blank

SUATU sore, Djo Koplak jalan-jalan sama Jeng Minul, istrinya. Memang, Jeng Minul minta diantar belanja di sebuah supermarket di Peterongan. Sekarang memang supermarket di Peterongan itu sudah tutup.

Setelah belanja cukup banyak, karena memang untuk kebutuhan bulanan, keduanya pulang. Karena waktu memang sudah sekitar pukul 19.00, Djo Koplak mengajak Jeng Minul untuk makan dulu.

“Jeng, makan gudeg dulu di Mbak Tum,” ujar Djo. Jeng Minul pun mengiyakan. Maklum, warungnya Mbak Tum memang sudah terkenal di Semarang. Dan, pengunjungnya memang selalu membludak, sehingga harus antre.

Benar, sesampai di warung tenda Mbak Tum, banyak sekali yang antre. Di antaranya ada sekelompok anak-anak muda menunggu giliran dilayani oleh stafnya Mbak Tum. Sementara Mbak Tum sendiri tampak iwut meladeni pembeli.

Seperti biasa, Djo Koplak langsung bilang pada penjual. “Mbak Tum, kula gudheg kalih endhas nggih (Mbak Tum, saya gudeg dengan lauk kepala ya),” kata Djo yang memang suka kepala ayam.

Tiba-tiba Djo melihat beberapa anak muda nyekikik, kemudian seorang gadis di antaranya bisik-bisik, “Kok endhas, sirah to Pak.”

“Ya, kalau binatang endhas, kalau untuk orang sirah,” kata Djo.

Tiba-tiba datang teman mereka yang lain, kemudian berseru, “Ndhasmu, Ndhes. Tiwas dienteni malah wis ndhisiki (Kepalamu, Ndhes. Sudah kutunggu malah duluan).”

Djo pun tersenyum sambil menerima piring yang diulurkan oleh Mbak Tum. Gudheg ndhas.

Widiyartono R.