blank
Rektor Unsiq Jawa Tengah di Wonosobo, Dr KH Mukhotob Hamzah, MM. Foto SBMuharno Zarka

Oleh: Muchotob Hamzah

(Rektor Universitas Sains Al-Quran Jawa Tengah di Wonosobo)

Selain itu juga masalah jatuh keberuntungan bagi China tentang perdagangan minyak bumi, nikel, uang virtual dls. yang menambah utang AS terhadap China dan ketertinggalannya. Slogan siapa menguasai minyak akan menguasai dunia, sudah basi. Siapa yang menguasai uang (dolar) akan menguasai dunia sudah layu. Bukan hanya karena faktor China, tetapi ada factor X invisible hand yang mempengaruhi. Perekonomian AS yang semakin merosot menambah jauhnya Negara-negara seperti Pilipin dll, bahkan ada Negara besar yang menjauh dari AS yang menjadikan tambahnya kegalauan AS. Akibat PHK, pandemi virus corona, khususnya pada kuartal I dan II tahun 2020, seorang ekonom bernama Goldman Sachs, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi rial AS negatif 9 persen pada kuartal I dan berlanjut hingga 34 persen pada kuartal II. Itulah yang ditakuti dunia, karena kalau masalah corona menimbulkan konflik, AS mengancam akan meledakkan nuklir (?) Semoga semua berwawasan dewasa dan tidak terjadi!

Keempat: Polemik kesehatan. Di dunia kesehatanpun perdebatan tak kalah seru hingga menambah hangatnya suasana corona. Pada awal-awal covid 19, bahkan menkes RI mengatakan bahwa yang harus pakai masker hanya orang yang sakit karenanya. Orang sehat tidak diperlukan. Kini, semua orang yang keluar rumah harus memakai masker. Di lain pihak WHO menyatakan bahwa awal virus berasal dari kelelawar di Wuhan, sementara AS menyatakan sebagai kesengajaan China atau setidaknya keteledoran China. Perdebatan yang lain tentang efektifitas obat yang digunakan, pencarian vaksin yang simpang siur katanya sudah diketemukan dan ada yang bilang menunggu bertahun-tahun dsb. Fakta atau mitos tentang kematian virus-pun jadi perdebatan. Apakah virus ini bisa mati karena suhu panas dari iklim atau tidak, apakah jenazah covid 19 masih bisa menularkan virus apa tidak, menjadi bahan perdebatan yang massif. Bagaimana strategi dan taktik penanggulangan covid demi menegakkan kesehatan rakyat juga selalu menjadi perdebatan. Antara Lockdown atau cukup PSBB menjadi bahan yang hangat pula untuk diperdebatkan.

Seorang profesor Universitas Stanford sekaligus pemenang Nobel Kimia, Michael Levitt mengklaim bahwa Lockdown untuk COVID-19 hanya menyebabkan lebih banyak kematian. Dilansir dari Daily Mail, Levitt menyatakan bahwa keputusan untuk mengarantina warga dalam ruangan hanyalah sebuah bentuk ‘kepanikan’ alih-alih berdasarkan ilmu pengetahuan terbaik. Levitt membantah analisis pemodelan matematika yang sempat dikemukakan oleh salah satu ahli epidemiologi ternama Inggris, Profesor Neil Ferguson. Dalam keketerangannya, Levitt menyebut Ferguson hanya ‘melebih-lebihkan’ angka kematian karena COVID-19. Seperti diketahui, Ferguson yang juga sempat menjadi penasihat pemerintah Inggris untuk COVID-19, telah memprediksi bahwa jumlah korban jiwa karena Virus Corona bisa mencapai 500 ribu orang atau 10 hingga 12 kali lipat. Karena analisis Ferguson inilah, pemerintahan Inggris langsung melakukan upaya drastis, yaitu mulai mengunci wilayahnya pada akhir Maret lalu. “….Saya pikir para pemimpin panik dan orang-orang (juga) panik. Hanya ada sedikit diskusi (tentang penguncian atau Lockdown). “Saya pikir itu (penguncian) mungkin (justru) telah menelan banyak nyawa. (Lockdown) memang akan menyelamatkan beberapa nyawa dari kecelakaan lalu lintas, dan hal-hal semacam itu. Namun, kerusakan sosial (seperti) kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, alkoholisme menjadi sangat ekstrem. Levitt lantas menyarankan bahwa pemerintah Inggris seharusnya hanya perlu mendorong warga untuk mengenakan masker sembari menemukan cara lain untuk terus bekerja sembari terus menjaga jarak sosial atau fisik.

Meski bukan merupakan seorang ahli epidemiologi, tetapi klaim Levitt ini senada dengan laporan dari perusahaan perbankan global asal Amerika Serikat, JP Morgan. Seperti diketahui, terkait dengan Lockdown, ahli strategi sekaligus fisikawan JP Morgan, Marko Kolanovic sempat menyatakan dengan tegas bahwa penguncian sudah gagal mengubah arah pandemi dan sebaliknya hanya ‘menghancurkan jutaan mata pencaharian’. Analisis yang dikemukakan oleh Kolanovic ini memang patut dipertimbangan. Pasalnya, beberapa negara justru dilaporkan mengalami tren penurunan kasus infeksi meski penguncian telah dicabut.

Denmark misalnya, setelah membuka kembali sekolah hingga pusat perbelanjaan, negara ini dilaporkan makin mengalami penurunan tingkat R (jumlah reproduksi untuk menilai kemampuan penyebaran penyakit) untuk COVID-19. Pun, angka R di Jerman juga cenderung stagnan di bawah 1,0 meski penguncian telah dilonggarkan. “Memang, hampir di mana-mana tingkat infeksi menurun setelah dibuka kembali.Ini berarti bahwa pandemi dan COVID-19 kemungkinan memiliki dinamika (mereka) sendiri yang tidak terkait dengan tindakan penguncian yang sering tidak konsisten seperti yang sedang dilaksanakan (pemerintah AS).

“Fakta bahwa pembukaan kembali tidak mengubah arah pandemi konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa inisiasi kuncian penuh juga tidak akan mengubah arah pandemi,” tambah Kolanovic.

Hal yang disepakati barangkali tentang cara penularan, usia rentan, dan betapa sakitnya orang yang terserang covid 19. Kita sepakat bahwa makhluk mahakecil bernama virus corona dapat menaklukkan istana kepresidenan dan kerajaan. Bisa menjungkal-balikkan devisa Negara, bisa membenunuh ahli virus dan dokter-dokternya. Dan yang paling fenomenal, bisa mengembalikan kesadaran manusia bahwa secanggih apapun ilmu manusia, termasuk ingin mengabadikan hidup manusia (human immortality), menguasai planet-planet lain di angkasa luar, ternyata kalah dengan covid-19, dan manusia harus kembali dalam kesadaran atas Kuasa Dzat yang menguasai alam semesta, Tuhan YME, Allah SWT.

Kelima: Polemik Budaya. Seperti diuraikan terdahulu, orang berdebat apakah adanya covid -19 merupakan sesuatu yang murni situasi apakah konspirasi. Pihak yang mengatakan semata-mata situasi dikaitkan dengan dosa-dosa umat yang tidak ketulungan, perubahan iklim, mutasi virus alamiyah, kebocoran penelitian virus dll. Sementara pihak yang mengatakan konspirasi mengaitkan Illuminati atau AS dan Israel, sebagai biangnya, karena adanya kemiripan antara kejadian di Wuhan dengan film Contagion yang dibuat tahun 2011 di Amerika Serikat yang seakan menggenapi film fiksinya.

Dalam film tersebut ada enam kemiripan dengan situasi serangan virus corona di Wuhan yang berjangkit mulai 1 Desember tahun 2019 dan merambah ke seluruh dunia, termasuk AS yang saat ini merupakan korban terbanyak. Sampai awal April 2020, orang yang terpapar virus telah mencapai di atas 230.000 orang. Film yang disutradarai oleh Steven Soderbergh asal Atlanta, Georgia AS ini, dikenal dengan pembuat film independen atau indie. Film ini bercerita tentang dokumentasi sebaran virus yang amat berbahaya, konon murni karya seni yang terinspair (?) oleh berbagai pandemi seperti epidemi SARS pada tahun 2003 dan pandemi flu tahun 2009. Film yang dibintangi oleh Maron Cotillard dan Matt Damon dan bintang papan atas peraih Oscar dari Kate Winslet, Marion Cotillard, hingga Gwyneth Paltrow, diproduksi dengan biaya 60 juta dolar AS (840 miliar rupiah) dan dapat meraup 135 juta dolar AS (1,8 triliun rupiah) dari seluruh dunia. Kemiripan cerita film fiksi dengan fakta yang terkumpul enam hal ini menjadi kecurigaan banyak pihak, yaitu: Pertama: Berawal dari kunjungan ke Asia: Ceritanya, Beth Emhoff (Gwyneth Paltrow) yang baru saja pulang dari kunjungan bisnis di kawasan Asia. Setibanya di Chicago, Ia mengalami batuk dan suhu tubuhnya mencapai 38,7 derajat Celcius. Beth juga susah menelan makanan, pusing, lalu kejang-kejang. Puncaknya Beth tidak bisa ditolong dan meninggal. Kedua: Virus dan Kelelawar. Meninggalnya Beth dalam cerita film Contagion tersebut membuat tim medis yang beranggotan dr. Arrington (Steff Tovar), dr. Cheever (Laurence), dr. Sussman (Elliot Gould) dan dr. Leonora (Marion Cottilard) melakukan riset untuk mengungkap penyebab kematiannya. Dan ternyata akibat kematiannya dari gen kelelawar dan gen babi. Ketiga: Penularan lewat udara dan kontak fisik. Karakter penularan virus dalam ceritera film ini, senyatanya mirip dengan kejadian virus corona dari Wuhan Tiongkok. Keempat: Penggunaan Masker. Adegan di film Contagion juga menunjukkan penggunaan masker. Dari tim medis yang meneliti virus hingga wartawan yang meliput menggunakan masker. Kelima: Fenomena punic buying. Dalam film ini digambarkan masyarakat menjadi panik sehingga memborong dan menyerbu pasar swalayan. Keenam: Kepanikan dari Prancis hingga Amerika Serikat. Dalam film tersebut juga menggambarkan kepanikan yang datang dari bangsa Perancis dan AS. Adakah kebetulan kreasi sang budayawan?

Wallahu A’lam bis-Shawaab.

Muharno