelar minor, namun gagal mengembalikan “MU yang benar-benar MU”.
Maka Ole Gunnar Solskjaer pun sempat dicibir sebagai manajer “yang tidak-tidak” dibandingkan dengan jejak sejarah besar MU. Namun kendati hanya berbekal bendera sebagai salah satu legenda, pria Norwegia itu terbukti memberi catatan awal menjanjikan dengan rentetan kemenangan pada sisa musim 2018-2019. Lalu pada separuh musim ini, dari 21 laga MU hanya sekali kalah. Dia sukses menaikkan level para pemain muda ditambah konsistensi permainan tim secara keseluruhan.
Jam terbang Ole dipandang terlalu “hijau”. Ketika menggantikan Mourinho pada 2018, tiga legenda MU lainnya — Steve Bruce, Brian McClair, dan Roy Keane — sudah lebih dahulu berkiprah sebagai manajer klub-klub Liga Primer.
Di mana karisma Ole? Pada titik mana kelebihan yang dia bawa? Apakah dia tidak terbebani oleh kegagalan pelatih-pelatih sebelumnya? Apakah dia tidak selalu tersilaukan oleh masa-masa emas mentornya?
Capaian Ole baru bisa dievaluasi secara pantas pada musim depan. Jangan bandingkan dengan Zidane yang mengawali kiprah di Madrid dengan terlebih dahulu “magang” sebagai asisten sebelum resmi menggantikan Rafael Benitez. Ketika itu Zizou punya warisan pasukan yang cukup solid dibandingkan dengan MU yang saat Ole datang menghadapi masalah akut inkonfidensi dan kualitas minimalis.
Karisma Ole memang tidak sekuat Zidane, namun perlahan tapi pasti dia mulai menemukan jalan. Saat skematikanya sudah mulai nyetel dan para penggawa muda Setan Merah unjuk level, saat itulah Ole berada dalam tantangan pembuktian untuk bersaing menantang gelar. Termasuk menghadapi adu kecerdikan dengan Klopp, Pep, Mou, dan arsitek-arsitek lainnya…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng