blank
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng Suryo Banendro

SEMARANG – Sepertiga jumlah petani di Jawa Tengah merupakan generasi milenial. Kehadiran milenial di sektor pertanian diharapkan dapat menciptakan inovasi, baik untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas produksi pangan.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah Suryo Banendro mengatakan, jumlah petani milenial sebanyak 975.600 orang, atau 33,7 persen dari 2,88 juta petani di Jawa Tengah. Sebanyak 57.600 orang merupakan lulusan sarjana.

Kehadiran petani milenial yang konsen pada 22 komoditas hortikultura, tanaman pangan dan hasil perkebunan diyakini membawa angin segar pada sektor pangan. Suryo berpendapat, sektor ini memang perlu dikelola sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, inovatif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi demi memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.

Ekspor Kopi
Kehadiran petani milenial terbukti cukup berkontribusi dalam mendorong masuknya komoditas pertanian Jawa Tengah ke pasar internasional. Hingga September lalu, nilai ekspor produk pertanian Jawa Tengah mencapai Rp 2,51 triliun.

Adapun komoditas yang diminati pasar internasional antara lain kedelai, edamame, petai, jengkol, kapulaga, kacang-kacangan, kopi dan daun kelor. Beras hitam, daun cincau, gula merah dan margarin asal Jawa Tengah pun rutin diekspor ke Australia, Malaysia, Srilanka dan Bangladesh. Sarang burung wallet juga memberi porsi dengan nilai ekspor hingga Rp 4,2 miliar.

Dari beberapa komoditas tersebut, kopi menjadi produk pertanian yang paling diminati. Bahkan, kopi hasil produksi pertanian Jawa Tengah sudah memiliki 9 negara tujuan ekspor, yakni Mesir, Italia, Georgia, Jepang, Iran, Uni Emirat Arab, Spanyol, Korea Selatan dan Taiwan.

Tingginya pemanfaatan inovasi pertanian oleh petani milenial juga berimbas pada jumlah produksi. Sehingga meskipun lahan pertanian di Jawa Tengah menyusut, dari 1.000.699 hektar tahun lalu menjadi 1.000.577 hektar tahun ini, namun produksi pertanian justru meningkat dari 9,8 juta ton menjadi 9,11 juta ton.

“Ternyata modernisasi pertanian lebih efektif. Selisih panennya sangat banyak. Sebelum modernisasi 5,4 ton gabah kering giling setelah modernisasi jadi 5,8 ton gabah per hektar. Secara riil jika kita lihat produksi padi meningkat, karena petani Jateng sangat merespon terhadap modernisasi terutama dalam hal penggunaan benih unggul,” kata Suryo.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan data pertanian tersebut menjadi dasar utama bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan, terlebih karena data berisi siapa yang menanam, apa yang ditanam, kapan dan di mana penanamannya. Dengan akurasi data seperti itu, Ganjar yakin cita-cita Indonesia untuk mengejar negara-negara maju dalam sektor pertanian dapat terwujud.

Untuk diketahui saat ini tingkat modernisasi pertanian terbesar dipegang Jepang dengan persentase 17 persen dan disusul Amerika sebanyak 16 persen. Sementara di Asia Tenggara masih dipegang oleh Thailand yang modernisasi pertaniannya mencapai 2,5 persen. Sementara Indonesia baru 2,15 persen.

“Petani muda harus kita libatkan. Di lahan yang makin kecil maka teknologi harus masuk. Ingat, kita harus membuat lompatan besar. Jangan begini-begini saja agar kita bisa juara di politik pangan dunia,” katanya.

Pelatihan
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pun berinovasi dengan menerbitkan e-sertifikat ekspor dan memberikan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas SDM petani milenial. Tahun ini Pemprov Jateng memberikan pelatihan kepada 2 ribu petani milenial. Tahun depan, pelatihan akan diberikan kepada 3 ribu petani dari kelompok petani muda dan pesantren.

“Kami mendampingi petani mulai dari proses penanaman hingga penjualan, kami temukan langsung dengan pembeli. Ternyata ini bisa memotong rantai pasok dengan kualitas produk yang telah terstandar. Ini yang menjadi daya tarik mereka,” katanya.

suarabaru.id/hery priyono

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini