Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika mengunjungi Panti Psikotik Dzikrul Ghofilin di Erorejo Wadaslintang Wonosobo. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

WONOSOBO (SUARABARU.ID) – Umumnya, orang gila, gemblung, stres, depresi atau punya gangguan jiwa lainnya, kerap dicibir dan dicampakan oleh keluarga atau lingkungannya. Karena orang gila acap dianggap sebagai sampah dan tidak berguna lagi di dunia ini.

Orang gila pun sering terlihat berkeliaran di mana-mana, di jalanan, di pasar atau di tempat umumnya lainya. Langit menjadi atap kehidupan mereka. Jika ada orang gila masih di rumah, itu pun kebanyakan dipasung oleh pihak keluarga.

Tapi, lain dengan Utiyah (50). Perempuan berprofesi sebagai guru Pendidikan Agama Islam (PAI) SD Negeri Erorejo itu, justru mau merawat sekaligus menyembuhkan orang gila dengan penuh kasih sayang.

Di rumahnya yang sekaligus dijadikan sebagai Panti Psikotik Dzikrul Ghofilin di Dusun Jurutengah RT 7 RW 5 Desa Erorejo Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo, tiap hari dia merawat dan memberi terapi pada ratusan pasien.

Perawatan pada orang gila dan pemberian terapi dilakukan agar mereka bisa hidup normal kembali seperti semula dan bisa diterima oleh keluarga maupun lingkungan sekitarnya. “Mereka adalah manusia yang ingin hidup normal kembali”, cetusnya.

Di sela-sela menjalani profesi sebagai guru, dengan penuh kasih sayang dan kelembutan sebagai seorang perempuan, Utiyah merawat dan memberi kasih sayang pada pasien layaknya anak sendiri. Dia tidak canggung apalagi jijik pada mereka.

Kandang Ayam

Dalam merawat pasien gangguan jiwa, dia tidak sendiri. Dia dibantu suami, Hamid Mustakim (59) dan empat adiknya, yakni Mugi (41), Sangidun (39), Ngaliman (34) dan Mahfud (31). Mereka bahu membahu merawat dan menyembuhkan pasien.

Saat ini, di panti rehabilatasi miliknya, terdapat ratusan pasien dari berbagai usia dan jenis kelamin. Selain berasal dari Wonosobo, mereka datang dari berbagai kota di Jawa Tengah maupun dari Jakarta dan kota besar lainnya.

Utiyah mengaku merawat orang gila dimulai sejak tahun 2003. Semula tempat tinggal pasien masih sangat sederhana bahkan jauh dari layak. Pasalnya, selain memanfaatkan rumah tinggal berpagar papan kayu, sebagian pasien tinggal di rumah bekas kandang ayam.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, kamar tempat tinggal pasien mulai tertata. Sebab, sejak aktifitasnya diberitakan di media cetak maupun televisi dan menjadi viral di media sosial, perhatian dari berbagai pihak pun berdatangan.

Mulai dari masyarakat umum, pegiat organisasi sosial di masyarakat, pelaku usaha, pejabat terkait di Wonosobo hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, pernah mengunjungi tempat ini. Melihat kondisi tempat yang memprihatinkan, mereka pun tergerak memberi bantuan untuk pembangunan rumah singgah bagi pasien yang mengalami gangguan jiwa itu. Kini kondisi “Rumah Sakit Jiwa” mulai ada perbaikan di sana-sini sehingga layak huni.

Dianggap Aneh

Namun, sebelum itu, Utiyah mengaku, aktifitas dalam mengasuh dan menyembuhkan orang gila, sempat mendapat tanggapan miring dari lingkungan sekitarnya. “Saya dianggap aneh, kurang kerjaan dan lain-lain”, keluhnya saat itu.

Diceritakan Utiyah, sebelum mendirikan “pesantren” bagi orang gila, dia bersama adiknya pernah mengalami hal yang sama. Namun setelah sembuh, Utiyah pun terpanggil untuk mengentaskan orang yang kini gangguan jiwa seperti dirinya dulu.

Berkat kegigihan dalam merawat dan menyembuhkan pasien gangguan jiwa, dia pernah mendapat anugerah “Kick Andy Be Heroes 2016”, belum lama ini, bersama tokoh-tokoh inspiratif lainnya dari seluruh pelosok Indonesia.

Hebatnya, dia melakukah kegiatan sosial itu tanpa pamrih alias tak meminta tarif dari keluarga pasien. Maka wajar jika Utiyah kerap menemukan kesulitan untuk menyediakan makanan bagi para binaannya.  “untuk memberi makan ratusan pasien yang dibinanya saya rata-rata membutuhkan 1,2 ton beras setiap bulan. Untuk mencukupi kebutuhan besar itu, saya kerap berhutang di penggillingan padi. Bayarnya ketika nanti ada bantuan,” kata Utiyah.

Untuk menyembuhkan orang-orang yang dirawatnya, Utiyah menggunakan berbagai cara. Mulai dari nasihat, terapi musik, dizir, hingga olahraga. “Cara itu cukup ampuh, namun dengan tingkat kesembuhan yang berbeda-beda’, tandasnya.

Utiyah bersama dua adiknya yang sehari-hari mengasuh pasien gangguan jiwa. Foto : SuaraBaru.id/Muharno Zarka

Tak ayal, alunan musik dangdut menggema di seluruh sudut ruangan bersahutan dengan suara mereka bernyanyi. Pasien pun tampak ada yang ikut menyanyi dan berjoget bersama. Namun sebagian ada yang hanya diam membisu dengan tatapan kosong.

Banyak Pengalaman

Disebutkan Utiyah, kondisi pasien beda-beda. “Kalau diajak bicara masih nyambung, saya kasih sugesti. Kalau mereka merasa cemas, ketakutan saya pijet saraf. Kemudian ada dzikir juga,” kata dia.

Dengan cara itu, anak asuhnya itu sedikit demi sedikit yang kembali sehat. Dalam waktu khusus, tanpa disuruh mereka sudah bisa mengerjakan ibadah tersendiri. “Kalau cum depresi dua minggu sembuh. Yang gila menahun, lama sembuhnya,” kata dia.

Kini sudah lebih dari 500 orang yang berhasil dirawatnya. Tentu, banyak pengalaman pahit selama merawat pasien gangguan jiwa. “Saya pernah diusir, dijambak dan dipukul pasien,” ungkap Utiyah yang pernah jadi TKW di Arab Saudi itu.

Karena keterbatasan ilmu, Utiyah pun berusaha belajar dari berbagai referensi untuk mempelajari penyakit kejiwaan. “Alhamdulillah dengan metode dzikir dan pijat, saya bisa menyebuhkan orang gila,” kata perempuan beranak empat itu.

Dari hasil telusurnya, pasien mengalami gangguan jiwa akibat kehancuran rumah tangga, masalah ekonomi maupun sebab lain. “Ada pula yang mengalami depresi hebat akibat ilmu yang salah dan punya cita-cita tinggi tapi tidak tercapai”, tandasnya.

Setiap hari pasien diminta menjalani kehidupan secara normal. Sebangun tidur mereka harus mandi, salat, zikir dan melakukan aktifitas harian lainnya. Makan dan tidur pasien diatur secara disiplin. “Pada malam hari mereka saya ajak zikir,” imbuhnya.

Pasien dibuatkan kamar secara khusus. Antar satu pasien dengan pasien lain dipisah. Khusus bagi pasien yang masih labil dengan tingkat gangguan jiwa tinggi, di tempatkan dalam kamar tersendiri agar tidak mengganggu pasien lainnya.

Muharno Zarka-trs

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini