blank
JC Tukiman Tarunasayoga

Oleh: JC Tukiman Tarunasayoga

 Saya ingin mengawali uraian ini dengan tesis berikut: Sejatinya yang sering disebut-sebut dengan “kritik konstruktif” atau “kritik membangun” itu tidak ada. Kritik tidak mungkin konstruktif, dan kalau orang memang inginnya mau “membangun,” ya jangan dengan kritik.

Tegasnya, saya mau mengajak Anda untuk mengkritisi arti/makna kritik, sehingga kita terhindar dari “krisis” pemaknaan sebagaimana akhir-akhir ini banyak dikeluhkan tentang bahaya akan terjadinya krisis makna kehidupan (sosial) berhubung relasi antar-kita semakin a-sosial saja, bahkan semakin asyik tampaknya. Benar kan?

Landasan ajakan saya berfikir kritis ini sebenarnya sangat sederhana, namun saya merasa sangat mendasar (basic-based), yaitu lewat menekuni dan membandingkan beberapa kamus dalam/ketika menjelaskan arti/makna sebuah kata. Saya pribadi menyadari betapa tidak semua kata yang saya ucapkan,  saya mengerti arti/maknanya secara tepat.

Sering kita dengar atau lihat, orang dengan Percaya diri (PD)-nya mengatakan planga-plongo, padahal dia ini sejatinya melakukan dobel kesalahan; salah mengucapkannya (karena harusnya plonga-plongo, dwi lingga salin swara, seperti halnya wira-wiri yang juga sering disalahucapkan menjadi wara-wiri), dan juga salah konteks.

Tidak kurang pula orang dengan gagahnya mengucapkan kata mumpuni: memang mengucapkannya betul, tetapi konteks dan arti/maknanya sering tidak tepat. Oleh karena itu, mari mengritisi arti/makna kritik berdasarkan kamus. Dan kamus pasti betul serta baku (guyonnya, kalau masih meragukan kesahihan kamus, gawea dhewe, jal!).

 Kritik

Kritik (lihat KUBI, 1976. Hal 527) berarti dua, yakni (1) genting, kemelut, sangat berbahaya (menyangkut keadaan), dan (2) celaan, kecaman, sanggahan. Arti pertama  berkembang senada dengan kritis, sedangkan arti kedua sudah  menegaskan bagi kita betapa tidak ada yang disebut kritik membangun/konstruktif itu.

Mana mungkin sebuah celaan, kecaman  bermakna atau berisi membangun? Kalau saya mengecam atau mencela dandanan istri pagi ini begitu norak, jelek; atau pelatih sepak bola mengecam seorang pemainnya: “Kamu kok goblog sekali!!”;  apakah lalu istriku segera ke kamar berganti dandanan? Tidak.

Dia pasti amat dongkol, bisa-bisa ngambeg sepanjang hari dan malam; sama halnya pemain sepak bola itu tidak akan sertamerta menjadi pinter karena dikatakan goblog.  Kritik, karena berupa kecaman dan celaan, tidak akan membawa perubahan ke arah sebaliknya dari yang dikecamkan atau dicelakan.

Contohnya tadi, Anda mencela atau mengecam anak atau cucu seraya mengatakan “bodoh,” tidak akan besok pagi atau hari-hari berikutnya anak/cucumu itu  berubah menjadi sebaliknya dari bodoh.

Tegasnya, omong kosonglah kalau ada orang (pejabat?)  mengatakan: “Silakan kritik semaumu, saya tidak apa-apa, asalkan kritik itu membangun.”  Mengapa omong kosong? Pertama, tidak ada kritik membangun itu,  karena yang ada atau terjadi ialah celaan atau kecaman yang menyakitkan hati bahkan merusak; dan yang kedua, apa yang dikatakan itu basa-basi belaka, lalu seolah-olah gagah/tabah mengatakan:  “Silahan mengritik, aku gak apa-apa.”

Bagaimana Bisa Konstruktif?

 Kalau tidak ada kritik membangun, tentu kita bisa bertanya  lagi: Lalu, bagaimana caranya memberikan masukan, koreksi, atau perbaikan agar terjadi perubahan konstruktif? Jawabannya, ya jangan lewat kritik, melainkan lewatlah cara lain yang memang menunjang tujuan, yaitu mau membangun dan mengubah.

Kalau saya ingin besok pagi istri tampil cantik, ya katakan saja: Bu, baju yang kemarin itu tidak usah dipakai lagi, masih ada yang lain kan? Pelatih sepak bola tadi juga bisa mengemas masukan, koreksi atau pun perbaikannya dengan ungkapan yang tidak mengecam atau mencela, melainkan benar-benar sebuah perbaikan: “Coba pada saat kamu lari, condongkan kepala dan tubuhmu ke depan.”

Pada intinya, sekali lagi merujuk kamus, kalau mau bicara dengan axis positif – negatif, maka, kritik itu pasti hawane sarwa negatif,  dan tidak ada  “ruang” positifnya. Karena itu, tergantung semata-mata pada niat Anda, kalau memang maunya menyampaikan yang nuansanya negatif, ya silakan Anda memasuki ruang kritik; tetapi kalau niat Anda memang ingin membangun, ya katakanlah dengan cara-cara, sikap, kosakata yang membangun. Jelas, kan? Ngono wae kok sok digawe angel, piye jal?

Selamat tinggal kritik

 Sikap terbaik yang harus kita bangun, tentulah mari kita tinggalkan kritik kalau memang kita ingin membangun bangsa dan negara ini sesuai cita-cita para pembangun bangsa sebagaimana terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Kalau ada (banyak) hal yang kurang memuaskan dalam penyelenggaraan negara ini, ingatlah bahwa Anda pun juga belum tentu mumpuni memegang suatu jabatan publik; dan betapa terhormatnya kalau kita sampaikan masukan, koreksi, atau bahkan wejangan-wejangan kepada orang-orang yang sedang memangku jabatan.

Kalau iklim “tinggalkan kritik” semakin tercipta, tentu ada tuntutan amat mendesak bagi para pejabat, yakni bersikap akomodatiflah terhadap segala masukan, koreksi, atau wejangan sekali pun.

Memang tidak gampang “meninggalkan kritik” begitu saja lalu beralih ke axis positif, karena masih tebalnya anggapan begini: “Mau membangun itu harus merusak/dirusak dulu,” dan berdasarkan anggapan seperti itulah maka ada saja orang atau kelompok yang lebih suka menempuh cara-cara destruktif  lewat membuat kerusakan secara fisik atau pun merusak mental masyarakat.

Sesulit apa pun untuk meninggalkan kritik, tetap harus kita upayakan, karena kritik ya kritik dalam arti dalam ruangan negatif,  padahal kita ingin positif, bukan?

 

JC Tukiman Tarunasayoga, Pengajar pascasarjana MK Community Development Planning