Oleh Amir Machmud NS
HANYA orang-orang istimewa yang masa depannya selalu dispekulasikan: hendak ke mana, kapan, mengapa, dan bagaimana. “Hukum partikular” ini berlaku dengan mobilitas luar biasa di dunia profesional sepak bola. Nyaris tidak ada jeda bagi figur-figur luar biasa itu — apakah dia pemain, apakah dia pelatih — untuk (boleh) establish dalam ketenangan ruang dan waktu. Selalu ada tantangan eksternal, juga selalu ada usikan-usikan internal-personal.
“Hukum” ini juga berlaku untuk Pep Guardiola, arsitek Manchester City yang dalam empat musim ini ditakzimi bagai “dewa” di Stadion Etihad. Dengan pendekatan sepak bola indah-ofensifnya, dia telah membangun The Citizens sebagai salah satu kekuatan Liga Primer, dua musim berurutan, 2017-2018 dan 2018-2019 meraih trofi-trofi.
Pep mampu membentuk “rezim” Manchester Biru, dari yang sebelumnya masih didominasi oleh tradisi panjang Manchester Merah. Dia memperkuat posisi elite City yang sebelumnya dirintis oleh pelatih-pelatih Roberto Mancini dan Manuel Pellegrini. Pep hanya belum berhasil mengantar klub milik Seikh Manshoor itu untuk merengkuh obsesi utama: trofi Liga Champions.
* * *
JALAN ke depan Pep Giardiola selalu direka-reka, sama seperti ketika dia masih menukangi Barcelona dan memberi 14 piala, lalu mengubah bentuk permainan Bayern Muenchen dan mempersembahkan enam gelar juara di Bundesliga. Namun baru bersama Barca pria Spanyol itu meraih puncak Eropa, bahkan dua kali mengantar Lionel Messi dan kawan-kawan mengangkat trofi Liga Champions.
Boleh dibilang, dia figur yang tak tersentuh di Etihad. Keinginan-keinginan dalam belanja pemain tidak pernah ditolak oleh manajemen klub. Namun seiring dengan perkembangan musim, ketika Juergen Klopp mampu membentuk Liverpool sebagai kekuatan sedahsyat sekarang, dengan berendah hati Pep mengungkapkan setiap saat bisa pergi.
Seiring dengan realitas klasemen di Liga Primer saat ini, yang tertinggal lebih dari 20 poin dari Liverpool, maka hanya Liga Champions yang bisa mengobati luka Manchester City. Andai trofi Eropa itu pun gagal didekati, bukan tidak mungkin Pep akan dilepas. Apalagi ketika City kini terbelit sanksi disiplin financial fairplay (FFP) dari UEFA, dua tahun tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi Liga Champions dan Liga Europa.
Sanksi UEFA itukah yang membuka peluang Pep Guardiola memilih pintu masa depannya? Kondisi ini pulakah yang berkemungkinan memicu sejumlah pemain City untuk menentukan klub baru demi bisa tampil di Eropa? Bahkan, apabila City gagal memenangi gugatan lewat arbitrase olahraga, jangan-jangan Sheikh Manshoor pun akan meluapkan kegusaran dengan menarik sahamnya?
Hukuman mengejutkan untuk City, yang diketahui memanipulasi akumulasi pendapatan sponsor dalam laporan keuangannya, diam-diam membuka sebuah keniscayaan: klub mana yang akan menjadi tujuan Pep Guardiola. Juventus gencar diberitakan. Pimpinan klasemen Liga Serie A itu sedang mengevaluasi kinerja allenatore Maurizio Sarri yang dinilai kurang mampu memberi sentuhan sepadan dengan potensi materi pemain La Vecchia Signora.
Pada saat bersamaan juga sedang diapungkan wacana menduetkan Lionel Messi dengan Cristiano Ronaldo yang sekarang menjadi bintang utama Juventus dan magnet Serie A. Messi sedang kecewa di Barcelona. Walaupun permasalahannya dengan Direktur Olahraga Eric Abidal sudah tutup buku, tetap saja aneka kemungkinan direka-reka: klub mana yang dianggap paling cocok untuk La Pulga. Jika Pep hijrah ke Allianz Turin, apakah ini bakal memicu hasrat Messi bergabung dengan Juventus?
Memang tidak sesederhana itu. Selain dibutuhkan dana fantastis untuk operasi transfer istimewa itu, Messi atau Ronaldo boleh jadi punya pandangan siap atau tidak siap bermain dalam satu skema tim. Apalagi Pep pun belum tentu berlabuh ke Juventus. Kemelut persoalan di City masih bergulir, dengan menanti seperti apa kira-kira kesimpulan arbitrase olahraga dan sikap UEFA.
* * *
DALAM gambaran para analis, kehadiran Pep Guardiola di Serie A bakal memberi warna baru di liga yang selama ini identik dengan klub-klub yang berfilosofi defensif. Dalam tradisi bermain, Italia dikenal sebagai “kuilnya” sepak bola yang kental dengan gerendel pertahanan ala catenaccio warisan Helenio Herrera, pelatih asal Argentina yang pada era 1960-an menukangi Internazionale Milan.
Pada dasawarsa 1990-an muncul pembaruan yang lebih atraktif seperti permainan pendek-rapat ala Arrigo Sacchi dan Fabio Capello, lalu artikulasi penguasaan lini tengah ala Carlo Ancelotti yang pernah diterapkan di AC Milan, pressing gaya Antonio Conte, juga ofensivitas “Sarri-ball” khas Maurtizio Sarri di Napoli, tetapi filosofi dasar sepak bola defensif tak bisa sama sekali dihilangkan.
Jika Pep mengarsiteki Juventus, mampukah dia mengubah filosofi dasar calcio Italia yang dari sononya bernuansa defensif?
Pep sudah berkelas “ideolog” untuk sepak bola indah, dengan mind set permainan posesif bola-bola pendek seperti yang biasa kita nikmati sebagai langgam tiki-taka Barcelona. Orkestrasi dalam satuan pemikiran dan gerak ini melekat sebagai “darah dalam nadi” para pemain Barcelona, yang rata-rata dibesarkan oleh Akademi La Masia. Pep merupakan “murid utama” Johan Cruyff yang meletakkan dasar permainan ofensif Barca, lalu menyempurnakannya sebagai ideologi yang kemudian dia bawa ke Bayern Muenchen dan Manchester City sekarang.
Revolusi permainan di Bayern, dari speed and power game ke tiki-taka, menjadikan The Hoolywood seperti bermetamorfosis ke wajah baru. Para pemain De Rotten diajak menikmati posesivitas umpan-umpan pendek. Sayang revolusi filosofis itu malah menimbulkan resistensi di kalangan para petinggi dan legenda Bayern yang berpikir konservatif. Bermain indah tetapi kehilangan produktivitas kemenangan, apalah artinya? Kondisi itulah yang dihadapi Pep pada musim-musim akhir kepemimpinannya.
Bersama Citizens, Pep bebas mengekspresikan ideologinya. Dia mampu memberi sentuhan yang sangat berbeda dari karakter permainan klub-klub Inggris. David Silva dkk berubah menjadi “Barcelonanya Liga Primer”. Perpacuan dengan Liverpool mewartakan sebuah pertarungan filosofi antara tiki-taka versus gegenpressing ala Juergen Klopp.
Andai Pep betul-betul bisa dihadirkan ke Liga Serie A, dapat dibayangkan dia bakal merevolusi permainan Juventus untuk menjadi tim yang seindah Barcelona. Tantangan baru pula bagi Pep, apakah dia mampu mendoktrinkan skematika di ranah sepak bola yang selama ini punya ideologi sendiri, seperti yang telah dia buktikan di Jerman dan Inggris. Namun untuk mewujudkan itu, masih terentang aneka kemungkinan lewat pergerakan politik-bisnis dalam industri liga-liga Eropa saat ini…
Amir Machmud NS, wartawan senior, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng