Oleh Amir Machmud NS
//… secepat itu kau sarungkan pedang// setelah pagi-pagi kau menghunusnya // untuk apa terburu-buru// mengasah tajam di hari terang// menabuh genderang irama sumbang // bersitegang saat medan juang tengah disiapkan// berbusa-busa harga diri kau ucapkan// apakah hanya agar terlihat garang// bukankah justru kau timbun sendiri harapan// yang menyuar di latar sunyi// takdir pilukah itu, sepak bolaku?// (Sajak “PSSI”, 2020)
DRAMA Korea berjudul “Shin Tae-yong Gugat” itu berakhir happy ending. Semua jadi protagonis. Entah skenario apa lagi yang bakal berkelak-kelok dalam episode berikut lakon tersebut. Masyarakat sepak bola Indonesia yang menjadi pemirsa tentu mengharapkan klimaks yang membahagiakan semua orang.
Adegan demi adegan berjalan dalam dinamika tinggi. Tak jelas siapakah protagonis dan antagonisnya: apakah Shin, apakah Indra Sjafri, atau PSSI dan Satgas Tim Nasional? Kedua belah pihak akhirnya menyepakati sikap yang sama: menyukseskan mimpi sepak bola kita.
Ini kata pelatih asal Korea Selatan itu, “Saya memiliki keinginan besar memajukan sepak bola Indonesia. Saya patuh dan taat kepada Ketua Umum PSSI untuk melakukan berbagai hal demi prestasi itu”.
Dan, ini statemen boss PSSI Mochamad Iriawan, “Saya tahu Shin Tae-yong pelatih profesional dan hebat. Kualitasnya sangat baik. Karena itu, kami sangat menunggu kedatangannya kembali ke Tanah Air”.
PSSI dan Shin sepakat melupakan polemik. Dalam pertemuan virtual, Shin berjanji menyampaikan hasil seleksi dan road map tim nasional U-19 menuju Piala Dunia U-20. Sedangkan Iriawan menegaskan, Direktur Teknik Indra Sjafri siap mendukung program-program Shin.
* * *
KONFLIK, miskomunikasi, atau malkomunikasi adalah persoalan lumrah dalam sebuah interaksi personal atau organisasi. Hanya, bukan begitulah caranya menegakkan harga diri bangsa. Atau, apakah konflik manajemen timnas Indonesia itu lantaran semua sedang limbung menghadapi pandemi Covid-19? Lalu Shin Tae-yong, Indra Sjafri, dan PSSI menjadi “baper” dalam interaksi profesional yang seharusnya mereka satukan?
Kita memang harus banyak belajar menegakkan profesionalisme. Jangan-jangan karena Shin dan PSSI sedang diliputi gambaran buram di depan? Yakni bayangan nama besar Shin bakal tercoreng karena kegagalan mengangkat performa sepak bola Indonesia. Atau bayangan ketakutan PSSI yang paham pelatih seperti Shin takkan mau berkompromi dalam hal apa pun?
Dalam banyak segi, di sejumlah negara, pelatih timnas punya otonomi kuat dan terproteksi dari segala intervensi. Dalam klausul kontrak tercantum kesepakatan tentang hak dan kewajiban, rincian hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, detail “wilayah” yang tidak bisa diganggu gugat oleh kekuasaan apa pun.
Privasi kuat ini terkadang disalahpahami seolah-olah seorang pelatih asing punya otoritas tak berbatas. Padahal, tentu dia harus mau belajar tentang karakteristik budaya lokal. Atau, boleh jadi kita sendiri yang tidak siap memberi wewenang penuh kepada pelatih asing dalam manajemen timnas sesuai kontraknya?
Jadi apa hubungan kewenangan itu dengan harga diri bangsa? Tentulah berbeda apabila seorang pelatih asing menyoal hal-hal sensitif dengan ungkapan melecehkan yang tidak terkait ihwal sepak bola. Misalnya “berpolitik” terkait segi-segi yang dapat ditafsirkan mengusik kedaulatan kita sebagai bangsa.
Sepanjang itu urusan personal antarmanusia, wilayah privat yang bicara. Subjektivitas berlaku. Kalau kemudian menyulut “baper” dan berkembang ke persoalan institusi, tentu bergantung pada kemampuan mengelola resolusi konflik dengan seni pendekatan masing-masing orang dan lembaga. “Skenario” itulah yang akhirnya ditempuh dan menciptakan pengenduran urat syaraf.
Dan, sejatinya, resolusi positif seperti itulah yang harus dirawat, agar Shin Tae-yong nyaman menjalankan tugas. Pada titik akuntabilitas waktu, kinerja Shin bisa dievaluasi oleh PSSI. Andai PSSI jernih menyimak respons dan celotehan netizens di media sosial, bakal terpahami betapa masyarakat sudah muak dengan segala intrik dan manuver. Mereka mengingini, antara lain lewat kehadiran Shin, sepak bola Indonesia bangkit dari inferioritasnya.
* * *
SEKARANG mari sejenak bicara tentang ginseng, kekuatan “paru-paru rangkap”, kegagahberanian Kesatria Teguk, dan romantisme drama Korea.
Bagaimana kita membuat kesimpulan dari adonan aura kekesatriaan itu dengan kelembutan alur drama cinta?
Korea identik dengan ginseng, herbal simbol energi cadangan. Para pemain sepak bola Negeri Kesatria Taeguk dikenal punya etos kerja tinggi. Pelatih legendaris Manchester Unted Alex Ferguson pernah memuji daya juang pemainnya, Park Ji-sung sebagai manusia dengan “paru-paru ganda”.
Nah, pelajaran meningkatkan kekuatan, daya juang, dan etos kerja itulah yang ingin kita serap dari metode kepelatihan Shin Tae-yong. Kontrak profesional itu akan memosisikannya sebagai “kakak pembina”.
Salah satu kekuatan drama Korea adalah kelak-kelok yang tak terduga. Apabila direfleksikan pada “api relasi” PSSI dengan Shin Tae-yong, jangan-jangan seperti itukah alur skenario yang seharusnya diurai dari kontrak profesional dalam industri sepak bola?
Pekan lalu, kelokan itu tiba-tiba “ngegas”, setelah media Korea memuat hasil wawancara yang berisi kritik dan kekecewaan Shin kepada PSSI. Shin juga menyinggung eks asistennya, Indra Sjafri yang sekarang menjabat Direktur Teknik PSSI. Bak berbalas pantun, Indra yang mengantar tim U-19 juara Piala AFF 2013 dan tim U-21 meraih trofi AFF 2018 itu bereaksi, balas menuding Shin tidak profesional dan banyak berbohong.
Bara makin memanas setelah Shin minta menggelar TC tim U-19 di Korea, dengan pertimbangan angka positif penderita Corona di negerinya sudah melandai dibandingkan dengan di Indonesia. Dia juga dituding tidak serius karena mengikuti rapat zoom dengan para petinggi PSSI dari dalam mobil.
“Perang kembang” tak terhindarkan, meskipun pelatih yang membawa Korea mengalahkan Jerman 2-0 di Piala Dunia 2018 itu menegaskan ingin tetap bersama Indonesia di Piala Dunia U-20 tahun depan. Juga berangan-angan memberi kegembiraan kepada masyarakat. Sikap itu kembali dia tegaskan menandai happy ending miskomunikasi dengan PSSI.
Sempat ada pengamat yang memperkirakan Shin menghadapi dua pilihan: mundur atau dipecat sebelum kontraknya berakhir pada 2023. Disebutkan, kesalahan utama Shin adalah menerima pekerjaan sebagai pelatih timnas Indonesia, karena bukankah PSSI punya rekam jejak sebagai “kuburan” bagi sejumlah pelatih bereputasi?
Kini semua lega setelah berlangsung pengenduran “tensi” komunikasi. Di tengah kondisi physical and social relations yang serbaterbatas pada masa “normal baru”, pernyataan Shin Tae-yong menerbitkan hawa positif bahwa dia berkeinginan membuat gembira masyarakat saat membawa tim Garuda ke Piala Dunia U-20 tahun depan. Mulai Oktober nanti, dari putaran final Piala Asia U-20 di Uzbekistan, langkah mulai diayun.
Dalam jangka pendek, dia harus mengawal penampilan timnas senior yang menyisakan tiga laga Pra-Piala Dunia melawan Thailand, Vietnam, dan Uni Emirat Arab. Sentuhan awal road map peningkatan kapasitas itu kita harapkan muncul dari metode dan pendekatan pelatih yang membawa Ilhwa Chunma sebagai juara Liga Champions Asia 2010 itu.
Kita apresiasi jiwa besar PSSI menyetop perseteruan yang tidak produktif itu. Berikan Shin ruang untuk fokus, tidak diusik oleh wacana aneh-aneh seperti “harga diri bangsa” atau opini bahwa kualitas pelatih dalam negeri pun tidak kalah kelas.
Jangan sampai kita mengawali langkah dengan cara keliru: menghunus pisau konflik justru ketika sedang membuka medan perbaikan yang penuh keterjalan…
Amir Machmud NS, wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI jateng